Minggu, 16 Oktober 2011

Ajarlah Kami Berdoa


Sebuah misteri yang luar biasa, bagaimana manusia bisa berkomunikasi dengan Penciptanya. Tuhan adalah sosok yang tidak kelihatan tapi kita yakin bahwa Ia ada. Lalu bagaimana berkomunikasi dengan-Nya?
Baiklah, komunikasi satu arah mungkin saja terjadi: kita yang mendominasi percakapan. Kita berbicara kepada Tuhan ibarat menulis surat yang ditujukan pada Tuhan. Lalu bagaimana balasan-Nya? Mungkinkah kita mendengarkan suara-Nya? Kalau sosok-Nya saja tidak tampak, bagaimana dengan suara-Nya? Pertanyaan lebih dalam pun muncul: mungkinkah komunikasi dua arah bisa terjadi dengan Tuhan?
Atau mungkinkah terkabulnya suatu permohonan sudah merupakan jawaban dari Tuhan; sudah mewakili suara Tuhan dalam komunikasi ini?
Bisa dikatakan seperti itulah sebagian besar paradigma doa Orang Kristen. Bentuk doa Orang Kristen selama ini hanyalah meminta, meminta dan meminta; memohon, memohon dan memohon, lalu tinggal menunggu feedback dari Tuhan. Hal yang sama juga mungkin ada dalam pikiran para murid waktu itu.
Semua orang berdoa, tapi tampaknya, yang doanya sukses adalah yang doanya dikabulkan. Sudah banyak contoh dari para leluhur: Abraham, Musa, Yosua, Gideon, Samuel, Daud, Salomo, Daniel, dan raja-raja serta nabi-nabi zaman dulu. Mereka mendapatkan apa yang mereka minta dan mereka menjadi contoh orang yang sukses dalam berdoa. Mungkinkah kita juga melakukan hal yang sama?
Tuhan Yesus pun berdoa. Bahkan Yohanes Pembaptis juga! Ia malah mengajar murid-muridnya juga berdoa. Mengapa kita tidak minta Tuhan mengajarkan hal yang sama kepada kita?
Maka pagi itu, murid-murid mengamati Yesus berdoa dari kejauhan. Setelah selesai, Ia didatangi murid-murid-Nya.
"Tuhan, ajarlah kami berdoa, seperti Yohanes mengajar murid-muridnya juga berdoa."
Yesus tahu isi hati mereka: "Kami juga ingin sukses dalam berdoa. Kami mau, sama seperti pendahulu kami, ketika berdoa maka Allah mengabulkannya."
Maka Yesus menjawab mereka, "Apabila kamu berdoa, katakanlah:
"Bapa Kami yang di sorga"
Ingat, Dia adalah Bapa! Kamu bisa meminta selayaknya anak kecil meminta kepada bapanya, tapi kamu juga harus hormat sebagaimana anak kecil menghormati bapanya.
Ingat juga bahwa Dia ada di sorga, bukan dunia. Kemuliaan-Nya adalah kemuliaan sorgawi. Permintaan kita mungkin sepele bagi-Nya untuk dikabulkan tapi fokus kita bukan pada kebutuhan duniawi, melainkan pada kekekalan sorgawi.
"Dikuduskanlah nama-Mu"
Eits, jangan buru-buru mengucapkan permohonan kita dulu. Sadarkah kita siapa Allah itu? Ia kudus! Ada baiknya kita mengenal Allah sebelum mengucapkan permohonan kita.
Jika kita sudah mengetahui bahwa Ia kudus, kita bisa menginstropeksi diri kita: apakah permintaan yang kita ajukan itu kudus? Apakah kita juga kudus? Jika Engkau sedemikian kudusnya bagi kami, maka biarlah pikiran kami senantiasa tertuju kepada-Mu, bukan hanya pada saat membutuhkan atau meminta sesuatu saja.
"Datanglah Kerajaan-Mu"
Tuhan adalah Raja. Kita bukan meminta dengan sok ibarat tuan yang menyuruh hambanya. Sebaliknya, kitalah hamba yang memohon kepada Sang Raja.
"Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga"
Ya, kita bisa meminta tapi kekuasaan bukan di tangan kita; kita tidak bisa memaksakan kehendak kita untuk dikabulkan. Ketika doa kita dikabulkan, kita bersyukur. Sebaliknya ketika tidak dikabulkan, kita tetap setia, sama seperti malaikat di sorga setia, apapun yang diperintahkan Allah bagi mereka.
"Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya"
Ketika kita meminta sesuatu, hal yang paling utama yang sebaiknya kita minta adalah yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup kita, agar kita bisa tetap hidup dan memuliakan Dia yang memberi kehidupan.
Kita juga meminta yang secukupnya untuk satu hari; cukup menurut pandangan Allah dan bukan menurut pandangan kita sendiri, sehingga kita belajar bahwa dalam keseharian kita, kita tetap bergantung pada Tuhan.
"Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami"
Perlu adanya suatu kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara kita dengan Allah. Dia kudus sementara kita berdosa. Maka dalam menjalin komunikasi yang baik, kita perlu meminta maaf atas dosa kita kepada Dia yang tidak pernah berdosa.
Tidak hanya itu. Kita juga berjanji mengampuni dosa orang lain yang diperbuatnya kepada kita, sama seperti kita sendiri sudah diampuni.
"Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat"
Di atas semua permohonan kita, kita sadar bahwa kita lemah menghadapi serangan rohani, baik dari iblis, dunia, bahkan dari diri kita sendiri. Maka sepatutnya menjadi salah satu permohonan kita untuk meminta tuntunan Allah dalam menghadapi peperangan rohani ini.
"Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya"
Sekali lagi, bahkan di akhir doa kita pun, kita tetap mengingat dan menyadari Allah sebagai raja, sehingga tidak lupa untuk terus memuliakan-Nya sehabis doa, bahkan setelah doa kita dikabulkan.
"Amin."
Kita meyakini dengan iman bahwa pasti permintaan kita dikabulkan.
* * *
Selanjutnya, seluruh doa ini dikenal sebagai Doa Bapa Kami. Sangat singkat, memang, dan sifatnya sangat umum. Tapi intisari doa ini bisa kita terapkan untuk doa-doa yang lain juga.
Melalui doa ini kita belajar bahwa doa adalah proses yang berkelanjutan, tidak hanya berhenti sampai kata "amin" saja. Komunikasi dengan Tuhan sebenarnya bisa terjadi dua arah. Kita berdoa, lalu Roh Kudus terus menguatkan hati kita hingga Tuhan menjawab doa itu, demikian seterusnya.
Ketika kita berhenti berdoa, maka pengharapan itu sudah tidak ada lagi, Roh Kudus berhenti berbisik dalam hati kita, dan komunikasi dengan Allah pun terputus. Maka setelah belajar berdoa melalui tulisan ini, kita diingatkan melalui nasihat Paulus: "Tetaplah berdoa." (1 Tes 5:17)
* * *
Catatan:
Bagian awal tulisan ini saya tulis dengan terinspirasi dari Lukas 11:1. Saya menyadari bahwa setiap Orang Kristen harus memiliki pemahaman yang benar tentang doa dengan mempelajarinya.
Isi Doa Bapa Kami ini sendiri saya ambil dari versi Matius 6:9-13, sementara penjelasannya saya sesuaikan dengan isi 'Katekismus Heidelberg,' dengan tujuan agar orang-orang yang belum membaca katekismus ini, atau tidak mau membacanya karena mungkin bahasanya yang sulit dipahami, bisa memahaminya melalui penjelasan dalam tulisan saya ini.
Referensi Buku:
Ursinus, Zakharias dan Caspar Olevianus, Pengajaran Agama Kristen: Katekismus Heidelberg, terj. Tim BPK Gunung Mulia, cet. Ke-28, Jakarta: Gunung Mulia, 2007, hal. 72-78.

Tidak ada komentar: