Selasa, 25 September 2012

Melayani = Menjadi Budak? – Aristoteles vs. Yesus



Di era sekarang ini, industri jasa (service industry) semakin berkembang. Berbeda dengan pemahaman dari awal revolusi industri, orang tidak lagi berpikir bahwa satu-satunya penggerak ekonomi adalah dengan memproduksi barang dalam jumlah besar di pabrik dan mendistribusikannya. Tidak hanya barang, jasa pun ternyata bisa diperdagangkan juga. Perusahaan mulai berlomba-lomba menyediakan service/pelayanan terbaik. Untuk mendapatkan laba, setiap perusahaan, setiap pekerja, karyawan harus melayani.

Tapi itu zaman sekarang. Berbeda halnya kalau Anda hidup 2000-an tahun lalu. Pada zaman itu, perbudakan sangat marak dan menjadi pelayan adalah pilihan terakhir dalam hidup seseorang. Ditambah lagi dengan pengaruh budaya Yunani kuno yang sangat kuat pada zaman tersebut.

Aristoteles (384 – 322 SM), salah satu pembangun dasar filosofi Yunani kuno, mengatakan bahwa bekerja, termasuk menjadi pelayan, tidak dapat membuat seorang manusia mencapai derajat kehidupan yang mulia. Mengikuti pemahaman gurunya, Plato, Aristoteles menganggap bahwa manusia terdiri atas jiwa dan raga, berbeda dari para dewa yang hanya memiliki jiwa tetapi tidak memiliki raga, dan berbeda pula dari hewan yang hanya memiliki raga tetapi tidak memiliki jiwa. Hal ini, menurut para filsuf tersebut, membuat manusia menjadi ‘binatang rasional,’ artinya, binatang yang memiliki kemampuan berpikir dan mengeluarkan ide-ide. Atas dasar pemikiran ini, Aristoteles menganggap bahwa setiap manusia memiliki esensi dewa dalam dirinya dan untuk mencapai kondisi termulia, seorang manusia harus bersikap layaknya para dewa.

Lalu, apa yang dilakukan para dewa? Aristoteles mengatakan bahwa para dewa setiap saat hanya berpikir, merenung dan berkontemplasi. Mereka sudah mencapai titik tertinggi dalam kehidupan sehingga tidak perlu lagi berinteraksi dengan pribadi lain. Manusia, untuk mencapai titik termulianya, juga harus melakukan hal tersebut. Celakanya, kata Aristoteles, manusia terjebak dalam raganya. Bagaimana mungkin manusia bisa berkontemplasi setiap saat kalau ia bisa merasa lapar dan butuh makan, kalau tubuh/raganya bisa kotor dan perlu membersihkan diri, kalau tubuhnya perlu mendapatkan perlindungan berupa tempat tinggal dan pakaian?

Itulah gunanya budak! Orang-orang kaya bisa memperoleh budak sebanyak mungkin untuk mengurusi kebutuhan jasmani mereka. Tidak usah lagi mencari dan mengolah makanan; tidak usah lagi berpikir soal pakaian yang akan dipakai; urusan membersihkan diri, cukup berendam dalam air dan para budak itu yang akan menggosok tubuh; bahkan untuk transportasi, tidak usah jalan kaki jauh-jauh, ada budak yang menarik kereta atau mengangkat tandu. Menurut Aristoteles, semakin sedikit kegiatan fisik yang dilakukan manusia, sifat kebinatangannya dapat berkurang dan semakin mempermudah jalannya untuk setara dengan para dewa.

Itulah mengapa para filsuf memiliki derajat tertinggi dalam tatanan masyarakat jaman itu: karena yang mereka lakukan adalah kegiatan paling mendekati kemuliaan hidup yang dapat dilakukan manusia. Selanjutnya, para politisi, dimana mereka juga berpikir untuk pembangunan suatu kota, juga sanggup memiliki budak yang banyak, tapi tetap saja membutuhkan aktivitas-aktivitas fisik tertentu. Lalu, derajat terendah adalah budak.

Kalau demikian, apakah berarti Aristoteles mendukung perbudakan? Menurut dia, adanya budak dan orang kaya sudah merupakan tatanan alam semesta. Sebagian budak memang sudah ditakdirkan untuk tidak memiliki kapasitas berpikir dan mengambil keputusan. Mereka, menurut istilah Aristoteles, adalah ‘para budak secara kodrati.’ Sebagian lainnya memang karena tidak beruntung, misalnya karena kalah dalam perang, menjadi tawanan dan akhirnya menjadi budak. Lagipula, pada zaman itu, bahkan zaman-zaman sebelumnya, sistem perbudakan bukan menjadi masalah, berbeda dengan pemikiran kita, orang modern, yang menerima hak-hak asasi manusia secara universal.

Pemikiran inilah yang mempengaruhi sebagian besar budaya pada zaman itu, bukan hanya di Yunani, tapi juga berpengaruh hingga ke seluruh Timur Tengah, Asia Kecil dan Eropa Selatan. Pemikiran ini juga sedikit banyak mempengaruhi budaya Yahudi, yang sejak berada dalam penjajahan Romawi, mulai menerima arus-arus pemikiran dari Eropa. Ketika pemikiran ini berasimilasi dengan budaya Yahudi, muncullah orang-orang kaya yang sok, para agamawan yang selalu ingin dipandang tinggi dan memandang rendah orang berdosa, serta masyarakat kelas bawah yang semakin tertindas.

Lalu, 3 abad setelah Aristoteles, muncullah seorang Yahudi yang menjungkirbalikkan semua teori perbudakan ini: Yesus. Ia memiliki 12 murid. Suatu hari, murid-murid-Nya bertengkar.

“Aku yang terbesar di antara kalian semua. Guru selalu memberiku tanggung jawab penting. Dengan demikian, secara tidak langsung, Ia memutuskan bahwa aku layak menjadi pemimpin.”

“Tidak mungkin begitu! Aku bersama-sama Guru setiap saat. Aku orang terdekat-Nya.”

“Hei, jangan sok hebat! Memangnya kalian anggap kami ini apa? Budak?!”

“Psst, diam! Nanti Guru tahu kita bertengkar.”

Sang Guru memang tahu pertengkaran itu, lalu Ia berkata, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mrk 9:35)

Menurut Yesus, orang yang berkedudukan tinggi adalah mereka yang melakukan pekerjaannya demi kepentingan orang banyak, bukan hanya demi kepentingan diri sendiri, terlepas apakah dia budak atau penguasa. Orang yang bekerja bagi ‘semuanya’ itulah yang tertinggi. Bukankah orang kaya juga tidak bisa berbuat apa-apa tanpa budaknya?

Dan… whusss! Teori Aristoteles runtuh seketika!

Pada malam lain, ketika mereka sedang makan malam, Yesus, yang bagi murid-murid-Nya adalah Tuhan, Mesias, utusan Allah, tiba-tiba melakukan hal yang tidak disangka-sangka oleh para murid-Nya. Ia mengambil basi berisi air lalu membasuh kaki para murid-Nya, hal yang sepatutnya dilakukan oleh budak! Murid-murid-Nya tidak mengetahui apa motivasi Sang Guru melakukan hal ini. Kelak, salah seorang murid-Nya, Yohanes, menulis demikian:

“Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah.” (Yoh 13:3)

Itu dia! Alasan Yesus melakukan hal itu karena Ia tahu Ia telah memiliki semuanya dari Bapa. Yesus bukan tipe orang besar yang gengsi kalau harus melakukan pekerjaan-pekerjaan rendah; bukankah orang besar tidak perlu lagi gengsi karena ia sendiri sudah besar?

Kembali ke zaman sekarang. Banyak orang mengaku pengikut Yesus, meneladani karakter Yesus. Tapi apa yang mereka lakukan? Dalam pekerjaan mereka yang katanya ‘melayani’ dan ‘mengabdi,’ ternyata mereka melakukan segala upaya untuk memuaskan kepentingan pribadi. Banyak pemimpin yang sok, gengsi kalau disetarakan dengan bawahannya. Kalau orang-orang ini mengaku pengikut Yesus, sepertinya mereka butuh waktu menoleh sejenak ke belakang, melihat seperti apa kehidupan Yesus dulunya.

Tidak ada komentar: