Kamis, 29 September 2011

Berani Mengambil Risiko

Tantangan terbesar iman biasanya selalu terkait dengan ketidakpastian. Kenapa? Karena sesuatu yang nggak pasti itu risikonya pasti lebih besar dibandingkan dengan sesuatu yang kepastiannya diketahui. 

Mereka yang bergerak di bidang investasi pasti tahu bahwa berinvestasi di perusahaan mapan, bidang usahanya jelas, dan mudah diprediksi memiliki risiko lebih kecil dibandingkan berinvestasi di perusahaan kecil dan nggak terkenal. Bisa-bisa bukannya dapat untung, duitnya malah dibawa kabur! 

Nah, ketidakpastian inilah yang menjadi masalah sebagian besar orang, apalagi kalau terkait dengan masa depan. Siapa yang tahu apa yang bakal terjadi sejam lagi? Atau nggak usah sejam, deh, semenit ke depan aja kita nggak bakal tahu apa yang akan terjadi. Pengetahuan kita soal masa depan itu nol, tidak ada! Dan ini adalah sesuatu yang sangat sangat sangat tidak pasti! 


Tampaknya kita sudah mengerti soal ketidakpastian di masa depan. Mari kita tambahkan ketidakpastian masa depan itu dengan beberapa pilihan; nggak usah banyak-banyak, deh, cukup dua aja. Pasti bingung! 

“Milih A apa B, ya? Kalau milih A, kira-kira untung, nggak, ya? Gimana kalau gue milih A tapi tiba-tiba rugi? Atau gimana gue tahu kalau B ternyata tidak lebih buruk dari A?” 

Masalahnya, dalam kehidupan nyata, pilihan tidak selamanya hanya ada dua. Lebih! Di sinilah iman itu mendapatkan tantangan: bagaimana kesiapan kita menghadapi risiko terburuk dari pilihan-pilihan yang kita ambil. 

Kita bisa belajar dari seorang tokoh: Abraham. Tidak salah kalau ia dijuluki “Bapa Orang Beriman.” Banyak sekali tantangan iman yang telah dihadapinya, tapi untuk kali ini kita cukup belajar satu saja: bagaimana ia mengambil risiko menginjakkan kaki di tanah yang belum ia kenal.
* * *
Going “Somewhere” (Kej 11:27-12:9)
Waktu itu namanya masih Abram: Bapa yang Dipuja. Cukup aneh juga. Sepertinya ungkapan “nama adalah doa” tidak berlaku bagi Abram yang tidak memiliki anak. Bapa? Mana anaknya? Siapa yang mau memujanya? Kelak Allah mengubah namanya menjadi Abraham: Bapa Banyak Orang, tapi itu masih jauh, bertahun-tahun setelah peristiwa perjalanan ini. 
Perjalanan ini bukanlah yang pertama kali. Kampung halamannya sebetulnya adalah Ur-Kasdim. Kemudian suatu hari ayahnya, Terah, memutuskan pergi ke tanah Kanaan. Terah; Abram dan isterinya, Sarai; Lot, kemenakan Abram bersama sejumlah besar rombongan pembantu dan ternak berangkat dari Ur-Kasdim. 
Ternyata rombongan Terah hanya berhenti di Haran, Mesopotamia. Itu bukan Kanaan! Tanah Kanaan masih jauh lagi. Tapi ternyata mereka keenakan di Haran. Mereka menetap, membangun, dan berkeluarga di Haran hingga akhirnya Terah meninggal. 
Apakah kemudian Abram lupa tujuan sebenarnya? Lupa atau tidak, Tuhan mengingatkannya. 
Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu mashyur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.” (Kej 12:1-3) 
Abram punya pilihan: terus atau tinggal. Keduanya memiliki risiko. Tinggal berarti mengingkari panggilan Tuhan dan meninggalkan janji besar: menjadi berkat. Sebaliknya, pergi. Pergi? Lewat mana? Ia belum pernah ke Kanaan sebelumnya. Lagipula siapa yang tahu tempat macam apa Kanaan itu? Suburkah atau gersangkah? Bagaimana dengan penduduknya? Siapa yang bisa jamin kalau penduduk di sana nggak ­serem? Bisa-bisa baru sampai, mereka sudah dibunuh! 
Tidak hanya bergumul dengan pilihan itu, Abram juga tentunya mempertanyakan suara yang ia dengar. Siapa Dia? Benarkah Ia Tuhan? Setelah Nuh, tidak ada lagi yang pernah mendengan suara Tuhan dan itu berarti sudah ribuan tahun silam. Muncullah pilihan baru: mempercayai suara itu sebagai suara Tuhan atau tidak. 
Tapi coba perhatikan ini, yang membuat iman Abram unik: ia memilih mempercayai suara itu dan siapa pun suara itu, Ia pasti tahu apa yang akan terjadi di tanah Kanaan nantinya. Buat apa suara itu memintanya untuk pergi kalau hanya untuk menjemput maut? Bersama suara itu ia merasakan semua ketidakpastian beserta risiko di baliknya runtuh seketika. Dan karena suara itu tahu segalanya, termasuk masa depan, maka ia memilih mempercayai suara itu sebagai Tuhan.
Maka Abram berangkat. Ia memilih meninggalkan kenyamanan hidup masa tuanya untuk menetap di Haran dan berangkat ke tanah Kanaan. Ia menerobos risiko itu! 
Setelah sampai ke Sikhem, suara itu kembali terdengar, “Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.” 
Sudah sampai. Ternyata memang tidak seburuk seperti yang ada di pikirannya. Ia memang tidak merasa rugi mengikuti suara itu, yang memang adalah Tuhan. Maka ia membangun mezbah dan mengucap syukur. 
Perjalanannya memang belum selesai. Masih banyak yang harus ia hadapi di tanah Kanaan, mulai dari kelaparan, peperangan, sampai musibah Sodom dan Gomora yang menimpa kemenakannya. 
Ia bahkan tidak pernah meninggalkan kemah dan mendirikan rumah tinggal tetap sepanjang sisa hidupnya di Kanaan. Rupanya, alih-alih memilih keenakan menetap di Haran, ia lebih memilih keenakan mengembara di tanah Kanaan. 
* * *
Begitulah kisah Abram sang pengambil risiko. Mari kembali ke pilihan sebelumnya. Jadi, milih A atau B, nih? 
“Ooo…, sekarang gue ngerti! Nggak peduli mau milih apa, yang penting gue terobos aja risikonya (biar kelihatan lebih berani gitu)!” 
Nggak juga! Itu mah sama aja terjun tanpa parasut. Cari mati! 
Iman yang berani mengambil risiko berarti iman yang menyerahkan pilihan ke tangan Tuhan. Kita nggak tahu masa depan kita seperti apa tapi Tuhan tahu. Masa depan mana, sih, yang nggak diketahui Tuhan? Dia yang rancang, kok. 
Bersama Tuhan, apa yang tidak pasti menjadi pasti sehingga risiko itu seolah tidak pernah ada. Menyerahkan pilihan ke tangan Tuhan dan mempercayakan keputusan kita pada-Nya, itulah arti iman yang berani mengambil risiko. 
* * *

Tidak ada komentar: