Sebuah misteri yang luar biasa, bagaimana
manusia bisa berkomunikasi dengan Penciptanya. Tuhan adalah sosok yang tidak
kelihatan tapi kita yakin bahwa Ia ada. Lalu bagaimana berkomunikasi
dengan-Nya?
Baiklah, komunikasi satu arah mungkin saja
terjadi: kita yang mendominasi percakapan. Kita berbicara kepada Tuhan ibarat
menulis surat yang ditujukan pada Tuhan. Lalu bagaimana balasan-Nya? Mungkinkah
kita mendengarkan suara-Nya? Kalau sosok-Nya saja tidak tampak, bagaimana
dengan suara-Nya? Pertanyaan lebih dalam pun muncul: mungkinkah komunikasi dua
arah bisa terjadi dengan Tuhan?
Atau mungkinkah terkabulnya suatu permohonan
sudah merupakan jawaban dari Tuhan; sudah mewakili suara Tuhan dalam komunikasi
ini?
Bisa
dikatakan seperti itulah sebagian besar paradigma doa Orang Kristen. Bentuk doa
Orang Kristen selama ini hanyalah meminta, meminta dan meminta; memohon,
memohon dan memohon, lalu tinggal menunggu feedback
dari Tuhan. Hal yang sama juga mungkin ada dalam pikiran para murid waktu
itu.
Semua orang berdoa, tapi tampaknya, yang
doanya sukses adalah yang doanya dikabulkan. Sudah banyak contoh dari para
leluhur: Abraham, Musa, Yosua, Gideon, Samuel, Daud, Salomo, Daniel, dan
raja-raja serta nabi-nabi zaman dulu. Mereka mendapatkan apa yang mereka minta
dan mereka menjadi contoh orang yang sukses dalam berdoa. Mungkinkah kita juga
melakukan hal yang sama?
Tuhan Yesus pun berdoa. Bahkan Yohanes
Pembaptis juga! Ia malah mengajar murid-muridnya juga berdoa. Mengapa kita
tidak minta Tuhan mengajarkan hal yang sama kepada kita?
Maka
pagi itu, murid-murid mengamati Yesus berdoa dari kejauhan. Setelah selesai, Ia
didatangi murid-murid-Nya.
"Tuhan,
ajarlah kami berdoa, seperti Yohanes mengajar murid-muridnya juga berdoa."
Yesus
tahu isi hati mereka: "Kami juga
ingin sukses dalam berdoa. Kami mau, sama seperti pendahulu kami, ketika berdoa
maka Allah mengabulkannya."
Maka
Yesus menjawab mereka, "Apabila kamu berdoa, katakanlah:
"Bapa Kami yang di sorga"
Ingat,
Dia adalah Bapa! Kamu bisa meminta selayaknya anak kecil meminta kepada
bapanya, tapi kamu juga harus hormat sebagaimana anak kecil menghormati
bapanya.
Ingat
juga bahwa Dia ada di sorga, bukan dunia. Kemuliaan-Nya adalah kemuliaan
sorgawi. Permintaan kita mungkin sepele bagi-Nya untuk dikabulkan tapi fokus
kita bukan pada kebutuhan duniawi, melainkan pada kekekalan sorgawi.
"Dikuduskanlah nama-Mu"
Eits,
jangan buru-buru mengucapkan permohonan kita dulu. Sadarkah kita siapa Allah
itu? Ia kudus! Ada baiknya kita mengenal Allah sebelum mengucapkan permohonan
kita.
Jika
kita sudah mengetahui bahwa Ia kudus, kita bisa menginstropeksi diri kita:
apakah permintaan yang kita ajukan itu kudus? Apakah kita juga kudus? Jika
Engkau sedemikian kudusnya bagi kami, maka biarlah pikiran kami senantiasa
tertuju kepada-Mu, bukan hanya pada saat membutuhkan atau meminta sesuatu saja.
"Datanglah Kerajaan-Mu"
Tuhan
adalah Raja. Kita bukan meminta dengan sok ibarat tuan yang menyuruh hambanya.
Sebaliknya, kitalah hamba yang memohon kepada Sang Raja.
"Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti
di sorga"
Ya,
kita bisa meminta tapi kekuasaan bukan di tangan kita; kita tidak bisa
memaksakan kehendak kita untuk dikabulkan. Ketika doa kita dikabulkan, kita
bersyukur. Sebaliknya ketika tidak dikabulkan, kita tetap setia, sama seperti
malaikat di sorga setia, apapun yang diperintahkan Allah bagi mereka.
"Berikanlah kami pada hari ini makanan
kami yang secukupnya"
Ketika
kita meminta sesuatu, hal yang paling utama yang sebaiknya kita minta adalah
yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup kita, agar kita bisa tetap hidup
dan memuliakan Dia yang memberi kehidupan.
Kita
juga meminta yang secukupnya untuk satu hari; cukup menurut pandangan Allah dan
bukan menurut pandangan kita sendiri, sehingga kita belajar bahwa dalam
keseharian kita, kita tetap bergantung pada Tuhan.
"Dan ampunilah kami akan kesalahan
kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami"
Perlu
adanya suatu kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara kita dengan Allah. Dia
kudus sementara kita berdosa. Maka dalam menjalin komunikasi yang baik, kita
perlu meminta maaf atas dosa kita kepada Dia yang tidak pernah berdosa.
Tidak
hanya itu. Kita juga berjanji mengampuni dosa orang lain yang diperbuatnya
kepada kita, sama seperti kita sendiri sudah diampuni.
"Dan janganlah membawa kami ke dalam
pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat"
Di
atas semua permohonan kita, kita sadar bahwa kita lemah menghadapi serangan
rohani, baik dari iblis, dunia, bahkan dari diri kita sendiri. Maka sepatutnya
menjadi salah satu permohonan kita untuk meminta tuntunan Allah dalam
menghadapi peperangan rohani ini.
"Karena Engkaulah yang empunya
Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya"
Sekali
lagi, bahkan di akhir doa kita pun, kita tetap mengingat dan menyadari Allah
sebagai raja, sehingga tidak lupa untuk terus memuliakan-Nya sehabis doa,
bahkan setelah doa kita dikabulkan.
"Amin."
Kita
meyakini dengan iman bahwa pasti permintaan kita dikabulkan.
* * *
Selanjutnya,
seluruh doa ini dikenal sebagai Doa Bapa Kami. Sangat singkat, memang, dan
sifatnya sangat umum. Tapi intisari doa ini bisa kita terapkan untuk doa-doa
yang lain juga.
Melalui
doa ini kita belajar bahwa doa adalah proses yang berkelanjutan, tidak hanya
berhenti sampai kata "amin" saja. Komunikasi dengan Tuhan sebenarnya
bisa terjadi dua arah. Kita berdoa, lalu Roh Kudus terus menguatkan hati kita
hingga Tuhan menjawab doa itu, demikian seterusnya.
Ketika
kita berhenti berdoa, maka pengharapan itu sudah tidak ada lagi, Roh Kudus
berhenti berbisik dalam hati kita, dan komunikasi dengan Allah pun terputus.
Maka setelah belajar berdoa melalui tulisan ini, kita diingatkan melalui
nasihat Paulus: "Tetaplah berdoa."
(1 Tes 5:17)
* * *
Catatan:
Bagian
awal tulisan ini saya tulis dengan terinspirasi dari Lukas 11:1. Saya menyadari bahwa setiap Orang Kristen harus
memiliki pemahaman yang benar tentang doa dengan mempelajarinya.
Isi
Doa Bapa Kami ini sendiri saya ambil dari versi Matius 6:9-13, sementara penjelasannya saya sesuaikan dengan isi
'Katekismus Heidelberg,' dengan tujuan agar orang-orang yang belum membaca
katekismus ini, atau tidak mau membacanya karena mungkin bahasanya yang sulit
dipahami, bisa memahaminya melalui penjelasan dalam tulisan saya ini.
Referensi
Buku:
Ursinus,
Zakharias dan Caspar Olevianus, Pengajaran
Agama Kristen: Katekismus Heidelberg, terj. Tim BPK Gunung Mulia, cet.
Ke-28, Jakarta: Gunung Mulia, 2007, hal. 72-78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar