Minggu pagi ini
aku berada di belakang kemudi dengan pikiran kosong, berputar-putar tak tentu
arah. Seperti hari Minggu biasa, jalanan Jakarta lengang. Aku mengikuti saja
jalan lurus di depanku. Jika bertemu persimpangan, aku belok kiri. Setiap dua
kali belok kiri, sekali belok kanan, begitu seterusnya, seperti kebiasaanku
kalau sedang galau. Aku tidak punya arah. Aku memikirkan semua yang terjadi
padaku sebulan terakhir. Rasanya semua terjadi begitu cepat.
Kali ini aku
belok kanan. Aku berusaha tidak melanggar aturan aneh ini yang kubuat sendiri.
Sepertinya inilah yang bisa membuatku tetap waras, bertahan terhadap semua
sistem kehidupan ini, sistem yang bagi sebagian orang normal, tapi membuat
sebagian lainnya jungkir balik. Aku golongan orang yang jungkir balik. Aku
mengikuti semua aturan main dunia, tapi itu justru membawaku terpuruk lebih
jauh. Sebaliknya, kalau aku tidak mengikuti aturan itu—ah, mungkin aku
benar-benar sudah gila!
Sayangnya,
belokan kali ini membawaku ke tempat yang tidak ingin kulewati sama sekali.
Bangunan itu. 200 meter lagi. Aku memperlambat laju mobilku. Sekarang bukan
waktu yang tepat; aku tidak siap. Kini bangunan besar itu tampak di depan
mataku. Ramai sekali. Aku bisa membayangkan halaman parkir depannya pasti sudah
penuh. Aku menepikan mobilku. Aku ingin putar balik, tangan kiriku sudah siap
di gagang persneling. Tapi, alih-alih memasukkan gigi mundur, tanganku justru
menghentikan gagangnya ke posisi netral. Aku mematikan mesin. Kututup mataku
dan terus mengulang dalam hati, siapkah aku, siapkah aku, siapkah aku?
Seseorang
mengetuk kaca jendelaku. Aku tersentak dan membuka mata. Tukang parkir. Ia
memberi isyarat untuk maju. Aku tidak boleh parkir di sini kalau di depanku
masih ada tempat kosong. Anehnya, seperti dihipnotis, aku menurut saja tanpa
berpikir. Akhirnya, aku benar-benar memarkir mobilku. Apa lagi yang harus
kuperbuat selain turun dari mobil? Aku memperhatikan penampilanku. Tidak
begitu buruk, pikirku, walaupun memang dari awal aku tidak merencanakan
untuk ini. Aku mengambil sisir dari laci dasbor dan merapikan sedikit rambutku,
lalu keluar.
Kembali aku
memandang bangunan itu. Aku sudah berulang kali lewat depan gereja ini. Kadang,
aku berhenti memperhatikan papan namanya, membaca jadwal kebaktian Minggunya:
jam 8 pagi, setengah 11, dan jam 5 sore. Tapi setiap akan mengunjungi tempat
ini, aku pasti berpikir panjang, atau pasti aku sedang berada di luar kota atau
luar negeri. Kini kehidupan membawaku benar-benar ke tempat ini. Sekarang pukul
8 kurang 20. Berarti belum terlambat.
Aku masuk ke
halamannya dengan gugup. Telapak tanganku berkeringat. Seseorang sudah
menghadangku di depan pintu: seorang pria sebayaku dengan setelan rapinya,
lengkap dengan dasi dan jas. Ia tersenyum dan bersalaman denganku (sebelumnya
kulap tanganku yang berkeringat di celana dengan diam-diam), lalu ia memberikan
buku acara untuk ibadah hari itu. Aku membalas senyumannya tetapi agak
dipaksakan. Aku berpikir, bagaimana mungkin ia bisa bertahan senyum setiap
Minggu pagi seperti itu, seolah enam hari lamanya ia tidak memiliki masalah di
kantornya atau di rumahnya? Apakah karena ia pergi ke gereja?
Aku selalu
berpikir bahwa orang-orang yang ke gereja tiap Minggu seperti minum obat, dosis
seminggu sekali. Enam hari kau mengalami rumitnya kehidupan dunia dan hari
Minggu kau ke gereja untuk mendapakan kesegaran rohani, begitu istilah
mereka. Bagiku, aku tidak membutuhkan obat seperti itu; setidaknya
hingga sebulan terakhir ini.
