Kamis, 29 September 2011

Berani Mengambil Risiko

Tantangan terbesar iman biasanya selalu terkait dengan ketidakpastian. Kenapa? Karena sesuatu yang nggak pasti itu risikonya pasti lebih besar dibandingkan dengan sesuatu yang kepastiannya diketahui. 

Mereka yang bergerak di bidang investasi pasti tahu bahwa berinvestasi di perusahaan mapan, bidang usahanya jelas, dan mudah diprediksi memiliki risiko lebih kecil dibandingkan berinvestasi di perusahaan kecil dan nggak terkenal. Bisa-bisa bukannya dapat untung, duitnya malah dibawa kabur! 

Nah, ketidakpastian inilah yang menjadi masalah sebagian besar orang, apalagi kalau terkait dengan masa depan. Siapa yang tahu apa yang bakal terjadi sejam lagi? Atau nggak usah sejam, deh, semenit ke depan aja kita nggak bakal tahu apa yang akan terjadi. Pengetahuan kita soal masa depan itu nol, tidak ada! Dan ini adalah sesuatu yang sangat sangat sangat tidak pasti! 

Senin, 12 September 2011

Orang Miskin Selalu Ada Padamu

Saya cukup sering melewati tempat itu: kompleks warung makan kecil yang dikelilingi penjual makanan yang sebagian besar adalah masakan Padang. Ya, seperti yang sudah saya katakan, saya cukup sering melewatinya sampai berpikir suatu saat bisa mampir untuk makan siang di tempat itu. Lalu Sabtu siang itu saya melakukannya.

Seperti biasanya Sabtu siang, tidak banyak kegiatan yang saya lakukan, lalu saya terpikir untuk makan siang di tempat tadi. Saya masuk, mengambil meja agak di tengah. Saat itu masih pukul 11 siang dan masih sepi pengunjung. Di belakang saya sepasang suami-isteri paruh baya sudah hampir menghabiskan makanan mereka, sementara di depan saya ada dua wanita bercakap-cakap dengan masing-masing satu es teh di hadapannya.

Ketika makanan yang saya pesan datang, pasangan suami-isteri di belakang tampaknya sudah selesai dan mereka membayar lalu keluar. Tinggallah saya dengan dua wanita di depan itu. Salah seorang dari mereka tampaknya kenal dengan ibu pemilik warung karena sesekali ia menyapanya; ia bahkan memperkenalkan temannya ke ibu pemilik warung itu.

Semuanya tampak berjalan seperti biasa: saya menikmati makan siang saya dan dua wanita di depan itu sudah akan meninggalkan tempat tadi, sampai kemudian seorang anak masuk. Ia cukup tinggi, kemeja kuning dan celana pendek cokelatnya kusam dan ia berjalan agak lesu. Saya bisa menebak usianya mungkin sekitar 14 hingga 16 tahun. Ia berhenti di sisi meja saya dengan tangan terulur dan terbuka.

"Om, minta uang, buat makan nanti," katanya memelas.

Seperti orang biasa lainnya, saya berpikir apakah ada recehan yang bisa diberikan ke anak ini atau tidak, dan setelah mengingat saya tidak mempunyai uang kecil di dompet, saya menolaknya--dengan halus, tentu saja, seperti kebanyakan orang 'baik' lainnya.

Merasa putus asa dengan saya, anak itu beranjak ke depan, ke arah dua wanita tadi. Mereka sepertinya sudah selesai dan hendak meninggalkan tempat itu. Salah seorang wanita (yang tidak mengenal ibu pemilik warung) bahkan telah keluar, dan wanita yang tinggal masih sempat bercakap-cakap dengan ibu pemilik warung. Selepas dari saya, anak itu mendatanginya.

"Tante, minta uang, buat makan nanti," katanya mengulang kata-katanya kepada saya tadi.

Wanita yang mengenal ibu pemilik warung ini menatap si anak dengan penuh selidik. Saya masih ingat tatapan itu: tatapan curiga sekaligus iba. Bisa saya rasakan bahwa saya tidak suka jenis tatapan seperti itu. Sejenak saya menduga bahwa wanita ini akan menolak memberi sesuatu. Hingga kemudian....

"Memangnya kamu mau makan apa?" tanyanya.

Anak itu dengan malu-malu menunjuk ke arah tumpukan piring dengan menu masakan Padang melimpah di atasnya. "Itu," katanya pelan, sangat pelan, hampir tidak terdengar.

Kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut si wanita benar-benar tidak saya sangka-sangka.

"Bu," katanya memanggil ibu pemilik warung, "tolong bungkusin makanan yang diminta anak ini, nanti saya yang bayar."

Saya berhenti makan seketika itu, melihat bagaimana ibu pemilik warung menyiapkan makanan buat si anak peminta-minta itu. Kata-kata wanita tadi menampar saya! Saya tidak menyangka masih ada orang sebaik ini. Ya, wanita itu telah meninggalkan kesan 'baik' di mata saya.

Saya bukan orang baik? Ya..., maksud saya, saya hanya bertindak seperti orang kebanyakan. Saya mengajak Anda jujur pada diri sendiri, kalau Anda berada dalam situasi yang sama seperti saya, tidakkah Anda juga akan berpikir sambil merogoh saku, "Apakah ada recehan tersisa untuk si peminta-minta?" Kalau tidak ada, ya ditolak dengan halus.

Kita semua orang baik, saya rasa. Ya, kita memberi sedekah, kita menyumbang, atau apapun namanya itu. Kita merasa kita sudah memberi. Tapi saya belajar dari wanita tadi: ia betul-betul 'memberi' apa yang menjadi kebutuhan anak tadi.

Saya tidak tahu apakah wanita itu adalah pengikut Kristus, tapi menurut saya, ia telah melakukan sesuatu untuk Kristus.

"...ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan...." (Mat 25:35)

Ada begitu banyak orang yang sebenarnya eksis dalam kehidupan kita. Mereka meminta-minta di warung, mereka mengamen di bis kota, mereka ada di setiap lampu merah, mereka duduk di jembatan penyeberangan; mereka eksis, mereka ada! Sayangnya kita yang sering tidak menganggap mereka ada.

"Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan ada selalu bersama-sama kamu," kata Yesus. (Mat 26:11)

Perhatikan dua frasa dengan dua subjek tersebut: Yesus membandingkan diri-Nya dengan orang miskin. Kita dituntut untuk melayani Tuhan. Sayangnya beberapa orang terlalu rohani dengan pelayanannya sampai-sampai melupakan lingkungan sekitarnya. Masih ada 'Yesus' yang perlu kita layani di luar sana.

Tulisan ini tidak dimaksudkan agar kita beramai-ramai mengikuti sikap si wanita tadi. Bagi mereka yang terpanggil dan berkecukupan, silakan! Tapi tulisan ini lebih dimaksudkan agar kita membuka mata kita terhadap orang-orang yang selama ini kita pinggirkan. Seperti dalam kasus saya, saya pun masih belajar melakukannya. Akan sulit memang, meninggalkan ego kita dan menaruh kasih terhadap orang-orang yang demikian, tapi kita masih bisa belajar melakukannya.

Anak itu sudah lama pergi. Wanita dengan temannya itu juga sudah entah di mana. Dan saya masih menyelesaikan sisa makan siang saya sambil merenung: apa yang bisa saya lakukan ke depannya untuk orang-orang seperti anak tadi?
* * *

Jakarta,
Catatan Sabtu, 10 September 2011

Jumat, 02 September 2011

Menghadapi Riak Air

Gadis kecil itu memandangi kolam di hadapannya. Ia sangat tertarik. Ia ingin mencelupkan tangannya ke dalam, tapi ia sangat takut. Ia sangat ingin walau sebentar saja.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri terdapat sungai kecil yang airnya mengalir dan bermuara ke kolam tersebut, membuat air kolam di sekitarnya beriak. Itulah yang membuat si gadis kecil takut: ia takut, tatkala ia mencelupkan tangannya, ia akan terseret riak air itu dan tercebur ke kolam. Ia tidak bisa berenang walaupun ia sendiri tidak yakin kolam itu dalam. Kemudian ia menghampiri ayahnya yang duduk membaca di kursi taman.

Selamat Datang di Wahana 'Gereja'

Pada hari-hari libur, biasanya tempat-tempat rekreasi dipadati pengunjung. Salah satu tempat tujuan rekreasi di Jakarta adalah Dunia Fantasi (Dufan), Ancol, yang menyediakan berbagai permainan dalam bentuk wahana--sebagian di antaranya cukup menantang.

'Halilintar' adalah nama wahana untuk permainan roller coaster di Dufan. Wahana ini biasanya banyak diminati; orang-orang ingin merasakan bagaimana rasanya naik kereta yang tidak hanya sekadar kereta, tapi juga memiliki lintasan naik-turun, berputar ke sana ke mari.

Pengunjung yang ingin menikmatinya berbaris antri di depan, menunggu pengunjung sebelumnya menyelesaikan putaran permainan mereka. Lalu roller coaster itu berhenti, penumpangnya turun dan keluar melalui pintu lain, sementara pengunjung yang antri satu persatu menempati kursi di sepanjang roller coaster itu.

Menggali Asal Usul Iman

Sensitivitas terhadap Tuhan (atau dalam istilah saya, sensitivitas terhadap Yang Mahakuasa). Saya senang dengan istilah ini dan sebenarnya saya masih baru-baru ini mendengarnya; diperkenalkan oleh seorang kenalan saya, seorang teolog, dan seperti biasa, saya selalu terbuka dan menerima hal-hal baru dengan senang hati! Dia tampak sangat fokus dengan topik ini, atau paling tidak itulah yang dapat saya tangkap dari beberapa hari pertemuan dan percakapan kami.

Apa itu 'sensitivitas terhadap Tuhan'? Saya senang dengan penjelasan kenalan saya ini, tapi dalam tulisan ini, saya akan mengemukakan penjelasan saya sendiri.