Selasa, 06 November 2012

Sisi Gelap



Minggu pagi ini aku berada di belakang kemudi dengan pikiran kosong, berputar-putar tak tentu arah. Seperti hari Minggu biasa, jalanan Jakarta lengang. Aku mengikuti saja jalan lurus di depanku. Jika bertemu persimpangan, aku belok kiri. Setiap dua kali belok kiri, sekali belok kanan, begitu seterusnya, seperti kebiasaanku kalau sedang galau. Aku tidak punya arah. Aku memikirkan semua yang terjadi padaku sebulan terakhir. Rasanya semua terjadi begitu cepat.


Kali ini aku belok kanan. Aku berusaha tidak melanggar aturan aneh ini yang kubuat sendiri. Sepertinya inilah yang bisa membuatku tetap waras, bertahan terhadap semua sistem kehidupan ini, sistem yang bagi sebagian orang normal, tapi membuat sebagian lainnya jungkir balik. Aku golongan orang yang jungkir balik. Aku mengikuti semua aturan main dunia, tapi itu justru membawaku terpuruk lebih jauh. Sebaliknya, kalau aku tidak mengikuti aturan itu—ah, mungkin aku benar-benar sudah gila!

Sayangnya, belokan kali ini membawaku ke tempat yang tidak ingin kulewati sama sekali. Bangunan itu. 200 meter lagi. Aku memperlambat laju mobilku. Sekarang bukan waktu yang tepat; aku tidak siap. Kini bangunan besar itu tampak di depan mataku. Ramai sekali. Aku bisa membayangkan halaman parkir depannya pasti sudah penuh. Aku menepikan mobilku. Aku ingin putar balik, tangan kiriku sudah siap di gagang persneling. Tapi, alih-alih memasukkan gigi mundur, tanganku justru menghentikan gagangnya ke posisi netral. Aku mematikan mesin. Kututup mataku dan terus mengulang dalam hati, siapkah aku, siapkah aku, siapkah aku?

Seseorang mengetuk kaca jendelaku. Aku tersentak dan membuka mata. Tukang parkir. Ia memberi isyarat untuk maju. Aku tidak boleh parkir di sini kalau di depanku masih ada tempat kosong. Anehnya, seperti dihipnotis, aku menurut saja tanpa berpikir. Akhirnya, aku benar-benar memarkir mobilku. Apa lagi yang harus kuperbuat selain turun dari mobil? Aku memperhatikan penampilanku. Tidak begitu buruk, pikirku, walaupun memang dari awal aku tidak merencanakan untuk ini. Aku mengambil sisir dari laci dasbor dan merapikan sedikit rambutku, lalu keluar.

Kembali aku memandang bangunan itu. Aku sudah berulang kali lewat depan gereja ini. Kadang, aku berhenti memperhatikan papan namanya, membaca jadwal kebaktian Minggunya: jam 8 pagi, setengah 11, dan jam 5 sore. Tapi setiap akan mengunjungi tempat ini, aku pasti berpikir panjang, atau pasti aku sedang berada di luar kota atau luar negeri. Kini kehidupan membawaku benar-benar ke tempat ini. Sekarang pukul 8 kurang 20. Berarti belum terlambat.

Aku masuk ke halamannya dengan gugup. Telapak tanganku berkeringat. Seseorang sudah menghadangku di depan pintu: seorang pria sebayaku dengan setelan rapinya, lengkap dengan dasi dan jas. Ia tersenyum dan bersalaman denganku (sebelumnya kulap tanganku yang berkeringat di celana dengan diam-diam), lalu ia memberikan buku acara untuk ibadah hari itu. Aku membalas senyumannya tetapi agak dipaksakan. Aku berpikir, bagaimana mungkin ia bisa bertahan senyum setiap Minggu pagi seperti itu, seolah enam hari lamanya ia tidak memiliki masalah di kantornya atau di rumahnya? Apakah karena ia pergi ke gereja?

Aku selalu berpikir bahwa orang-orang yang ke gereja tiap Minggu seperti minum obat, dosis seminggu sekali. Enam hari kau mengalami rumitnya kehidupan dunia dan hari Minggu kau ke gereja untuk mendapakan kesegaran rohani, begitu istilah mereka. Bagiku, aku tidak membutuhkan obat seperti itu; setidaknya hingga sebulan terakhir ini.