Bagiku,
khotbah-khotbah agama itu tidak ada bedanya dengan mengikuti seminar-seminar
motivasi: bagaimana kau memperoleh kebahagiaan, bagaimana bisa sukses di
pekerjaanmu, bagaimana mempertahankan keharmonisan rumah tanggamu, berbuat
baiklah, lakukan ini, itu dan seterusnya. Dan kalau kau tanya pendapatku
tentang semuanya itu—khotbah-khotbah dan seminar motivasi—aku akan menjawab
bahwa aku bisa memotivasi diriku sendiri. Aku tahu semua pendeta dan pembicara
itu hanya tahu berbicara tapi apa yang mereka bicarakan sulit dipraktikkan
dalam kehidupan nyata. Buktinya, sejam setelah mendengarnya dan kau menghadapi
masalah, toh akhirnya kau menyerah juga. Aku berani bertaruh, banyak yang
berpikir seperti itu, tapi mereka tetap saja ke gereja tiap Minggu. Mungkin
mereka mendapat semacam perasaan aman secara rohani. Ibarat menonton film yang
sama terus-menerus, kau sudah tahu jalan ceritanya tapi tetap saja menontonnya,
berharap mungkin kali ini akhirnya akan berbeda. Kau ke gereja tiap Minggu,
berharap mungkin kali ini masalahmu itu akan terselesaikan. Seperti itulah
pengharapan bagi sebagian besar orang, tapi tidak bagiku.
Aku tidak ingat
lagi kapan terakhir aku ke gereja. Seingatku, dulu aku sangat aktif: menjadi
panitia, menyumbang untuk keperluan pembangunan, acara-acara dan
kegiatan-kegiatan. Tapi setelah bisnisku semakin maju, aku tidak punya waktu
untuk semuanya itu lagi. Majelis gerejaku waktu itu punya program perkunjungan:
mengunjungi mereka yang sudah lama tidak ke gereja. Begitu tahu namaku masuk
dalam daftar perkunjungan mereka, bagiku itu rasanya seperti masuk ke dalam
daftar hitam: kau adalah domba terhilang, orang berdosa; kembalilah, kami
punya obat penawarnya untukmu. Alih-alih kembali, aku membuat diriku
semakin “menghilang.” Ketika bulan Agustus mereka berkunjung ke rumahku, aku
sedang meeting di Bali dengan klienku. September mereka kembali lagi dan
mereka mendapat kabar aku ada urusan bisnis ke Singapura, padahal aku hanya
bersenang-senang saja di sana. Hingga akhirnya mereka menyerah dan tidak
melakukan perkunjungan lagi ke tempatku, menghapus namaku dari daftar
“Orang-orang yang Perlu Diselamatkan.” Lengkap sudahlah dosaku. Aku bukan lagi
domba terhilang, tapi sudah menjadi kambing yang pantas dimasukkan ke dalam
perapian yang menyala-nyala. Apa aku merasa bersalah? Ah, setiap kali pikiran
bersalah itu muncul, jumlah tabunganku yang terus bertambah menghiburku. Aku
mungkin tidak mendapat rasa aman spiritual, tapi setidaknya aku aman secara
finansial.
Kini aku
kembali. Aku duduk di bangku paling belakang. Ruangan ibadah ini cukup besar.
Perhitunganku, kapasitasnya hingga 500 orang. Barisan-barisan depan sudah
hampir penuh terisi. Uniknya, dengan jumlah orang yang sedemikian banyak,
mereka sama sekali tidak membuat kegaduhan. Masing-masing diam di tempatnya,
hanya berbicara seperlunya saja, itupun dengan bisik-bisik. Aku merasa
terasing. Sudah lama aku tidak merasakan suasana ini. Setelah tidak ke gereja
lagi, aku banyak menghadiri rapat-rapat, dan berbeda dengan suasana di sini, di
pertemuan-pertemuan bisnis yang kuikuti, belasan orang berkumpul saja sudah
gaduhnya minta ampun.
Mungkin karena
ini adalah “rumah Tuhan,” dan mereka semua menghormati si Tuan Rumah. Tapi
pikiran ini membuatku bergidik. Tidak sepantasnya aku berada di sini,
pikirku. Ini rumah-Nya, rumah Dia yang sudah kukhianati selama
bertahun-tahun. Aku memutuskan untuk keluar, lalu seseorang masuk dan duduk
di ujung bangku, menghalangi jalan keluarku. Aku merasa tidak enak melangkah di
depannya, jadi aku diam saja. Beberapa menit kemudian, seorang majelis naik ke
mimbar dan semua orang berdiri. Suara organ membahana dan semua jemaat
bernyanyi. Pendeta dengan jubah hitam panjang masuk, menerima Alkitab dan naik
ke mimbar besar. Terlambat, sudah tidak ada waktu untuk keluar lagi. Aku
terjebak di sini.
