Saya cukup sering melewati tempat
itu: kompleks warung makan kecil yang dikelilingi penjual makanan yang
sebagian besar adalah masakan Padang. Ya, seperti yang sudah saya
katakan, saya cukup sering melewatinya sampai berpikir suatu saat bisa
mampir untuk makan siang di tempat itu. Lalu Sabtu siang itu saya
melakukannya.
Seperti biasanya
Sabtu siang, tidak banyak kegiatan yang saya lakukan, lalu saya terpikir
untuk makan siang di tempat tadi. Saya masuk, mengambil meja agak di
tengah. Saat itu masih pukul 11 siang dan masih sepi pengunjung. Di
belakang saya sepasang suami-isteri paruh baya sudah hampir menghabiskan
makanan mereka, sementara di depan saya ada dua wanita bercakap-cakap
dengan masing-masing satu es teh di hadapannya.
Ketika
makanan yang saya pesan datang, pasangan suami-isteri di belakang
tampaknya sudah selesai dan mereka membayar lalu keluar. Tinggallah saya
dengan dua wanita di depan itu. Salah seorang dari mereka tampaknya
kenal dengan ibu pemilik warung karena sesekali ia menyapanya; ia bahkan
memperkenalkan temannya ke ibu pemilik warung itu.
Semuanya
tampak berjalan seperti biasa: saya menikmati makan siang saya dan dua
wanita di depan itu sudah akan meninggalkan tempat tadi, sampai kemudian
seorang anak masuk. Ia cukup tinggi, kemeja kuning dan celana pendek cokelatnya kusam
dan ia berjalan agak lesu. Saya bisa menebak usianya mungkin sekitar 14
hingga 16 tahun. Ia berhenti di sisi meja saya dengan tangan terulur dan
terbuka.
"Om, minta uang, buat makan nanti," katanya memelas.
Seperti
orang biasa lainnya, saya berpikir apakah ada recehan yang bisa
diberikan ke anak ini atau tidak, dan setelah mengingat saya tidak
mempunyai uang kecil di dompet, saya menolaknya--dengan halus, tentu
saja, seperti kebanyakan orang 'baik' lainnya.
Merasa
putus asa dengan saya, anak itu beranjak ke depan, ke arah dua wanita
tadi. Mereka sepertinya sudah selesai dan hendak meninggalkan tempat
itu. Salah seorang wanita (yang tidak mengenal ibu pemilik warung)
bahkan telah keluar, dan wanita yang tinggal masih sempat bercakap-cakap
dengan ibu pemilik warung. Selepas dari saya, anak itu mendatanginya.
"Tante, minta uang, buat makan nanti," katanya mengulang kata-katanya kepada saya tadi.
Wanita
yang mengenal ibu pemilik warung ini menatap si anak dengan penuh
selidik. Saya masih ingat tatapan itu: tatapan curiga sekaligus iba. Bisa saya rasakan bahwa saya tidak suka jenis tatapan seperti itu. Sejenak saya menduga bahwa wanita
ini akan menolak memberi sesuatu. Hingga kemudian....
"Memangnya kamu mau makan apa?" tanyanya.
Anak
itu dengan malu-malu menunjuk ke arah tumpukan piring dengan menu masakan Padang melimpah di atasnya. "Itu," katanya pelan, sangat pelan, hampir
tidak terdengar.
Kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut si wanita benar-benar tidak saya sangka-sangka.
"Bu," katanya memanggil ibu pemilik warung, "tolong bungkusin makanan yang diminta anak ini, nanti saya yang bayar."
Saya
berhenti makan seketika itu, melihat bagaimana ibu pemilik warung
menyiapkan makanan buat si anak peminta-minta itu. Kata-kata wanita tadi
menampar saya! Saya tidak menyangka masih ada orang sebaik ini. Ya,
wanita itu telah meninggalkan kesan 'baik' di mata saya.
Saya
bukan orang baik? Ya..., maksud saya, saya hanya bertindak seperti
orang kebanyakan. Saya mengajak Anda jujur pada diri sendiri, kalau Anda
berada dalam situasi yang sama seperti saya, tidakkah Anda juga akan
berpikir sambil merogoh saku, "Apakah ada recehan tersisa untuk si
peminta-minta?" Kalau tidak ada, ya ditolak dengan halus.
Kita
semua orang baik, saya rasa. Ya, kita memberi sedekah, kita menyumbang,
atau apapun namanya itu. Kita merasa kita sudah memberi. Tapi saya
belajar dari wanita tadi: ia betul-betul 'memberi' apa yang menjadi
kebutuhan anak tadi.
Saya tidak tahu apakah wanita itu adalah pengikut Kristus, tapi menurut saya, ia telah melakukan sesuatu untuk Kristus.
"...ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan...." (Mat 25:35)
Ada
begitu banyak orang yang sebenarnya eksis dalam kehidupan kita. Mereka
meminta-minta di warung, mereka mengamen di bis kota, mereka ada di
setiap lampu merah, mereka duduk di jembatan penyeberangan; mereka
eksis, mereka ada! Sayangnya kita yang sering tidak menganggap mereka
ada.
"Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan ada selalu bersama-sama kamu," kata Yesus. (Mat 26:11)
Perhatikan
dua frasa dengan dua subjek tersebut: Yesus membandingkan diri-Nya
dengan orang miskin. Kita dituntut untuk melayani Tuhan. Sayangnya
beberapa orang terlalu rohani dengan pelayanannya sampai-sampai
melupakan lingkungan sekitarnya. Masih ada 'Yesus' yang perlu kita
layani di luar sana.
Tulisan ini
tidak dimaksudkan agar kita beramai-ramai mengikuti sikap si wanita
tadi. Bagi mereka yang terpanggil dan berkecukupan, silakan! Tapi
tulisan ini lebih dimaksudkan agar kita membuka mata kita terhadap
orang-orang yang selama ini kita pinggirkan. Seperti dalam kasus saya,
saya pun masih belajar melakukannya. Akan sulit memang, meninggalkan ego
kita dan menaruh kasih terhadap orang-orang yang demikian, tapi kita
masih bisa belajar melakukannya.
Anak
itu sudah lama pergi. Wanita dengan temannya itu juga sudah entah di
mana. Dan saya masih menyelesaikan sisa makan siang saya sambil
merenung: apa yang bisa saya lakukan ke depannya untuk orang-orang
seperti anak tadi?
* * *
Jakarta,
Catatan Sabtu, 10 September 2011