Bagiku, khotbah-khotbah agama itu tidak ada bedanya dengan mengikuti seminar-seminar motivasi: bagaimana kau memperoleh kebahagiaan, bagaimana bisa sukses di pekerjaanmu, bagaimana mempertahankan keharmonisan rumah tanggamu, berbuat baiklah, lakukan ini, itu dan seterusnya. Dan kalau kau tanya pendapatku tentang semuanya itu—khotbah-khotbah dan seminar motivasi—aku akan menjawab bahwa aku bisa memotivasi diriku sendiri. Aku tahu semua pendeta dan pembicara itu hanya tahu berbicara tapi apa yang mereka bicarakan sulit dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Buktinya, sejam setelah mendengarnya dan kau menghadapi masalah, toh akhirnya kau menyerah juga. Aku berani bertaruh, banyak yang berpikir seperti itu, tapi mereka tetap saja ke gereja tiap Minggu. Mungkin mereka mendapat semacam perasaan aman secara rohani. Ibarat menonton film yang sama terus-menerus, kau sudah tahu jalan ceritanya tapi tetap saja menontonnya, berharap mungkin kali ini akhirnya akan berbeda. Kau ke gereja tiap Minggu, berharap mungkin kali ini masalahmu itu akan terselesaikan. Seperti itulah pengharapan bagi sebagian besar orang, tapi tidak bagiku.

Aku tidak ingat lagi kapan terakhir aku ke gereja. Seingatku, dulu aku sangat aktif: menjadi panitia, menyumbang untuk keperluan pembangunan, acara-acara dan kegiatan-kegiatan. Tapi setelah bisnisku semakin maju, aku tidak punya waktu untuk semuanya itu lagi. Majelis gerejaku waktu itu punya program perkunjungan: mengunjungi mereka yang sudah lama tidak ke gereja. Begitu tahu namaku masuk dalam daftar perkunjungan mereka, bagiku itu rasanya seperti masuk ke dalam daftar hitam: kau adalah domba terhilang, orang berdosa; kembalilah, kami punya obat penawarnya untukmu. Alih-alih kembali, aku membuat diriku semakin “menghilang.” Ketika bulan Agustus mereka berkunjung ke rumahku, aku sedang meeting di Bali dengan klienku. September mereka kembali lagi dan mereka mendapat kabar aku ada urusan bisnis ke Singapura, padahal aku hanya bersenang-senang saja di sana. Hingga akhirnya mereka menyerah dan tidak melakukan perkunjungan lagi ke tempatku, menghapus namaku dari daftar “Orang-orang yang Perlu Diselamatkan.” Lengkap sudahlah dosaku. Aku bukan lagi domba terhilang, tapi sudah menjadi kambing yang pantas dimasukkan ke dalam perapian yang menyala-nyala. Apa aku merasa bersalah? Ah, setiap kali pikiran bersalah itu muncul, jumlah tabunganku yang terus bertambah menghiburku. Aku mungkin tidak mendapat rasa aman spiritual, tapi setidaknya aku aman secara finansial.

Kini aku kembali. Aku duduk di bangku paling belakang. Ruangan ibadah ini cukup besar. Perhitunganku, kapasitasnya hingga 500 orang. Barisan-barisan depan sudah hampir penuh terisi. Uniknya, dengan jumlah orang yang sedemikian banyak, mereka sama sekali tidak membuat kegaduhan. Masing-masing diam di tempatnya, hanya berbicara seperlunya saja, itupun dengan bisik-bisik. Aku merasa terasing. Sudah lama aku tidak merasakan suasana ini. Setelah tidak ke gereja lagi, aku banyak menghadiri rapat-rapat, dan berbeda dengan suasana di sini, di pertemuan-pertemuan bisnis yang kuikuti, belasan orang berkumpul saja sudah gaduhnya minta ampun.

Mungkin karena ini adalah “rumah Tuhan,” dan mereka semua menghormati si Tuan Rumah. Tapi pikiran ini membuatku bergidik. Tidak sepantasnya aku berada di sini, pikirku. Ini rumah-Nya, rumah Dia yang sudah kukhianati selama bertahun-tahun. Aku memutuskan untuk keluar, lalu seseorang masuk dan duduk di ujung bangku, menghalangi jalan keluarku. Aku merasa tidak enak melangkah di depannya, jadi aku diam saja. Beberapa menit kemudian, seorang majelis naik ke mimbar dan semua orang berdiri. Suara organ membahana dan semua jemaat bernyanyi. Pendeta dengan jubah hitam panjang masuk, menerima Alkitab dan naik ke mimbar besar. Terlambat, sudah tidak ada waktu untuk keluar lagi. Aku terjebak di sini.