Aku mengikuti
semua bagian tata ibadah: berdiri ketika harus berdiri, duduk ketika sudah tiba
saatnya duduk. Beberapa nyanyian masih aku ingat dengan baik, tapi hanya
bibirku saja yang bergerak, tidak mengeluarkan nada apapun. Aku mengikuti
semuanya tanpa berpikir, tidak mengerti apa arti semuanya ini. Satu-satunya
pikiran yang memenuhi benakku adalah: Mengapa aku di sini? Aku salah tempat!
Aku seharusnya tidak di sini. Bahkan, setelah sekian lama tersesat, kembali
ke jalan yang benar pun rasanya seperti lebih tersesat lagi.
Ketika tiba
bagian khotbah, aku menyerah. Aku tidak lagi berpikir macam-macam dan berusaha
mendengar apa yang dikatakan pendeta. Khotbah hari ini tentang Daud. Bukan,
bukan Daud yang kecil, yang menggembalakan domba. Bukan Daud polos yang melawan
Goliat yang perkasa. Bukan Daud gagah yang memimpin pertempuran. Tapi, Daud
yang berdosa. Setiap orang punya sisi hitam mereka masing-masing,
pikirku. Walaupun Daud memiliki reputasi sebagai “orang benar,” tetap saja ia
pernah melakukan dosa besar.
Memang Daud
setia terhadap Tuhan, tapi seperti kebanyakan pria lain, ia toh lemah juga
ketika berhadapan dengan godaan dari wanita. Daud terpikat pada wanita cantik
yang dilihatnya sedang mandi dari atas balkon istana, Batsyeba. Dan karena ia
raja, pemegang kekuasaan tertinggi di Israel, ia bisa memperoleh apa saja yang
ia inginkan. Ia menginginkan wanita itu dan ia mendapatkannya. Ketika tahu
Batsyeba hamil, ia memerintahkan panglima kepala menempatkan suami Batsyeba,
Uria, seorang prajurit yang setia pada negaranya, pada barisan terdepan
pertempuran sengit. Seperti anjing yang setia dan selalu mengorbankan diri
demi tuannya, mungkin begitu pikiran jahat Daud pada waktu itu. Hari itu
Israel kalah dalam pertempuran, tapi Daud memperoleh kemenangan karena Uria
mati dan ia mendapatkan Batsyeba.
Daud lupa bahwa
sebenarnya bukan ialah pemegang kekuasaan tertinggi. Ia lupa sejarah ketika
Israel memiliki raja pertama, bahwa Tuhanlah yang menentukan kekuasaan raja,
dan sebenarnya Tuhanlah pemegang kukasaan tertingginya, bukan dia. Ketika ia
menyalahgunakan kekuasaannya, Tuhan marah. Anak yang dilahirkan Batsyeba sakit.
Daud menyesal dan ia berpuasa, tidur di lantai berhari-hari, tidak mau makan.
Tetapi ketika ia mendengar berita bahwa anak itu sudah mati, ia bangun, mandi,
dan makan. Betapa cepatnya ia pulih! “Mau berkabung berapa lama pun, anak itu
tidak akan kembali. Bukan ia yang akan kembali, justru akulah yang akan pergi
kepadanya,” kata Daud. Pikirannya realistis sekali!
Aku
membandingkan diriku dengan Daud. Aku pun punya sisi hitam tersendiri; tentu
saja lebih besar dari yang Daud punya. Ketika bisnisku sedang dalam masa
puncaknya, aku menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan lebih
banyak lagi. Aku menyingkirkan pesaing-pesaingku, pengusaha-pengusaha yang
lebih kecil. Tentu saja orang tidak akan menemukan kesalahan dalamnya. Aku,
dengan kecerdasanku, mengutak-atik jalan legal, mencari celah, sehingga
sepertinya semua perbuatanku benar di mata hukum tetapi sebenarnya tidak
demikian. Sudah beberapa kali aku lolos dari masalah-masalah besar.
Hingga kemudian
muncul kasus sebulan lalu. Aku sudah berpikir akulah yang paling besar, tapi
ternyata masih ada raksasa lain. Seperti hukum karma, raksasa ini melumat
perusahaanku dengan cara yang sama yang kulakukan pada perusahaan-perusahaan
kecil sebelumnya. Aku dinyatakan pailit. Aset-aset perusahaanku disita. Sama
seperti Daud, aku pun kehilangan anak: usaha yang kurintis dari awal.
Sejak itu aku
hidup dalam keputusasaan. Tabunganku yang tadinya mencapai sepuluh digit kini
berkurang drastis karena terpaksa kupakai menutupi utang-utang lama perusahaan.
Kondisi keuanganku ini lebih diperparah lagi dengan kunjunganku ke klub-klub
malam, mencoba menghapus frustrasiku. Seperti semua orang yang memiliki sisi
gelap, kegelapan itu terus mengikuti mereka seperti bayangan. Mereka takut
berada di bawah cahaya karena bayangan itu akan muncul. Semakin mereka
mendekati cahaya, semakin bayangan itu terus mengejar. Solusinya, orang-orang
putus asa seperti ini memilih terus berada dalam gelap sehingga bayangan itu
tidak terlihat. Bagiku, suasana gelap itu kuperoleh di klub-klub malam. Tapi
tiap aku kembali, paginya aku hanya bisa terkapar di tempat tidur, meratapi
nasibku. Rasanya seperti mau mati saja, tapi aku tidak punya nyali untuk itu.
Kegalauan inilah yang pagi ini membawaku—dan mobilku—ke tempat ini.
Satu kata yang
tepat untuk kondisiku: penyesalan. Jangan pernah berharap penyesalan itu akan
datang lebih awal atau tepat waktu. Tidak, penyesalan adalah tipe yang selalu
datang terlambat. Ia selalu datang ketika masalah sudah terjadi dan bahkan
lebih besar. Perbedaanku dengan Daud adalah….
“Daud
menggunakan penyesalannya secara positif,” kata pendeta dari mimbar. Aku kembali
mengarahkan pandanganku padanya. Aneh juga. Mungkin pendeta mengetahui setiap
masalah orang yang duduk di bangku jemaat dan selalu punya solusi untuk mereka.
Mungkin pendeta ini tahu masalahku, atau cuma khayalanku saja dan kata-katanya
kebetulan nyambung dengan pikiranku.
“Pertama, Daud
menyesal dengan tidak melakukan hal negatif, tapi dengan mendekatkan diri pada
Tuhan,” lanjutnya. “Kedua, Daud bersikap realistis. Ketika anak itu mati, ya
sudah. Penyesalannya tidak berlarut-larut. Ia tidak menghakimi dirinya sendiri,
tidak menyakiti dirinya, tidak menghukum dirinya secara berlebihan. Ia tahu,
hukuman Allah baginya cukuplah dengan kematian anak itu.
“Terakhir,
setelah penyesalannya berakhir, Daud kembali memiliki pengharapan bahwa Tuhan
akan terus menuntun kehidupannya. Dan memang benar. Tuhan bahkan mengaruniai
Daud dan Batsyeba seorang anak yang menjadi penerus takhta kerajaan, bahkan
dalam silsilah selanjutnya lahirlah Kristus.”
Itulah bedaku dengan
Daud. Daud sadar ia juga memiliki bayangan dosa, tapi untuk menutupinya, ia tidak
masuk ke dalam kegelapan. Sebaliknya, ia terus menuju ke arah terang Tuhan dan
memiliki pengharapan bahwa Tuhan terus menuntunnya sekalipun bayangan dosa itu
masih tetap ada.
Selanjutnya aku
berpikir, sanggupkah aku menjadi sama seperti Daud? Ah, aku berbeda dari
Daud. Sebelum berdosa, Daud telah banyak menyenangkan hati Tuhan. Sedangkan aku?
Aku tidak yakin jumlah pelayananku dulu lebih banyak ketimbang dosaku. Aku pebisnis
dan aku bergantung pada hitung-hitungan laba-rugi. Tapi aku tidak mengerti
jenis kalkulator apa yang dipakai malaikat di surga, apakah menurut hitung-hitungan
mereka, hasilku positif atau negatif? Masih sanggupkah aku diterima kembali
oleh Allah?
Lalu setelah
itu? Aku harus kembali memulai dari awal lagi. Sanggupkah aku? Aku mencoba
berpikir realistis seperti Daud: apa yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Rasanya
berat, tapi di saat goyah seperti ini, aku sadar aku butuh pegangan yang lebih
kokoh lagi. Apakah itu Tuhan? Agama?
Pikiranku terus
melayang hingga tanpa sadar, tiba waktunya untuk berdoa syafaat. Satu hal yang dulu
kubenci dalam tata ibadah adalah doa syafaat, doa yang panjang-panjang hingga
rasanya aku sempat tertidur beberapa kali sebelum kata “amin” diucapkan. Aku ikut
menunduk berdoa bersama jemaat lain, tapi aku tidak menutup mataku.
Tapi doa
syafaat kali ini berbeda. Yang unik dari pendeta ini adalah bahwa ia tidak mengucapkan
syafaatnya sendiri panjang-panjang. Ia hanya berkata, “Tuhan, dengarlah
pergumulan masing-masing jemaatmu di sini.” Setelah itu ia memberikan waktu
hening beberapa menit bagi jemaat untuk berdoa sendiri.
Hening.
Aku mengangkat
kepalaku. Kulihat pendeta di mimbar yang masih menunduk. Kepala-kepala lain di
hadapanku semuanya juga menunduk, menyampaikan permohonan mereka masing-masing.
Aku juga ingin ikut, tapi apa yang harus kuucapkan?
Tuhan,
sudah lama rasanya kita tidak berjumpa?
Atau…
Tuhan,
aku sudah berdosa?
Ah, terlalu to
the point.
Tuhan,
maaf telah meninggalkan-Mu?
Tuhan,
aku ingin kembali pada-Mu?
Tuhan,
maukah Engkau kembali menerima dan memaafkanku?
Tuhan…
Tuhan…
Tuhan…
Aku bingung
mencari kata-kata yang cocok. Sudah lama aku tidak berdoa. Tapi pelan-pelan,
semua kalimat sepotong-sepotong itu membuat pelupuk mataku basah. Sial! Aku
bahkan jadi lebih cengeng di sini ketimbang masa-masa galauku di tempat tidur sepulang
dari klub malam!
Tuhan,
kalau aku tidak pantas Kau terima kembali, terserah Kau sajalah! Tapi mau ke
mana lagi aku kalau bukan kembali pada-Mu? akhirnya
aku berkata dalam hati.
“Kita
mengakhiri doa kita berdasarkan doa yang telah diajarkan Tuhan Yesus….”
Bapa
kami yang ada di sorga…. Aku sudah tidak
hapal doa ini.
… dan
ampunilah kami akan kesalahan kami…. Tapi
aku masih ingat ada bagian ini, dan ini kuucapkan dengan sungguh-sungguh. Mungkin
hanya satu frasa inilah keseriusanku dalam mengikuti ibadah ini. Semoga Tuhan
mau mendengarnya.
Selanjutnya,
ada perasaan damai. Lega. Seperti beristirahat sehabis olahraga berat.
Kebaktian selesai
dan aku berada dalam barisan jemaat yang antri bersalaman dengan pendeta di
pintu depan. Lalu tiba giliranku. Di hadapanku manusia utusan Tuhan dalam jubah
hitam panjangnya dengan kerah putih di leher depannya. Bagaimanapun juga ia
masih manusia. Apakah ia juga kadang mengalami masalah berat dalam hidupnya?
aku bertanya. Lalu bagaimana ia mengatasinya?
Ia menjabat
tanganku dengan mantap, mengingatkanku pada partner-partner bisnisku dulu, yang
selalu menjabat tanganku dengan mantap, berusaha menunjukkan keseriusan agar
aku tidak meninggalkan proyeknya. Mungkin jabat tangan dengan pendeta ini
bernada sama: ia tidak ingin aku meninggalkan “proyek Tuhan” ini lagi. Gembala
yang tidak ingin kehilangan domba-dombanya, pikirku. Mungkin lain kali aku
harus menemuinya empat mata. Aku bertekad kembali bangkit dan aku membutuhkan seseorang
untuk diajak berbicara.
Aku kembali ke
mobilku, kembali ke belakang kemudi, kali ini dengan perasaan yang berbeda. Aku
menyentuh gagang persneling. Di tempat ini…, pikirku. Déjà vu!
Mungkin semua
ini memang kehendak Tuhan. Sudah sedekat ini, Ia tidak ingin aku berbalik dan
kembali menjauhi-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar