Kamis, 27 Desember 2012

Kisah Yusuf

Malam itu ia tidak bisa tidur. Ya, ia memang tidak bisa tidur nyenyak beberapa bulan terakhir ini, tapi malam kali ini berbeda. Ia baru tiba di kota kecil ini: Betlehem; kota di mana tidak ada seorang pun yang ia kenal; kota yang sebegitu kecilnya dengan jumlah penginapan yang terbatas, yang jika dipadukan dengan sedikit kemalangan saja bisa membuatnya tidak mendapatkan tempat menginap yang layak. Tapi bukan dirinya yang dirisaukannya. Ia lebih mengkhawatirkan tunangannya yang mengandung (dan telah melahirkan bayi laki-laki saat ini).

Tapi tunggu dulu..., tunangannya? Mengandung? Ha, yang benar saja! Kisah ini mau menceritakan laki-laki kurang ajar yang menghamili anak orang, dimana status mereka masih bertunangan? Sabar, sabar. Bukan itu cerita sesungguhnya. Anda akan tahu kebenarannya sebentar lagi.

Semuanya berawal sejak beberapa bulan lalu. Ya, Anda bisa menebak, sejak itulah ia tidak bisa tidur nyenyak hingga saat ini.

* * *

Minggu, 09 Desember 2012

Perbuatan Baik



Sudah sangat lama, Orang Kristen memperdebatkan soal perbuatan baik. Apakah orang diselamatkan dengan perbuatan baiknya, atau hanya dengan iman kepada Yesus saja? Apakah Kekristenan menganut sistem pahala: semakin besar pahala dari perbuatan baiknya, semakin besar kesempatannya masuk surga? Atau, kalau Kekristenan hanya berdasar pada iman saja, mengapa masih harus melakukan perbuatan baik; bukankah cukup percaya pada Yesus saja?

Selasa, 06 November 2012

Sisi Gelap



Minggu pagi ini aku berada di belakang kemudi dengan pikiran kosong, berputar-putar tak tentu arah. Seperti hari Minggu biasa, jalanan Jakarta lengang. Aku mengikuti saja jalan lurus di depanku. Jika bertemu persimpangan, aku belok kiri. Setiap dua kali belok kiri, sekali belok kanan, begitu seterusnya, seperti kebiasaanku kalau sedang galau. Aku tidak punya arah. Aku memikirkan semua yang terjadi padaku sebulan terakhir. Rasanya semua terjadi begitu cepat.

Minggu, 04 November 2012

Praktik Kasih

Suasana sunyi di siang hari sudah menjadi pemandangan sehari-hari di desa itu. Sebagian besar orang dewasa bekerja di ladang, di pinggiran desa; hewan ternak yang biasanya ribut sedang ada di padang penggembalaan; sementara anak-anak enggan bermain di bawah terik matahari yang membakar ini.

Sabtu, 20 Oktober 2012

Take My Life, and Let It Be



Take My Life, and Let It Be. Mungkin karena Bahasa Inggris, jadi banyak yang belum akrab istilah ini. Bagaimana kalau saya ambil terjemahan Bahasa Indonesianya: “Tuhan, Ambil Hidupku.” Sudah merasa akrab? Ya, bagi jemaat gereja-gereja mainstream, pasti sudah bisa menebak kalau ini adalah judul lagu. Sangat terkenal, bahkan terdapat lima versi berbeda di dua buku nyanyian yang bisa kita temui di Kidung Jemaat 365 a, b dan c, serta Nyanyikanlah Kidung Baru 181 a dan b.

Nyanyian ini sering dinyanyikan dalam ibadah, khususnya dalam mengiringi pengumpulan persembahan. Tapi, saking seringnya, makna lagu ini terasa semakin lama semakin pudar. Saya lalu mencari terjemahan aslinya dan terkejut bahwa lagu ciptaan Frances Ridley Havergal ini sarat makna! Keenam baitnya semuanya menyiratkan penyerahan diri sepenuhnya kepada Kristus.

Setelah merenungkan kata-kata lagu ini, saya lalu berefleksi dengan pertanyaan: sudahkah saya menyerahkan diri sepenuhnya pada Kristus seperti pada lagu ini? Apa saja yang perlu kita serahkan pada Kristus? Mari kita lihat satu per satu.

Selasa, 25 September 2012

Melayani = Menjadi Budak? – Aristoteles vs. Yesus



Di era sekarang ini, industri jasa (service industry) semakin berkembang. Berbeda dengan pemahaman dari awal revolusi industri, orang tidak lagi berpikir bahwa satu-satunya penggerak ekonomi adalah dengan memproduksi barang dalam jumlah besar di pabrik dan mendistribusikannya. Tidak hanya barang, jasa pun ternyata bisa diperdagangkan juga. Perusahaan mulai berlomba-lomba menyediakan service/pelayanan terbaik. Untuk mendapatkan laba, setiap perusahaan, setiap pekerja, karyawan harus melayani.

Tapi itu zaman sekarang. Berbeda halnya kalau Anda hidup 2000-an tahun lalu. Pada zaman itu, perbudakan sangat marak dan menjadi pelayan adalah pilihan terakhir dalam hidup seseorang. Ditambah lagi dengan pengaruh budaya Yunani kuno yang sangat kuat pada zaman tersebut.

Selasa, 28 Agustus 2012

Apa yang Anda Minta?


“Mintalah apa saja yang dikehendaki hatimu, maka itu akan dikabulkan.”

Jika Anda dihadapkan pada hal semacam ini, apa yang Anda minta?

Selasa, 26 Juni 2012

Bukan Satu-satunya Manusia


Ketika itu, hanya ada satu manusia di muka bumi. Bayangkan, dunia yang diciptakan Tuhan sedemikian luas dan hanya ada satu manusia di dalamnya! Itu berarti hanya ada satu otak, satu pikiran; hanya ada satu hati, satu perasaan, di dunia. Dan satu otak itu—yang juga berarti satu kreatifitas—digunakan Tuhan. Ia membawa binatang ciptaan-Nya kepada si manusia dan si manusia diberi tugas untuk menamai setiap binatang itu. Suasana sangat tenteram ketika itu; ingat, hanya ada satu otak ketika itu. Hanya ia satu-satunya manusia, dan ia bebas membuat keputusan sesukanya. Si manusia pertama bisa berkreasi sebebas-bebasnya menentukan nama hewan sesuai keinginannya, tanpa perlu diintervensi oleh otak lain, tanpa takut ada hati lain yang tersinggung. Itulah yang dikisahkan Alkitab dalam Kejadian pasal 2.

Tapi, ternyata, si manusia pertama tidak bisa hidup sendiri. Ia merasa kesepian. Kelak, ribuan tahun kemudian, muncullah teori bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang berarti bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Si manusia pertama juga demikian. Ia tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Bahasa Alkitabnya: ia memerlukan penolong yang sepadan dengan dia.

Lalu, melihat situasi ini, dibentuk Tuhanlah seorang manusia lain: perempuan. Jadilah, ada dua manusia di muka bumi, ada dua otak dua pikiran, ada dua hati dua perasaan. Tapi, yang jadi masalah adalah kedua pikiran dan kedua perasaan ini tidak selamanya sama. Tibalah suatu masa ketika manusia kedua mulai bertindak mengambil keputusan. Lalu muncul konflik pertama dalam sejarah kehidupan manusia.

“Apakah kau memakan buah yang Kularang untuk dimakan?” tanya Tuhan.

“Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dialah yang membuat aku memakannya.”

Muncullah perselisihan.

“Gara-gara dia! Sebelum dia ada, semuanya baik-baik saja.”

Perhatikan perbedaannya, ketika hanya ada satu manusia dan satu pengambil keputusan, dibandingkan dengan dua manusia yang keduanya memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan. Dan ketika keputusan manusia satu merugikan manusia lain, timbullah konflik.

Itu baru dua manusia di bumi. Sekarang, ada milyaran manusia di bumi, dengan milyaran otak, milyaran pikiran; dengan milyaran hati, milyaran perasaan. Dan jangan berpikir pikiran dan perasaan sebanyak itu semuanya bisa sejalan. Dulu, ketika manusia masih dua saja, pikiran dan perasaan bisa berbeda, apalagi sekarang. Dan sama halnya ketika dua manusia pertama bisa konflik, bisa juga terjadi pada milyaran manusia sekarang. Lalu, apa yang bisa mempertahankan agar dengan milyaran manusia yang ada sekarang, tidak terjadi konflik?

Pertanyaan di atas mengarahkan kita pada jawaban: toleransi. Apa toleransi itu? Chambers Concise Usage Dictionary oleh C.M. Schwarz dan M.A. Seaton memberikan definisi Tolerance: the ability to be fair and understanding to people whose ways, opinions etc are different from one’s own (terjemahan bebas versi saya: kemampuan untuk mengerti bahwa orang lain memiliki jalan pikiran, opini dll yang berbeda dengan kita).

Toleransi adalah ketika saya melihat perilaku, kebiasaan, pikiran, ideologi atau apapun itu dari diri seseorang, yang berbeda dengan perilaku, kebiasaan, pikiran, ideologi saya, maka saya tidak menilai orang tersebut salah. Sebaliknya, saya menyadari bahwa saya bukanlah dia dan dia bukanlah saya. Kami masing-masing memiliki perilaku, kebiasaan, pikiran, ideologi kami sendiri-sendiri. Itulah toleransi.

Jumlah manusia yang lebih dari satu adalah keputusan Tuhan. Tuhan pulalah yang menciptakan keragaman antara satu manusia dengan yang lainnya karena pada hakikatnya, manusia diciptakan sebagai penolong yang sepadan bagi manusia lainnya. Tetapi, Tuhan tidak bermaksud menciptakan konflik. Karena itu, Tuhan juga menciptakan perasaan toleransi dalam diri manusia. Tinggal kemampuan dari masing-masing manusia untuk menggali potensi bertoleransi yang Tuhan taruh dalam dirinya.

Jika toleransi ini ada, maka tidak ada lagi orang yang melarang orang lainnya untuk beribadah hanya karena agamanya berbeda. Tidak ada lagi orang yang menganggap ras tertentu jelek. Tidak ada lagi debat “saya baik, kamu buruk.” Tidak ada lagi diskriminasi. Semua karena kita sadar, kita bukan satu-satunya manusia di muka bumi ini.

Rabu, 30 Mei 2012

Bahasa Roh


Perhatian: Tulisan ini mungkin bersifat keras bagi beberapa orang dan mungkin akan bertabrakan dengan doktrin beberapa gereja. Tulisan ini semata dihasilkan berdasarkan penelusuran secara alkitabiah dan melalui pendalaman Alkitab tanpa bermaksud menyinggung pihak tertentu. Dibutuhkan kebijaksanaan para pembaca.

Saya berpikir tentang topik ini pada hari Pentakosta tahun 2012. Hari Pentakosta biasanya identik dengan Roh Kudus. Tapi, saya berpikir, bagaimana sebenarnya Roh Kudus itu? Misteri Roh Kudus adalah sama seperti misteri Tuhan yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan akal pikiran manusia.
Salah satu topik tentang Roh Kudus yang banyak dibicarakan dan sering menjadi bahan kontroversi antar denominasi gereja adalah Bahasa Roh. Pokok pikiran tulisan ini sebenarnya sudah sangat lama terlintas di benak saya, tetapi saya membutuhkan waktu untuk mengadakan pendalaman dan perenungan Alkitab serta mencari beberapa sumber yang saya anggap relevan.
Dalam tulisan ini, saya sedapat mungkin bersifat netral dan tidak memihak denominasi gereja mana pun. Tulisan ini saya hasilkan murni dari pengembangan pokok pikiran yang saya maksud di atas disertai pendalaman dan perenungan Alkitab ditambah pengalaman dan pergaulan saya di beberapa denominasi gereja.
Dan inilah hasilnya, yang saya bagi menjadi empat pemikiran tentang bahasa roh.

Senin, 28 Mei 2012

Move On


Mereka yang pernah menjalani hubungan asmara dengan seseorang, lalu kemudian ditinggalkan oleh kekasihnya itu pasti akrab dengan kata satu ini. Ya, kurang lebih, kata ini mengingatkan mereka untuk terus maju, jangan mengungkit-ungkit dan mengingat-ingat si mantan kekasih itu lagi. Kata ini memotivasi mereka untuk melupakan masa lalu itu, bahkan kalau perlu, menjalani hubungan yang baru lagi dengan orang lain.
Move on juga menjadi kata motivator yang kuat bagi orang-orang dengan masa lalu dengan kelam, seperti orang-orang dengan pengalaman broken home, atau mereka yang kehilangan pekerjaan, atau kegagalan-kegagalan lainnya.
Kekristenan juga mengajarkan move on. Secara spesifik, maksudnya, bukan move on bagi pemuda-pemuda Kristen yang putus cinta atau patah hati. Ini adalah move on yang lebih dalam dari itu, yang diajarkan Alkitab.
Tuhan Yesus pernah mengajar move on kepada seorang wanita pezinah yang dibawa kepada-Nya. “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi,” kata-Nya. (Yoh 8:11)
Tuhan Yesus mengajar wanita ini, bahwa ketika dosanya telah diampuni oleh Tuhan, ia harus melupakan semua dosa-dosa itu, jangan dihantui lagi oleh perasaan bersalah akan dosa masa lalu itu, dan yang lebih penting lagi, jangan kembali ke dosa itu. Ini adalah pelajaran move on yang pertama dari Alkitab: Jangan berbuat dosa lagi.
Pelajaran berikutnya datang dari Paulus. Paulus, yang dulu bernama Saulus, pernah menjadi orang yang sangat kejam bagi Orang-orang Kristen di zamannya. Tapi setelah ia dipanggil Tuhan, ia menyadari betapa busuknya kelakuannya dulu itu. Karena perbuatannya dulu itu,  bahkan menganggap dirinya paling hina dari antara semua rasul. (1 Kor 15:9)
Tapi apakah lantas ia hanya tinggal menyesali perbuatannya itu saja? Ternyata Paulus melupakan apa yang telah di belakangnya dan mengarahkan dirinya kepada apa yang ada di hadapannya. Ia juga berlari-lari kepada suatu tujuan (Fil 3:13-14). Paulus memiliki tujuan; ia yakin ia masih memiliki masa depan. Ini pelajaran kedua dari Paulus: Setelah meninggalkan dosa masa lalu, kembali arahkan pandangan ke depan, karena masih ada tujuan yang perlu dicapai.
Semoga dua pelajaran move on dari Alkitab ini bisa berguna dan membuat kita meninggalkan dosa-dosa di belakang kita. Selamat move on!

Sabtu, 24 Maret 2012

Just As You Are


Ketika Anda merasa tidak dibutuhkan, Anda tidak cakap, Anda tidak memiliki kapabilitas, atau kondisi fisik Anda tidak memungkinkan untuk memberikan bantuan apapun kepada orang lain, bagaimana perasaan Anda? Anda mungkin akan langsung patah semangat. Dalam teori yang dikemukakan Abraham Maslow, Anda tidak dapat memenuhi kebutuhan ‘aktualisasi diri’ Anda.
Setiap orang butuh aktualisasi diri. Itulah mengapa orang bekerja, berusaha membuat agar namanya dikenal sebanyak mungkin orang, agar ia dapat merasa berguna bagi banyak orang. Itulah juga yang membuat beberapa orang menjadi frustrasi ketika menghadapi tahun-tahun pertama sebagai pensiunan: ia tidak memiliki apa-apa lagi untuk dikerjakan. Ia merasa harus terus bekerja, bekerja, dan bekerja karena untuk itulah ia ada.
Tapi, kembali lagi pada kondisi di atas: bagaimana jika ternyata Anda tidak sanggup?
Charlotte Elliott (1789—1871) pernah mengalami hal ini. Saat itu tahun 1836, kakaknya yang adalah seorang pendeta mengadakan sebuah pasar amal untuk pembangunan sebuah sekolah di Brighton, Inggris. Semua orang tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, siang dan malam. Elliott sangat ingin membantu. Tapi apa daya, ia lumpuh. Ia hanya bisa berbaring di sofa. Ketika semua orang berada di pasar amal, ia sendirian di rumah, merasa tidak berguna. Pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya adalah: “Apakah saya memang tidak berharga di mata orang-orang ini? Bagaimana dengan di mata Tuhan?”
Charlotte Elliott (1789—1871)
Kembali ke beberapa tahun sebelumnya, 1822, saat-saat ketika pertama kali kesehatannya menurun drastis yang mengakibatkan kelumpuhan sepanjang sisa hidupnya. Ia teringat ayahnya, yang juga adalah seorang pendeta, kedatangan tamu, seorang pendeta terkenal dari Swiss, Dr. Caesar Malan. Pendeta Malan bertanya jika Elliott adalah seorang Kristen. Walaupun ia berada dalam keluarga rohaniawan, tapi ternyata kondisi kesehatannya membuat spiritualitas Elliott sendiri memburuk. Ia menjawab bahwa ia tidak ingin membicarakan soal agama saat itu. Lalu keluarlah sebuah kalimat dari Pendeta Malan yang tidak akan pernah dilupakan Elliott, “You must come just as you are, a sinner, to the Lamb of God that taketh away the sin of the world.” (Kau harus datang sebagaimana adanya dirimu, orang yang berdosa, kepada Anak domba Allah yang menghapus dosa dunia.)
“… just as you are…,” Elliott kembali teringat kata-kata itu. “Yea, just as I am.”
Maka di rumah yang sunyi itu, ketika semua orang menghadiri pasar amal, Elliott mengambil kertas dan pena. Ia menulis:
Just as I am, without one plea,
but that Thy blood was shed for me,
and that Thou bidst me come to Thee,
O Lamb of God, I come, I come.
Hari itu pasar amal berjalan lancar. Kakak ipar Elliott datang dan membawa kabar tentang keberhasilan mereka hari itu. Ia melihat tulisan Elliott, membacanya, dan meminta dibuatkan salinannya. Itu pertama kalinya tulisan tersebut keluar dari ruangan sunyi itu dan tersebar ke seluruh dunia sebagai lagu yang dikenal dengan judul ‘Just As I Am.’ Dalam Bahasa Indonesia, kita bisa menemukan terjemahannya di Kidung Jemaat no. 27, ‘Meski Tak Layak Diriku.’ Kelak, kakaknya sendiri mengakui, “Sepanjang perjalanan pelayananku, saya diizinkan untuk melihat sebagian buah pekerjaanku; tapi saya merasa justru lebih banyak yang bisa dilakukan hanya oleh satu lagu yang ditulis adikku.”
Jadi, siapa bilang keterbatasan kita menghalangi kita untuk berkarya bagi orang lain? Charlotte Elliott sudah membuktikannya. Just as you are, sebagaimana adanya diri Anda. Anda merasa tidak berguna bagi orang lain? Serahkan diri Anda kepada ‘Anak domba Allah’ dan Ia akan membuat apapun yang tersisa dari diri Anda berguna bagi pekerjaan-Nya. Tidak ada sampah di mata Tuhan, seperti Ia sendiri pernah berkata, “… barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang.” (Yoh 6:37)