Aku mengikuti semua bagian tata ibadah: berdiri ketika harus berdiri, duduk ketika sudah tiba saatnya duduk. Beberapa nyanyian masih aku ingat dengan baik, tapi hanya bibirku saja yang bergerak, tidak mengeluarkan nada apapun. Aku mengikuti semuanya tanpa berpikir, tidak mengerti apa arti semuanya ini. Satu-satunya pikiran yang memenuhi benakku adalah: Mengapa aku di sini? Aku salah tempat! Aku seharusnya tidak di sini. Bahkan, setelah sekian lama tersesat, kembali ke jalan yang benar pun rasanya seperti lebih tersesat lagi.

Ketika tiba bagian khotbah, aku menyerah. Aku tidak lagi berpikir macam-macam dan berusaha mendengar apa yang dikatakan pendeta. Khotbah hari ini tentang Daud. Bukan, bukan Daud yang kecil, yang menggembalakan domba. Bukan Daud polos yang melawan Goliat yang perkasa. Bukan Daud gagah yang memimpin pertempuran. Tapi, Daud yang berdosa. Setiap orang punya sisi hitam mereka masing-masing, pikirku. Walaupun Daud memiliki reputasi sebagai “orang benar,” tetap saja ia pernah melakukan dosa besar.

Memang Daud setia terhadap Tuhan, tapi seperti kebanyakan pria lain, ia toh lemah juga ketika berhadapan dengan godaan dari wanita. Daud terpikat pada wanita cantik yang dilihatnya sedang mandi dari atas balkon istana, Batsyeba. Dan karena ia raja, pemegang kekuasaan tertinggi di Israel, ia bisa memperoleh apa saja yang ia inginkan. Ia menginginkan wanita itu dan ia mendapatkannya. Ketika tahu Batsyeba hamil, ia memerintahkan panglima kepala menempatkan suami Batsyeba, Uria, seorang prajurit yang setia pada negaranya, pada barisan terdepan pertempuran sengit. Seperti anjing yang setia dan selalu mengorbankan diri demi tuannya, mungkin begitu pikiran jahat Daud pada waktu itu. Hari itu Israel kalah dalam pertempuran, tapi Daud memperoleh kemenangan karena Uria mati dan ia mendapatkan Batsyeba.

Daud lupa bahwa sebenarnya bukan ialah pemegang kekuasaan tertinggi. Ia lupa sejarah ketika Israel memiliki raja pertama, bahwa Tuhanlah yang menentukan kekuasaan raja, dan sebenarnya Tuhanlah pemegang kukasaan tertingginya, bukan dia. Ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya, Tuhan marah. Anak yang dilahirkan Batsyeba sakit. Daud menyesal dan ia berpuasa, tidur di lantai berhari-hari, tidak mau makan. Tetapi ketika ia mendengar berita bahwa anak itu sudah mati, ia bangun, mandi, dan makan. Betapa cepatnya ia pulih! “Mau berkabung berapa lama pun, anak itu tidak akan kembali. Bukan ia yang akan kembali, justru akulah yang akan pergi kepadanya,” kata Daud. Pikirannya realistis sekali!

Aku membandingkan diriku dengan Daud. Aku pun punya sisi hitam tersendiri; tentu saja lebih besar dari yang Daud punya. Ketika bisnisku sedang dalam masa puncaknya, aku menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak lagi. Aku menyingkirkan pesaing-pesaingku, pengusaha-pengusaha yang lebih kecil. Tentu saja orang tidak akan menemukan kesalahan dalamnya. Aku, dengan kecerdasanku, mengutak-atik jalan legal, mencari celah, sehingga sepertinya semua perbuatanku benar di mata hukum tetapi sebenarnya tidak demikian. Sudah beberapa kali aku lolos dari masalah-masalah besar.

Hingga kemudian muncul kasus sebulan lalu. Aku sudah berpikir akulah yang paling besar, tapi ternyata masih ada raksasa lain. Seperti hukum karma, raksasa ini melumat perusahaanku dengan cara yang sama yang kulakukan pada perusahaan-perusahaan kecil sebelumnya. Aku dinyatakan pailit. Aset-aset perusahaanku disita. Sama seperti Daud, aku pun kehilangan anak: usaha yang kurintis dari awal.

Sejak itu aku hidup dalam keputusasaan. Tabunganku yang tadinya mencapai sepuluh digit kini berkurang drastis karena terpaksa kupakai menutupi utang-utang lama perusahaan. Kondisi keuanganku ini lebih diperparah lagi dengan kunjunganku ke klub-klub malam, mencoba menghapus frustrasiku. Seperti semua orang yang memiliki sisi gelap, kegelapan itu terus mengikuti mereka seperti bayangan. Mereka takut berada di bawah cahaya karena bayangan itu akan muncul. Semakin mereka mendekati cahaya, semakin bayangan itu terus mengejar. Solusinya, orang-orang putus asa seperti ini memilih terus berada dalam gelap sehingga bayangan itu tidak terlihat. Bagiku, suasana gelap itu kuperoleh di klub-klub malam. Tapi tiap aku kembali, paginya aku hanya bisa terkapar di tempat tidur, meratapi nasibku. Rasanya seperti mau mati saja, tapi aku tidak punya nyali untuk itu. Kegalauan inilah yang pagi ini membawaku—dan mobilku—ke tempat ini.

Satu kata yang tepat untuk kondisiku: penyesalan. Jangan pernah berharap penyesalan itu akan datang lebih awal atau tepat waktu. Tidak, penyesalan adalah tipe yang selalu datang terlambat. Ia selalu datang ketika masalah sudah terjadi dan bahkan lebih besar. Perbedaanku dengan Daud adalah….

“Daud menggunakan penyesalannya secara positif,” kata pendeta dari mimbar. Aku kembali mengarahkan pandanganku padanya. Aneh juga. Mungkin pendeta mengetahui setiap masalah orang yang duduk di bangku jemaat dan selalu punya solusi untuk mereka. Mungkin pendeta ini tahu masalahku, atau cuma khayalanku saja dan kata-katanya kebetulan nyambung dengan pikiranku.

“Pertama, Daud menyesal dengan tidak melakukan hal negatif, tapi dengan mendekatkan diri pada Tuhan,” lanjutnya. “Kedua, Daud bersikap realistis. Ketika anak itu mati, ya sudah. Penyesalannya tidak berlarut-larut. Ia tidak menghakimi dirinya sendiri, tidak menyakiti dirinya, tidak menghukum dirinya secara berlebihan. Ia tahu, hukuman Allah baginya cukuplah dengan kematian anak itu.

“Terakhir, setelah penyesalannya berakhir, Daud kembali memiliki pengharapan bahwa Tuhan akan terus menuntun kehidupannya. Dan memang benar. Tuhan bahkan mengaruniai Daud dan Batsyeba seorang anak yang menjadi penerus takhta kerajaan, bahkan dalam silsilah selanjutnya lahirlah Kristus.”

Itulah bedaku dengan Daud. Daud sadar ia juga memiliki bayangan dosa, tapi untuk menutupinya, ia tidak masuk ke dalam kegelapan. Sebaliknya, ia terus menuju ke arah terang Tuhan dan memiliki pengharapan bahwa Tuhan terus menuntunnya sekalipun bayangan dosa itu masih tetap ada.

Selanjutnya aku berpikir, sanggupkah aku menjadi sama seperti Daud? Ah, aku berbeda dari Daud. Sebelum berdosa, Daud telah banyak menyenangkan hati Tuhan. Sedangkan aku? Aku tidak yakin jumlah pelayananku dulu lebih banyak ketimbang dosaku. Aku pebisnis dan aku bergantung pada hitung-hitungan laba-rugi. Tapi aku tidak mengerti jenis kalkulator apa yang dipakai malaikat di surga, apakah menurut hitung-hitungan mereka, hasilku positif atau negatif? Masih sanggupkah aku diterima kembali oleh Allah?

Lalu setelah itu? Aku harus kembali memulai dari awal lagi. Sanggupkah aku? Aku mencoba berpikir realistis seperti Daud: apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Rasanya berat, tapi di saat goyah seperti ini, aku sadar aku butuh pegangan yang lebih kokoh lagi. Apakah itu Tuhan? Agama?

Pikiranku terus melayang hingga tanpa sadar, tiba waktunya untuk berdoa syafaat. Satu hal yang dulu kubenci dalam tata ibadah adalah doa syafaat, doa yang panjang-panjang hingga rasanya aku sempat tertidur beberapa kali sebelum kata “amin” diucapkan. Aku ikut menunduk berdoa bersama jemaat lain, tapi aku tidak menutup mataku.

Tapi doa syafaat kali ini berbeda. Yang unik dari pendeta ini adalah bahwa ia tidak mengucapkan syafaatnya sendiri panjang-panjang. Ia hanya berkata, “Tuhan, dengarlah pergumulan masing-masing jemaatmu di sini.” Setelah itu ia memberikan waktu hening beberapa menit bagi jemaat untuk berdoa sendiri.

Hening.

Aku mengangkat kepalaku. Kulihat pendeta di mimbar yang masih menunduk. Kepala-kepala lain di hadapanku semuanya juga menunduk, menyampaikan permohonan mereka masing-masing. Aku juga ingin ikut, tapi apa yang harus kuucapkan?

Tuhan, sudah lama rasanya kita tidak berjumpa?

Atau…

Tuhan, aku sudah berdosa?

Ah, terlalu to the point.

Tuhan, maaf telah meninggalkan-Mu?
Tuhan, aku ingin kembali pada-Mu?
Tuhan, maukah Engkau kembali menerima dan memaafkanku?
Tuhan…
Tuhan…
Tuhan…

Aku bingung mencari kata-kata yang cocok. Sudah lama aku tidak berdoa. Tapi pelan-pelan, semua kalimat sepotong-sepotong itu membuat pelupuk mataku basah. Sial! Aku bahkan jadi lebih cengeng di sini ketimbang masa-masa galauku di tempat tidur sepulang dari klub malam!

Tuhan, kalau aku tidak pantas Kau terima kembali, terserah Kau sajalah! Tapi mau ke mana lagi aku kalau bukan kembali pada-Mu? akhirnya aku berkata dalam hati.

“Kita mengakhiri doa kita berdasarkan doa yang telah diajarkan Tuhan Yesus….”

Bapa kami yang ada di sorga…. Aku sudah tidak hapal doa ini.

… dan ampunilah kami akan kesalahan kami…. Tapi aku masih ingat ada bagian ini, dan ini kuucapkan dengan sungguh-sungguh. Mungkin hanya satu frasa inilah keseriusanku dalam mengikuti ibadah ini. Semoga Tuhan mau mendengarnya.

Selanjutnya, ada perasaan damai. Lega. Seperti beristirahat sehabis olahraga berat.

Kebaktian selesai dan aku berada dalam barisan jemaat yang antri bersalaman dengan pendeta di pintu depan. Lalu tiba giliranku. Di hadapanku manusia utusan Tuhan dalam jubah hitam panjangnya dengan kerah putih di leher depannya. Bagaimanapun juga ia masih manusia. Apakah ia juga kadang mengalami masalah berat dalam hidupnya? aku bertanya. Lalu bagaimana ia mengatasinya?

Ia menjabat tanganku dengan mantap, mengingatkanku pada partner-partner bisnisku dulu, yang selalu menjabat tanganku dengan mantap, berusaha menunjukkan keseriusan agar aku tidak meninggalkan proyeknya. Mungkin jabat tangan dengan pendeta ini bernada sama: ia tidak ingin aku meninggalkan “proyek Tuhan” ini lagi. Gembala yang tidak ingin kehilangan domba-dombanya, pikirku. Mungkin lain kali aku harus menemuinya empat mata. Aku bertekad kembali bangkit dan aku membutuhkan seseorang untuk diajak berbicara.

Aku kembali ke mobilku, kembali ke belakang kemudi, kali ini dengan perasaan yang berbeda. Aku menyentuh gagang persneling. Di tempat ini…, pikirku. Déjà vu!

Mungkin semua ini memang kehendak Tuhan. Sudah sedekat ini, Ia tidak ingin aku berbalik dan kembali menjauhi-Nya.

Tidak ada komentar: