Selasa, 26 Juni 2012

Bukan Satu-satunya Manusia


Ketika itu, hanya ada satu manusia di muka bumi. Bayangkan, dunia yang diciptakan Tuhan sedemikian luas dan hanya ada satu manusia di dalamnya! Itu berarti hanya ada satu otak, satu pikiran; hanya ada satu hati, satu perasaan, di dunia. Dan satu otak itu—yang juga berarti satu kreatifitas—digunakan Tuhan. Ia membawa binatang ciptaan-Nya kepada si manusia dan si manusia diberi tugas untuk menamai setiap binatang itu. Suasana sangat tenteram ketika itu; ingat, hanya ada satu otak ketika itu. Hanya ia satu-satunya manusia, dan ia bebas membuat keputusan sesukanya. Si manusia pertama bisa berkreasi sebebas-bebasnya menentukan nama hewan sesuai keinginannya, tanpa perlu diintervensi oleh otak lain, tanpa takut ada hati lain yang tersinggung. Itulah yang dikisahkan Alkitab dalam Kejadian pasal 2.

Tapi, ternyata, si manusia pertama tidak bisa hidup sendiri. Ia merasa kesepian. Kelak, ribuan tahun kemudian, muncullah teori bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang berarti bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Si manusia pertama juga demikian. Ia tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Bahasa Alkitabnya: ia memerlukan penolong yang sepadan dengan dia.

Lalu, melihat situasi ini, dibentuk Tuhanlah seorang manusia lain: perempuan. Jadilah, ada dua manusia di muka bumi, ada dua otak dua pikiran, ada dua hati dua perasaan. Tapi, yang jadi masalah adalah kedua pikiran dan kedua perasaan ini tidak selamanya sama. Tibalah suatu masa ketika manusia kedua mulai bertindak mengambil keputusan. Lalu muncul konflik pertama dalam sejarah kehidupan manusia.

“Apakah kau memakan buah yang Kularang untuk dimakan?” tanya Tuhan.

“Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang membuat aku memakannya.”

Muncullah perselisihan.

“Gara-gara dia! Sebelum dia ada, semuanya baik-baik saja.”

Perhatikan perbedaannya, ketika hanya ada satu manusia dan satu pengambil keputusan, dibandingkan dengan dua manusia yang keduanya memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan. Dan ketika keputusan manusia satu merugikan manusia lain, timbullah konflik.

Itu baru dua manusia di bumi. Sekarang, ada milyaran manusia di bumi, dengan milyaran otak, milyaran pikiran; dengan milyaran hati, milyaran perasaan. Dan jangan berpikir pikiran dan perasaan sebanyak itu semuanya bisa sejalan. Dulu, ketika manusia masih dua saja, pikiran dan perasaan bisa berbeda, apalagi sekarang. Dan sama halnya ketika dua manusia pertama bisa konflik, bisa juga terjadi pada milyaran manusia sekarang. Lalu, apa yang bisa mempertahankan agar dengan milyaran manusia yang ada sekarang, tidak terjadi konflik?

Pertanyaan di atas mengarahkan kita pada jawaban: toleransi. Apa toleransi itu? Chambers Concise Usage Dictionary oleh C.M. Schwarz dan M.A. Seaton memberikan definisi Tolerance: the ability to be fair and understanding to people whose ways, opinions etc are different from one’s own (terjemahan bebas versi saya: kemampuan untuk mengerti bahwa orang lain memiliki jalan pikiran, opini dll yang berbeda dengan kita).

Toleransi adalah ketika saya melihat perilaku, kebiasaan, pikiran, ideologi atau apapun itu dari diri seseorang, yang berbeda dengan perilaku, kebiasaan, pikiran, ideologi saya, maka saya tidak menilai orang tersebut salah. Sebaliknya, saya menyadari bahwa saya bukanlah dia dan dia bukanlah saya. Kami masing-masing memiliki perilaku, kebiasaan, pikiran, ideologi kami sendiri-sendiri. Itulah toleransi.

Jumlah manusia yang lebih dari satu adalah keputusan Tuhan. Tuhan pulalah yang menciptakan keragaman antara satu manusia dengan yang lainnya karena pada hakikatnya, manusia diciptakan sebagai penolong yang sepadan bagi manusia lainnya. Tetapi, Tuhan tidak bermaksud menciptakan konflik. Karena itu, Tuhan juga menciptakan perasaan toleransi dalam diri manusia. Tinggal kemampuan dari masing-masing manusia untuk menggali potensi bertoleransi yang Tuhan taruh dalam dirinya.

Jika toleransi ini ada, maka tidak ada lagi orang yang melarang orang lainnya untuk beribadah hanya karena agamanya berbeda. Tidak ada lagi orang yang menganggap ras tertentu jelek. Tidak ada lagi debat “saya baik, kamu buruk.” Tidak ada lagi diskriminasi. Semua karena kita sadar, kita bukan satu-satunya manusia di muka bumi ini.