Di era sekarang ini, industri jasa (service industry)
semakin berkembang. Berbeda dengan pemahaman dari awal revolusi industri, orang
tidak lagi berpikir bahwa satu-satunya penggerak ekonomi adalah dengan
memproduksi barang dalam jumlah besar di pabrik dan mendistribusikannya. Tidak hanya barang, jasa
pun ternyata bisa diperdagangkan juga. Perusahaan mulai berlomba-lomba
menyediakan service/pelayanan terbaik. Untuk mendapatkan laba, setiap
perusahaan, setiap pekerja, karyawan harus melayani.
Tapi itu zaman sekarang. Berbeda halnya kalau Anda hidup 2000-an
tahun lalu. Pada zaman itu, perbudakan sangat marak dan menjadi pelayan adalah
pilihan terakhir dalam hidup seseorang. Ditambah lagi dengan pengaruh budaya
Yunani kuno yang sangat kuat pada zaman tersebut.
Aristoteles (384 – 322 SM), salah satu pembangun dasar filosofi
Yunani kuno, mengatakan bahwa bekerja, termasuk menjadi pelayan, tidak dapat
membuat seorang manusia mencapai derajat kehidupan yang mulia. Mengikuti
pemahaman gurunya, Plato, Aristoteles menganggap bahwa manusia terdiri atas
jiwa dan raga, berbeda dari para dewa yang hanya memiliki jiwa tetapi tidak
memiliki raga, dan berbeda pula dari hewan yang hanya memiliki raga tetapi
tidak memiliki jiwa. Hal ini, menurut para filsuf tersebut, membuat manusia
menjadi ‘binatang rasional,’ artinya, binatang yang memiliki kemampuan berpikir
dan mengeluarkan ide-ide. Atas dasar pemikiran ini, Aristoteles menganggap
bahwa setiap manusia memiliki esensi dewa dalam dirinya dan untuk mencapai
kondisi termulia, seorang manusia harus bersikap layaknya para dewa.
Lalu, apa yang dilakukan para dewa? Aristoteles mengatakan bahwa
para dewa setiap saat hanya berpikir, merenung dan berkontemplasi. Mereka sudah
mencapai titik tertinggi dalam kehidupan sehingga tidak perlu lagi berinteraksi
dengan pribadi lain. Manusia, untuk mencapai titik termulianya, juga harus
melakukan hal tersebut. Celakanya, kata Aristoteles, manusia terjebak dalam
raganya. Bagaimana mungkin manusia bisa berkontemplasi setiap saat kalau ia
bisa merasa lapar dan butuh makan, kalau tubuh/raganya bisa kotor dan perlu
membersihkan diri, kalau tubuhnya perlu mendapatkan perlindungan berupa tempat
tinggal dan pakaian?
Itulah gunanya budak! Orang-orang kaya bisa memperoleh budak
sebanyak mungkin untuk mengurusi kebutuhan jasmani mereka. Tidak usah lagi
mencari dan mengolah makanan; tidak usah lagi berpikir soal pakaian yang akan
dipakai; urusan membersihkan diri, cukup berendam dalam air dan para budak itu
yang akan menggosok tubuh; bahkan untuk transportasi, tidak usah jalan kaki
jauh-jauh, ada budak yang menarik kereta atau mengangkat tandu. Menurut
Aristoteles, semakin sedikit kegiatan fisik yang dilakukan manusia, sifat
kebinatangannya dapat berkurang dan semakin mempermudah jalannya untuk setara
dengan para dewa.
Itulah mengapa para filsuf memiliki derajat tertinggi dalam tatanan
masyarakat jaman itu: karena yang mereka lakukan adalah kegiatan paling
mendekati kemuliaan hidup yang dapat dilakukan manusia. Selanjutnya, para
politisi, dimana mereka juga berpikir untuk pembangunan suatu kota, juga
sanggup memiliki budak yang banyak, tapi tetap saja membutuhkan
aktivitas-aktivitas fisik tertentu. Lalu, derajat terendah adalah budak.
Kalau demikian, apakah berarti Aristoteles mendukung perbudakan?
Menurut dia, adanya budak dan orang kaya sudah merupakan tatanan alam semesta.
Sebagian budak memang sudah ditakdirkan untuk tidak memiliki kapasitas berpikir
dan mengambil keputusan. Mereka, menurut istilah Aristoteles, adalah ‘para
budak secara kodrati.’ Sebagian lainnya memang karena tidak beruntung, misalnya
karena kalah dalam perang, menjadi tawanan dan akhirnya menjadi budak.
Lagipula, pada zaman itu, bahkan zaman-zaman sebelumnya, sistem perbudakan
bukan menjadi masalah, berbeda dengan pemikiran kita, orang modern, yang
menerima hak-hak asasi manusia secara universal.
Pemikiran inilah yang mempengaruhi sebagian besar budaya pada zaman
itu, bukan hanya di Yunani, tapi juga berpengaruh hingga ke seluruh Timur
Tengah, Asia Kecil dan Eropa Selatan. Pemikiran ini juga sedikit banyak
mempengaruhi budaya Yahudi, yang sejak berada dalam penjajahan Romawi, mulai
menerima arus-arus pemikiran dari Eropa. Ketika pemikiran ini berasimilasi
dengan budaya Yahudi, muncullah orang-orang kaya yang sok, para agamawan yang
selalu ingin dipandang tinggi dan memandang rendah orang berdosa, serta
masyarakat kelas bawah yang semakin tertindas.
Lalu, 3 abad setelah Aristoteles, muncullah seorang Yahudi yang
menjungkirbalikkan semua teori perbudakan ini: Yesus. Ia memiliki 12 murid.
Suatu hari, murid-murid-Nya bertengkar.
“Aku yang terbesar di antara kalian semua. Guru selalu memberiku
tanggung jawab penting. Dengan demikian, secara tidak langsung, Ia memutuskan
bahwa aku layak menjadi pemimpin.”
“Tidak mungkin begitu! Aku bersama-sama Guru setiap saat. Aku orang
terdekat-Nya.”
“Hei, jangan sok hebat! Memangnya kalian anggap kami ini apa?
Budak?!”
“Psst, diam! Nanti Guru tahu kita bertengkar.”
Sang Guru memang tahu pertengkaran itu, lalu Ia berkata, “Jika
seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari
semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mrk 9:35)
Menurut Yesus, orang yang berkedudukan tinggi adalah mereka yang
melakukan pekerjaannya demi kepentingan orang banyak, bukan hanya demi
kepentingan diri sendiri, terlepas apakah dia budak atau penguasa. Orang yang
bekerja bagi ‘semuanya’ itulah yang tertinggi. Bukankah orang kaya juga tidak
bisa berbuat apa-apa tanpa budaknya?
Dan… whusss! Teori Aristoteles runtuh seketika!
Pada malam lain, ketika mereka sedang makan malam, Yesus, yang bagi
murid-murid-Nya adalah Tuhan, Mesias, utusan Allah, tiba-tiba melakukan hal
yang tidak disangka-sangka oleh para murid-Nya. Ia mengambil basi berisi air
lalu membasuh kaki para murid-Nya, hal yang sepatutnya dilakukan oleh budak!
Murid-murid-Nya tidak mengetahui apa motivasi Sang Guru melakukan hal ini.
Kelak, salah seorang murid-Nya, Yohanes, menulis demikian:
“Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah.” (Yoh 13:3)
Itu dia! Alasan Yesus melakukan hal itu karena Ia tahu Ia telah
memiliki semuanya dari Bapa. Yesus bukan tipe orang besar yang gengsi kalau
harus melakukan pekerjaan-pekerjaan rendah; bukankah orang besar tidak perlu
lagi gengsi karena ia sendiri sudah besar?
Kembali ke zaman sekarang. Banyak orang mengaku pengikut Yesus,
meneladani karakter Yesus. Tapi apa yang mereka lakukan? Dalam pekerjaan mereka
yang katanya ‘melayani’ dan ‘mengabdi,’ ternyata mereka melakukan segala upaya
untuk memuaskan kepentingan pribadi. Banyak pemimpin yang sok, gengsi kalau
disetarakan dengan bawahannya. Kalau orang-orang ini mengaku pengikut Yesus,
sepertinya mereka butuh waktu menoleh sejenak ke belakang, melihat seperti apa
kehidupan Yesus dulunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar