Minggu, 04 November 2012

Praktik Kasih

Suasana sunyi di siang hari sudah menjadi pemandangan sehari-hari di desa itu. Sebagian besar orang dewasa bekerja di ladang, di pinggiran desa; hewan ternak yang biasanya ribut sedang ada di padang penggembalaan; sementara anak-anak enggan bermain di bawah terik matahari yang membakar ini.

Adalah seorang tua, tinggal di sebelah sinagoge, memanfaatkan suasana sunyi siang hari ini dengan baik. Ia melihat sekilas ke luar jendela rumahnya, memandang jalan setapak berpasir tanpa pepohonan di pinggirnya, sangat sepi. Perlahan lalu ia berjalan ke ruangannya yang remang-remang dan hanya diterangi oleh cahaya lentera. Keempat sisinya sebagian besar ditutupi tumpukan gulungan perkamen mengelilingi sebuah meja yang cukup lebar dengan dua bentangan lembaran kulit binatang di atasnya.

Ia duduk, mengambil pena dan mencelupkannya ke tinta disusul dengan sebuah helaan nafas panjang. Ia mulai menulis di atas lembaran kosong, menyalin dari lembaran lain yang terbentang di depannya. Sangat berhati-hati. Tidak boleh ada satu kesalahan pun, atau ia harus kembali memulai dari awal.

Satu kalimat selesai dan ia kembali mencelupkan penanya ke dalam tinta. Lembaran yang ia salin di depannya sudah sangat tua dan lapuk. Ia berharap pekerjaan ini segera selesai sebelum ia bertambah tua dan akhirnya meninggal. Kelak apa yang ia salin ini dapat ia wariskan ke generasi selanjutnya, menggantikan salinan Taurat lama dengan salinan yang baru.

Sudah lima kalimat ia selesaikan dalam diam hingga terdengar suara ribut dari luar. Ia menghentikan gerakan penanya dan mengangkat kepalanya, menerka apa kiranya yang sedang terjadi di luar sana. Beberapa detik berlalu, suasana diluar justru semakin ramai. Ia menyerah pada situasi dan terpaksa harus meletakkan kembali penanya. Tapi tetap saja ia penasaran dengan situasi di luar dan bangkit lalu berjalan ke pintu.

Sinar matahari menghambur masuk begitu ia membuka pintu. Banyak orang memenuhi jalan yang ia lihat sepi beberapa menit lalu, dan semua tampaknya bergerak ke arah Timur. Ia keluar dari ambang pintu dan memperhatikan Gerbang Timur yang memang kebetulan tidak begitu jauh dari rumahnya, sangat padat dengan orang, yang bukan hanya dari desanya tapi juga dari desa-desa tetangga.

Tempat itu memang biasanya padat kalau sedang ada utusan pemerintah yang datang membawa kabar. “Paling juga penjajah Romawi itu,” pikirnya. “Huh, mereka bisa mengiming-imingi warga ini untuk menghormati Kaisar, tapi tipuan itu tidak akan mempan terhadapku.”

Tapi setelah diperhatikan beberapa lama, sepertinya tidak tampak satupun centurion atau prajurit lainnya yang berseragam Romawi. Sebaliknya, ia justru memperhatikan sekitar belasan orang asing yang belum pernah ia lihat di desa ini maupun di desa-desa tetangga. Rasa penasaran yang memuncak memancing ia bertanya pada seseorang yang lewat di depan rumahnya.

“Yesus, orang Nazaret itu! Ia datang ke desa kita untuk mengajar. Kau – sebagai ahli Taurat di desa ini – harus melihatnya. Kata orang, ajaran yang disampaikan-Nya sangat menarik.”

Siapa orang ini? Nabikah? Ia dari Nazaret. Ah, mendengar nama kota itu saja sudah membuatnya mual. Bagaimana sesuatu yang baik datang dari sana?

Ia sudah pernah mendengar tentang Orang ini sebelumnya tapi tidak disangka kalau Ia ternyata memiliki pengaruh sebesar ini. Kata orang-orang ajaran-Nya sangat baik walaupun Ia tidak tergolong ahli Taurat. Tapi kata teman-temannya sesama ahli Taurat, ia harus berhati-hati terhadap-Nya karena ajaran yang disampaikan-Nya katanya banyak yang melenceng dari Taurat.

Kalau memang Orang ini tidak benar, berarti kedatangan-Nya ke desa ini merupakan suatu ancaman bagi orang tua ini. Ketenaran-Nya akan membuat Ia mampu mempengaruhi masyarakat sehingga bisa-bisa masyarakat di desa ini tidak akan mendengarkan ajarannya lagi. Maka tanpa pikir panjang, ia langsung bergerak ke Gerbang Timur. Sekadar antisipasi saja, kalau-kalau Orang ini memang ancaman seperti yang sudah ia dengar sebelumnya.

Ia berusaha tidak terlalu mencolok di tengah kerumunan orang banyak itu, maka ia mengambil tempat duduk di barisan paling belakang, dan mendengarkan ajaran Yesus.

Satu topik ia simak lalu beralih ke topik lain. Masih belum ada sesuatu yang istimewa. Semakin lama rasanya semakin aneh. Inikah ajaran-Nya? Sepertinya tidak ada yang istimewa. Kalau hanya seperti ini, iapun bisa menyampaikannya di sinagoge tiap Sabat. Tapi ia bisa membayangkan, kalau ia menyampaikan topik ini di Sabat berikutnya, orang-orang tidak akan memperhatikan, malahan orang-orang akan merasa jenuh. Tapi saat ini, tiap orang sepertinya memperhatikan-Nya dengan sangat antusias dan sukacita.

“Kenapa Ia bisa setenar ini, sementara ajaran-Nya sangat standar? Ini hanya pemahaman orang awam tentang Taurat, sementara saya dengan pengalaman lebih dalam tentang Taurat bisa menyampaikan ajaran yang lebih dari Orang ini.”

Semakin banyak yang ia dengarkan, semakin besar perasaan dalam dirinya yang mengatakan, “Saya lebih baik dan lebih pintar dari Orang ini!” dan semakin besar pula keinginannya untuk melontarkan pertanyaan mencobai keahlian Yesus soal Taurat. Hasrat itu tidak bisa ia bendung lagi hingga akhirnya ia tiba-tiba berdiri.

“Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”

Spontan orang-orang menoleh ke belakang. Demi melihat si penanya adalah orang yang cukup dihormati di desa itu, satu per satu mereka diam. Tapi dalam hati, mereka sebenarnya sangat antusias menantikan perdebatan macam apa yang akan terjadi antara si ahli Taurat dan si Orang Nazaret ini.

Si ahli Taurat sendiri merasa puas dengan pertanyaan yang ia lontarkan tiba-tiba itu. Pertama, memanggil si Pengajar dengan sebutan ‘Guru’ memang sangat sopan. Ya, ia memang harus menjaga kesopanan demi harga dirinya sendiri, tapi ia sudah tidak sabar lagi ingin menjatuhkan Orang yang menurutnya sangat sok tahu ini. Lagipula topik tentang kekekalan adalah topik yang tidak dikuasai orang kebanyakan selain dari ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Yesus sendiri pun terdiam begitu mendengar pertanyaan itu. Ia menatap si ahli Taurat dengan tatapan dalam lalu disusul sebuah senyuman yang bersahabat. Ia tahu kalau orang ini ahli Taurat, tampak dari jubah yang dikenakannya. Tapi lebih dalam lagi, Ia tahu – sangat tahu – apa yang ada di pikiran orang tua ini.

“Apa yang tertulis dalam Taurat? Apa yang kau baca, dan bagaimana kau menginterpretasikannya?” Yesus membalikkan pertanyaan kembali ke ahli Taurat tersebut.

Suatu strategi yang lebih cerdik! Ia membuat si penanya yang sombong itu menjawab sendiri pertanyaannya – dan memang sangat cerdik menghadapi orang sombong dan sok pintar seperti itu. Cara seperti itu akan memancing si penanya untuk lebih menyombongkan dirinya lagi, hingga kemudian ia sendiri sadar betapa sombongnya dirinya itu.

“Huh, membalikkan pertanyaan. Kini aku tahu ternyata cuma sampai di situ saja kemampuan-Nya. Dengan begini secara tidak langsung Ia mengaku pengetahuan-Nya lebih rendah dibandingkan aku.”

Ya, umpan balik yang dilontarkan Yesus sudah termakan. Langkah selanjutnya akan sangat mudah bagi-Nya.

“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu[1],” si ahli Taurat melontarkan kata-kata itu dengan perasaan bangga, lalu dengan sedikit penekanan untuk menunjukkan pemahamannya yang tinggi akan Taurat, ia menutup dengan kalimat, “dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri[2].”

Sungguh hebat pengetahuan orang ini! Ia menyimpulkan seluruh hukum Taurat yang sukar itu hanya dalam dua kalimat, dan keduanya diambil dari bagian yang terpisah dalam Taurat. Pengamatannya bertahun-tahun tentang Taurat sungguh telah menghasilkan suatu kesimpulan yang luar biasa. Yesus pun kagum dan mengakui pengatahuan orang tua yang luar biasa ini, tapi sayangnya sikapnya yang sombong tidak mendukung kecerdasannya itu.

“Jawabmu itu sangat tepat. Pergilah dan perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup – hidup yang kekal.”

Satu tanggapan singkat dari Yesus tetapi sangat menegur si ahli Taurat ini. Kasih. Seluruh Taurat disimpulkannya dalam satu kata itu. Ia bahkan memisahkan antara hubungan kasih vertikal dengan Allah dan horizontal dengan sesama manusia. Tapi sudahkah ia melakukannya?

Tanggapan Yesus sudah sangat jelas. Orang ini boleh tahu teori tentang kasih, tapi apalah gunanya kalau tidak dilakukan. Mungkin si ahli Taurat ini tidak akan menyangka kalau kelak akan muncul seorang ahli Taurat lain yang lebih terkenal dan lebih berwawasan luas darinya yang akan mengatakan, “Kasih itu tidak sombong dan tidak memegahkan diri.”

Si ahli Taurat tahu kalau ia sudah kalah. Ia bahkan memakan sendiri umpannya. Maksud hati ingin mengadu kecerdasan yang ia yakin akan ia menangkan tapi justru ia kalah dalam hal praktik. Percuma ia tahu tentang kasih terhadap sesama tapi tidak mempraktikannya dengan sikap rendah hati kepada orang lain. Maka cukuplah pengetahuannya tentang Taurat, langkah berikutnya adalah… mempraktikannya.
* * *
(Kisah ini terinspirasi dari Lukas 10:25 – 28)
[1] Ul 6:5
[2] Im 19:18


Penulis mengangkat kembali tulisan lama yang pernah dimuat di notes Facebook, 29 Oktober 2010.

Tidak ada komentar: