Mereka yang bergerak di bidang investasi pasti tahu bahwa berinvestasi di perusahaan mapan, bidang usahanya jelas, dan mudah diprediksi memiliki risiko lebih kecil dibandingkan berinvestasi di perusahaan kecil dan nggak terkenal. Bisa-bisa bukannya dapat untung, duitnya malah dibawa kabur!
Nah, ketidakpastian inilah yang menjadi masalah sebagian besar orang, apalagi kalau terkait dengan masa depan. Siapa yang tahu apa yang bakal terjadi sejam lagi? Atau nggak usah sejam, deh, semenit ke depan aja kita nggak bakal tahu apa yang akan terjadi. Pengetahuan kita soal masa depan itu nol, tidak ada! Dan ini adalah sesuatu yang sangat sangat sangat tidak pasti!
Tampaknya kita sudah mengerti soal ketidakpastian di masa depan. Mari kita tambahkan ketidakpastian masa depan itu dengan beberapa pilihan; nggak usah banyak-banyak, deh, cukup dua aja. Pasti bingung!
“Milih A apa B, ya? Kalau milih A, kira-kira untung, nggak, ya? Gimana kalau gue milih A tapi tiba-tiba rugi? Atau gimana gue tahu kalau B ternyata tidak lebih buruk dari A?”
Masalahnya, dalam kehidupan nyata, pilihan tidak selamanya hanya ada dua. Lebih! Di sinilah iman itu mendapatkan tantangan: bagaimana kesiapan kita menghadapi risiko terburuk dari pilihan-pilihan yang kita ambil.
Kita bisa belajar dari seorang tokoh: Abraham. Tidak salah kalau ia dijuluki “Bapa Orang Beriman.” Banyak sekali tantangan iman yang telah dihadapinya, tapi untuk kali ini kita cukup belajar satu saja: bagaimana ia mengambil risiko menginjakkan kaki di tanah yang belum ia kenal.
* * *
Going “Somewhere” (Kej 11:27-12:9)
Waktu itu namanya masih Abram: Bapa yang Dipuja. Cukup aneh
juga. Sepertinya ungkapan “nama adalah doa” tidak berlaku bagi Abram yang tidak
memiliki anak. Bapa? Mana anaknya? Siapa yang mau memujanya? Kelak Allah
mengubah namanya menjadi Abraham: Bapa Banyak Orang, tapi itu masih jauh,
bertahun-tahun setelah peristiwa perjalanan ini.
Perjalanan ini bukanlah yang pertama kali. Kampung halamannya
sebetulnya adalah Ur-Kasdim. Kemudian suatu hari ayahnya, Terah, memutuskan
pergi ke tanah Kanaan. Terah; Abram dan isterinya, Sarai; Lot, kemenakan Abram
bersama sejumlah besar rombongan pembantu dan ternak berangkat dari Ur-Kasdim.
Ternyata rombongan Terah hanya berhenti di Haran, Mesopotamia.
Itu bukan Kanaan! Tanah Kanaan masih jauh lagi. Tapi ternyata mereka keenakan di Haran. Mereka menetap,
membangun, dan berkeluarga di Haran hingga akhirnya Terah meninggal.
Apakah kemudian Abram lupa tujuan sebenarnya? Lupa atau
tidak, Tuhan mengingatkannya.
“Pergilah dari negerimu
dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan
Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan
memberkati engkau serta membuat namamu mashyur; dan engkau akan menjadi berkat.
Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk
orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan
mendapat berkat.” (Kej 12:1-3)
Abram punya pilihan: terus atau tinggal. Keduanya memiliki
risiko. Tinggal berarti mengingkari panggilan Tuhan dan meninggalkan janji
besar: menjadi berkat. Sebaliknya, pergi. Pergi?
Lewat mana? Ia belum pernah ke Kanaan sebelumnya. Lagipula siapa yang tahu
tempat macam apa Kanaan itu? Suburkah atau gersangkah? Bagaimana dengan penduduknya?
Siapa yang bisa jamin kalau penduduk di sana nggak serem? Bisa-bisa
baru sampai, mereka sudah dibunuh!
Tidak hanya bergumul dengan pilihan itu, Abram juga tentunya
mempertanyakan suara yang ia dengar. Siapa Dia? Benarkah Ia Tuhan? Setelah Nuh,
tidak ada lagi yang pernah mendengan suara Tuhan dan itu berarti sudah ribuan
tahun silam. Muncullah pilihan baru: mempercayai suara itu sebagai suara Tuhan
atau tidak.
Tapi coba perhatikan ini, yang membuat iman Abram unik: ia
memilih mempercayai suara itu dan siapa pun suara itu, Ia pasti tahu apa yang
akan terjadi di tanah Kanaan nantinya. Buat apa suara itu memintanya untuk
pergi kalau hanya untuk menjemput maut? Bersama suara itu ia merasakan semua
ketidakpastian beserta risiko di baliknya runtuh seketika. Dan karena suara itu
tahu segalanya, termasuk masa depan, maka ia memilih mempercayai suara itu
sebagai Tuhan.
Maka Abram berangkat. Ia memilih meninggalkan kenyamanan
hidup masa tuanya untuk menetap di Haran dan berangkat ke tanah Kanaan. Ia
menerobos risiko itu!
Setelah sampai ke Sikhem, suara itu kembali terdengar, “Aku
akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.”
Sudah sampai. Ternyata memang tidak seburuk seperti yang ada di
pikirannya. Ia memang tidak merasa rugi mengikuti suara itu, yang memang adalah
Tuhan. Maka ia membangun mezbah dan mengucap syukur.
Perjalanannya memang belum selesai. Masih banyak yang harus
ia hadapi di tanah Kanaan, mulai dari kelaparan, peperangan, sampai musibah
Sodom dan Gomora yang menimpa kemenakannya.
Ia bahkan tidak pernah meninggalkan kemah dan mendirikan
rumah tinggal tetap sepanjang sisa hidupnya di Kanaan. Rupanya, alih-alih
memilih keenakan menetap di Haran, ia lebih memilih keenakan mengembara di
tanah Kanaan.
* * *
Begitulah kisah Abram sang pengambil risiko. Mari kembali ke
pilihan sebelumnya. Jadi, milih A
atau B, nih?
“Ooo…, sekarang gue
ngerti! Nggak peduli mau milih
apa, yang penting gue terobos aja
risikonya (biar kelihatan lebih berani gitu)!”
Nggak juga! Itu mah sama
aja terjun tanpa parasut. Cari mati!
Iman yang berani mengambil risiko berarti iman yang
menyerahkan pilihan ke tangan Tuhan. Kita nggak
tahu masa depan kita seperti apa tapi Tuhan tahu. Masa depan mana, sih, yang nggak diketahui Tuhan? Dia yang rancang, kok.
Bersama Tuhan, apa yang tidak pasti menjadi pasti sehingga
risiko itu seolah tidak pernah ada. Menyerahkan pilihan ke tangan Tuhan dan
mempercayakan keputusan kita pada-Nya, itulah arti iman yang berani mengambil
risiko.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar