Suasana sunyi di siang hari sudah menjadi pemandangan sehari-hari
di desa itu. Sebagian besar orang dewasa bekerja di ladang, di pinggiran
desa; hewan ternak yang biasanya ribut sedang ada di padang
penggembalaan; sementara anak-anak enggan bermain di bawah terik
matahari yang membakar ini.
Adalah seorang tua, tinggal di
sebelah sinagoge, memanfaatkan suasana sunyi siang hari ini dengan baik.
Ia melihat sekilas ke luar jendela rumahnya, memandang jalan setapak
berpasir tanpa pepohonan di pinggirnya, sangat sepi. Perlahan lalu ia
berjalan ke ruangannya yang remang-remang dan hanya diterangi oleh
cahaya lentera. Keempat sisinya sebagian besar ditutupi tumpukan
gulungan perkamen mengelilingi sebuah meja yang cukup lebar dengan dua
bentangan lembaran kulit binatang di atasnya.
Ia duduk, mengambil
pena dan mencelupkannya ke tinta disusul dengan sebuah helaan nafas
panjang. Ia mulai menulis di atas lembaran kosong, menyalin dari
lembaran lain yang terbentang di depannya. Sangat berhati-hati. Tidak
boleh ada satu kesalahan pun, atau ia harus kembali memulai dari awal.
Satu
kalimat selesai dan ia kembali mencelupkan penanya ke dalam tinta.
Lembaran yang ia salin di depannya sudah sangat tua dan lapuk. Ia
berharap pekerjaan ini segera selesai sebelum ia bertambah tua dan
akhirnya meninggal. Kelak apa yang ia salin ini dapat ia wariskan ke
generasi selanjutnya, menggantikan salinan Taurat lama dengan salinan
yang baru.
Sudah lima kalimat ia selesaikan dalam diam hingga
terdengar suara ribut dari luar. Ia menghentikan gerakan penanya dan
mengangkat kepalanya, menerka apa kiranya yang sedang terjadi di luar
sana. Beberapa detik berlalu, suasana diluar justru semakin ramai. Ia
menyerah pada situasi dan terpaksa harus meletakkan kembali penanya.
Tapi tetap saja ia penasaran dengan situasi di luar dan bangkit lalu
berjalan ke pintu.
Sinar matahari menghambur masuk begitu ia
membuka pintu. Banyak orang memenuhi jalan yang ia lihat sepi beberapa
menit lalu, dan semua tampaknya bergerak ke arah Timur. Ia keluar dari
ambang pintu dan memperhatikan Gerbang Timur yang memang kebetulan tidak
begitu jauh dari rumahnya, sangat padat dengan orang, yang bukan hanya
dari desanya tapi juga dari desa-desa tetangga.
Tempat itu memang
biasanya padat kalau sedang ada utusan pemerintah yang datang membawa
kabar. “Paling juga penjajah Romawi itu,” pikirnya. “Huh, mereka bisa
mengiming-imingi warga ini untuk menghormati Kaisar, tapi tipuan itu
tidak akan mempan terhadapku.”
Tapi setelah diperhatikan beberapa
lama, sepertinya tidak tampak satupun centurion atau prajurit lainnya
yang berseragam Romawi. Sebaliknya, ia justru memperhatikan sekitar
belasan orang asing yang belum pernah ia lihat di desa ini maupun di
desa-desa tetangga. Rasa penasaran yang memuncak memancing ia bertanya
pada seseorang yang lewat di depan rumahnya.
“Yesus, orang
Nazaret itu! Ia datang ke desa kita untuk mengajar. Kau – sebagai ahli
Taurat di desa ini – harus melihatnya. Kata orang, ajaran yang
disampaikan-Nya sangat menarik.”
Siapa orang ini? Nabikah? Ia
dari Nazaret. Ah, mendengar nama kota itu saja sudah membuatnya mual.
Bagaimana sesuatu yang baik datang dari sana?
Ia sudah pernah
mendengar tentang Orang ini sebelumnya tapi tidak disangka kalau Ia
ternyata memiliki pengaruh sebesar ini. Kata orang-orang ajaran-Nya
sangat baik walaupun Ia tidak tergolong ahli Taurat. Tapi kata
teman-temannya sesama ahli Taurat, ia harus berhati-hati terhadap-Nya
karena ajaran yang disampaikan-Nya katanya banyak yang melenceng dari
Taurat.
Kalau memang Orang ini tidak benar, berarti
kedatangan-Nya ke desa ini merupakan suatu ancaman bagi orang tua ini.
Ketenaran-Nya akan membuat Ia mampu mempengaruhi masyarakat sehingga
bisa-bisa masyarakat di desa ini tidak akan mendengarkan ajarannya lagi.
Maka tanpa pikir panjang, ia langsung bergerak ke Gerbang Timur.
Sekadar antisipasi saja, kalau-kalau Orang ini memang ancaman seperti
yang sudah ia dengar sebelumnya.
Ia berusaha tidak terlalu
mencolok di tengah kerumunan orang banyak itu, maka ia mengambil tempat
duduk di barisan paling belakang, dan mendengarkan ajaran Yesus.
Satu
topik ia simak lalu beralih ke topik lain. Masih belum ada sesuatu yang
istimewa. Semakin lama rasanya semakin aneh. Inikah ajaran-Nya?
Sepertinya tidak ada yang istimewa. Kalau hanya seperti ini, iapun bisa
menyampaikannya di sinagoge tiap Sabat. Tapi ia bisa membayangkan, kalau
ia menyampaikan topik ini di Sabat berikutnya, orang-orang tidak akan
memperhatikan, malahan orang-orang akan merasa jenuh. Tapi saat ini,
tiap orang sepertinya memperhatikan-Nya dengan sangat antusias dan
sukacita.
“Kenapa Ia bisa setenar ini, sementara ajaran-Nya
sangat standar? Ini hanya pemahaman orang awam tentang Taurat, sementara
saya dengan pengalaman lebih dalam tentang Taurat bisa menyampaikan
ajaran yang lebih dari Orang ini.”
Semakin banyak yang ia dengarkan,
semakin besar perasaan dalam dirinya yang mengatakan, “Saya lebih baik
dan lebih pintar dari Orang ini!” dan semakin besar pula keinginannya
untuk melontarkan pertanyaan mencobai keahlian Yesus soal Taurat. Hasrat
itu tidak bisa ia bendung lagi hingga akhirnya ia tiba-tiba berdiri.
“Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”
Spontan
orang-orang menoleh ke belakang. Demi melihat si penanya adalah orang
yang cukup dihormati di desa itu, satu per satu mereka diam. Tapi dalam
hati, mereka sebenarnya sangat antusias menantikan perdebatan macam apa
yang akan terjadi antara si ahli Taurat dan si Orang Nazaret ini.
Si
ahli Taurat sendiri merasa puas dengan pertanyaan yang ia lontarkan
tiba-tiba itu. Pertama, memanggil si Pengajar dengan sebutan ‘Guru’
memang sangat sopan. Ya, ia memang harus menjaga kesopanan demi harga
dirinya sendiri, tapi ia sudah tidak sabar lagi ingin menjatuhkan Orang
yang menurutnya sangat sok tahu ini. Lagipula topik tentang kekekalan
adalah topik yang tidak dikuasai orang kebanyakan selain dari ahli
Taurat dan orang-orang Farisi.
Yesus sendiri pun terdiam begitu
mendengar pertanyaan itu. Ia menatap si ahli Taurat dengan tatapan dalam
lalu disusul sebuah senyuman yang bersahabat. Ia tahu kalau orang ini
ahli Taurat, tampak dari jubah yang dikenakannya. Tapi lebih dalam lagi,
Ia tahu – sangat tahu – apa yang ada di pikiran orang tua ini.
“Apa
yang tertulis dalam Taurat? Apa yang kau baca, dan bagaimana kau
menginterpretasikannya?” Yesus membalikkan pertanyaan kembali ke ahli
Taurat tersebut.
Suatu strategi yang lebih cerdik! Ia membuat si
penanya yang sombong itu menjawab sendiri pertanyaannya – dan memang
sangat cerdik menghadapi orang sombong dan sok pintar seperti itu. Cara
seperti itu akan memancing si penanya untuk lebih menyombongkan dirinya
lagi, hingga kemudian ia sendiri sadar betapa sombongnya dirinya itu.
“Huh,
membalikkan pertanyaan. Kini aku tahu ternyata cuma sampai di situ saja
kemampuan-Nya. Dengan begini secara tidak langsung Ia mengaku
pengetahuan-Nya lebih rendah dibandingkan aku.”
Ya, umpan balik yang dilontarkan Yesus sudah termakan. Langkah selanjutnya akan sangat mudah bagi-Nya.
“Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan
dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu[1],” si ahli
Taurat melontarkan kata-kata itu dengan perasaan bangga, lalu dengan
sedikit penekanan untuk menunjukkan pemahamannya yang tinggi akan
Taurat, ia menutup dengan kalimat, “dan kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri[2].”
Sungguh hebat pengetahuan orang ini!
Ia menyimpulkan seluruh hukum Taurat yang sukar itu hanya dalam dua
kalimat, dan keduanya diambil dari bagian yang terpisah dalam Taurat.
Pengamatannya bertahun-tahun tentang Taurat sungguh telah menghasilkan
suatu kesimpulan yang luar biasa. Yesus pun kagum dan mengakui
pengatahuan orang tua yang luar biasa ini, tapi sayangnya sikapnya yang
sombong tidak mendukung kecerdasannya itu.
“Jawabmu itu sangat tepat. Pergilah dan perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup – hidup yang kekal.”
Satu
tanggapan singkat dari Yesus tetapi sangat menegur si ahli Taurat ini.
Kasih. Seluruh Taurat disimpulkannya dalam satu kata itu. Ia bahkan
memisahkan antara hubungan kasih vertikal dengan Allah dan horizontal
dengan sesama manusia. Tapi sudahkah ia melakukannya?
Tanggapan
Yesus sudah sangat jelas. Orang ini boleh tahu teori tentang kasih, tapi
apalah gunanya kalau tidak dilakukan. Mungkin si ahli Taurat ini tidak
akan menyangka kalau kelak akan muncul seorang ahli Taurat lain yang
lebih terkenal dan lebih berwawasan luas darinya yang akan mengatakan,
“Kasih itu tidak sombong dan tidak memegahkan diri.”
Si ahli
Taurat tahu kalau ia sudah kalah. Ia bahkan memakan sendiri umpannya.
Maksud hati ingin mengadu kecerdasan yang ia yakin akan ia menangkan
tapi justru ia kalah dalam hal praktik. Percuma ia tahu tentang kasih
terhadap sesama tapi tidak mempraktikannya dengan sikap rendah hati
kepada orang lain. Maka cukuplah pengetahuannya tentang Taurat, langkah
berikutnya adalah… mempraktikannya.
* * *
(Kisah ini terinspirasi dari Lukas 10:25 – 28)
[1] Ul 6:5
[2] Im 19:18
Penulis mengangkat kembali tulisan lama yang pernah dimuat di notes Facebook, 29 Oktober 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar