Setelah risiko, kuatir juga termasuk produk ketidakpastian di masa depan. Tapi
mungkin lebih tepatnya, kekuatiran itu muncul karena ketakutan seseorang ketika
mengambil risiko untuk masa depannya.
Takut, itu kata kuncinya! Takut gagal, takut rugi, takut
ditertawakan, takut dilecehkan, takut tidak dicintai, takut kalah, takut sakit,
takut celaka. Banyak banget daftar
ketakutan yang bisa kita buat.
”Okelah, gue ngambil A.
Gue udah meyakinkan diri gue untuk mengambil risiko dengan
memilih A. Gue udah ngejalaninnya,
tapi gue masih cemas dengan hasil
akhirnya. Berhasil atau gagalkah? Untung atau rugikah?”
Bayangkan, pilihan udah diambil pun, kekuatiran itu masih tetap ada! Sepertinya kekuatiran itu akan tetap menghantui hingga hasil akhirnya benar-benar muncul. Kita ambil contoh seorang mahasiswa.
Kalian yang duduk di bangku kuliah, alias mahasiswa, pasti
punya pilihan ketika tamat SMA, mau lanjut kuliah atau nggak? Kalau mau lanjut, mau pilih jurusan A, B, atau C? Fine, kalian berhasil mengatasi
tantangan pertama dengan memilih lanjut dan, katakanlah, kalian memilih lanjut
ke suatu jurusan tertentu. Semester pertama kalian ketemu teman-teman baru,
suasana baru, mata kuliah dan dosen-dosen dengan keunikannya masing-masing.
Lalu hasil IP pertama keluar dan tidak seperti yang kalian harapkan. Kekuatiran
mulai membayangi di belakang.
“Bagaimana dengan semester 2, 3, hingga terakhir? Bagaimana
kalau gue nggak mampu, harus
mengulang beberapa mata kuliah, dan lulusnya lebih lama dari teman-teman gue yang lain?”
Pilihan sudah kalian ambil, risiko sudah kalian tembus, tapi
kekuatiran masih mengekor di belakang. Hasil akhirnya hanya akan ada dua: bangga
ketika sukses, atau menyesal ketika gagal. Nah,
yang terakhir itu yang harus diminimalisir.
“Caranya? Keluar, gitu?
Yang bener aja! Mau jadi apa gue nanti? Orang tua gue udah
membiayai, masa gue harus
mengecewakan mereka?”
Nggak ada yang menyuruh kalian berhenti di tengah jalan! Kalau
dari awal kalian udah memiliki iman dengan menyerahkan setiap risiko pilihan
kalian ke tangan Tuhan,mengapa kalian tidak lanjutkan iman itu? Ingat, iman nggak boleh berhenti di tengah jalan,
sama halnya dengan Tuhan yang nggak
pernah ninggalin kita. Kalau kalian
memulainya dengan iman, pada perjalanannya pun kalian harus mengimani bahwa
Tuhan akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya.
Ia
membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan
dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang
dilakukan Allah dari awal sampai akhir. (Pkh
3:11)
Perhatikan ayat tersebut! Manusia memang nggak bisa menyelami semuanya dari awal hingga akhir. Tapi Allah
yang melakukan pekerjaan itu tahu! Jadi kalau kalian punya iman dan berjalan
bersama Allah, kekuatiran akan berhenti di pintu masuk dan nggak bakalan ngikutin jejak kalian.
Ada suatu tokoh yang selalu kuatir dalam perjalanan tugasnya.
Tapi ketika ia kuatir, ia selalu meminta petunjuk Tuhan, sehingga walaupun
jatuh bangun dengan semua kekhawatiran itu, ia tetap bisa mencapai kemenangan
bersama Tuhan.
* * *
Demi Tuhan dan Demi Gideon! (Hakim-hakim 6 & 7)
Siang itu ia sedang mengirik gandum di tempat pemerasan
anggur. Tempatnya sangat tertutup, ia berusaha sebisa mungkin
menyembunyikannya. Ia takut. Bukan, sebenarnya bukan hanya ia yang takut;
seluruh bangsanya takut terhadap orang Midian dan Amalek. Bangsa-bangsa dari
timur itu selalu menyerang saat panen tiba. Itulah mengapa ia mengirik dengan
sembunyi-sembunyi saat itu.
Alhasil, tidak seorang pun tahu tempat mengiriknya saat itu.
Tidak, kecuali satu, dan kini orang itu mendatanginya.
“Tuhan menyertai engkau, ya pahlawan yang gagah berani,”
katanya.
Gideon berhenti sejenak dari pekerjaannya. Ia memandangi
orang yang baru datang itu lalu tertawa.
“Haha…! Tuhan menyertai? Bagaimana Ia menyertai kalau kami
masih dijajah orang Midian? Apakah Ia menyertai kalau orang Midian itu datang
merampas hasil panen kami? Mana penyertaan-Nya kalau ternyata aku masih harus
mengirik dengan sembunyi-sembunyi?
“Kudengar penyertaan-Nya luar biasa ketika menuntuk kami
keluar dari Mesir. Tapi itu dulu. Sekarang? Sekarang Ia tidak menyertai kami
lagi. Lagipula jangan memanggilku pahlawan. Aku hanya pengecut yang sembunyi
dari penjajah itu.”
Orang itu hanya tersenyum.
“Betul. Pahlawan! Pergilah selamatkan bangsamu. Aku
mengutusmu! Tuhan menyuruhku mengutusmu.”
“Ah, aku? Dengan apa? Kenapa aku? Sukuku yang paling kecil di
Israel: Manasye. Dari semua keluarga yang ada di Manasye, keluargaku yang
paling kecil, dan di antara seluruh keluargaku, aku justru yang paling muda.
“Aku bukan siapa-siapa di bangsa ini. Mengapa kau tidak
mengutus yang lain saja, dari suku Yehuda, misalnya? Atau mengapa bukan
saudaraku? Sepupuku yang lain jauh lebih kuat dari aku.”
Kalau mau jujur, sebenarnya ia tidak suka menyatakan bahwa ia
tidak memiliki keberanian sama sekali. Tapi cuma itu pilihanya.
“Tuhan menyertaimu,” kata pendatang itu lagi. “Kalau Tuhan
menyertaimu, kau bisa melakukan apapun, betul? Atau kau sudah tidak percaya
lagi pada-Nya?”
Gideon merenungkan kata-kata itu. Ia memang percaya Tuhan,
tapi di sisi lain ia juga kuatir. Tugas itu terlalu berat baginya dan
kekuatirannya itu merapuhkan kepercayaannya pada Tuhan.
Gideon menarik napas dalam-dalam.
“Aku butuh tanda,” katanya. “Kalau kau memang utusan Tuhan,
tunggu di sini. Aku akan membawakan persembahan untukmu.”
“Aku akan menunggu.”
Gideon mengolah persembahannya dan membawanya kepada orang
itu. Sesuai permintaan orang asing itu, Gideon meletakkan semua persembahannya
di atas batu.
Orang itu menyentuh persembahan tadi dengan tongkatnya lalu,
tiba-tiba, keluarlah api yang membakar persembahan itu. Api itu mengejutkan
Gideon, membuatnya tersentak ke belakang dan memalingkan mukanya dari silau
nyala api yang muncul tiba-tiba itu. Ketika ia mengembalikan pandangannya ke
persembahan itu, orang asing tadi sudah tidak ada.
Ia benar melihat malaikat Tuhan, pikirnya. Aku pasti mati. Sebelumnya, belum pernah ada
orang yang melihat malaikat Tuhan dan tetap hidup.
Ia kembali merasa sendiri dan kekuatirannya kembali
menyergapnya dalam kesendiriannya itu.
Kamu
tidak akan mati, kata suara dari dalam
hatinya. Tuhan tidak mengutus orang untuk
mati. Tuhan menyertaimu.
* * *
Tugas pertama Gideon bukan berperang. Tugas pertamanya justru
mengembalikan bangsanya pada kepercayaan dan penyembahan yang semula, dan untuk
itu ia harus menentang kepercayaan ayahnya. Siapa yang tidak kuatir kalau harus
menentang kepercayaan orang tuanya, bahkan sampai merusak tempat peribadatan
pribadi ayahnya?
Gideon kuatir. Itulah mengapa ia melakukannya malam hari. Ia
takut melakukannya siang hari.
Anehnya, ketika seisi kota hendak menghukumnya karena
perbuatannya itu, ayahnya sendiri yang membelanya. Lihat, apa yang terjadi dari
semua yang dikuatirkan Gideon ketika ia disertai Tuhan? Tidak ada! Kekuatiran
itu hanyalah bayangan yang mengekor di belakang, yang bahkan tidak perlu
ditakuti sama sekali.
* * *
Tibalah saatnya untuk menyerang. Gideon mengumpulkan seluruh
rakyat bersamanya. Sakali inipun kekuatiran itu menyergapnya, bahkan lebih
parah!
Benarkah
aku diutus Tuhan? Benarkah Tuhan menyertaiku? Benarkah Tuhan akan memberiku
kemenangan? Pertanyaan ‘benarkah…’
berputar-putar dalam pikirannya. Maka ia membentangkan guntingan bulu domba itu
di atas tanah.
“Tuhan,” katanya, “kalau Kau benar menyertaiku, biarlah guntingan
bulu domba ini basah oleh embun, tapi tanah di sekitarnya tetap kering.”
Eksperimen yang aneh, tapi Tuhan paham. Ia tahu kondisi iman
Gideon yang sedang bertumbuh maka Ia pun menjawabnya.
“Tuhan, please
jangan marah. Aku akan mengulang percobaan yang sama, tapi biarlah yang terjadi
kebalikannya.”
Tuhan tidak marah. Sambil tersenyum, Ia mengerjakan keajaiban
terhadap guntingan bulu domba itu. Ia paham kondisi Gideon yang sedang belajar;
belajar meninggalkan kekuatirannya di belakang.
* * *
Singkat cerita, pasukan terkumpul dan setelah melalui proses
seleksi dari Tuhan, tinggallah tiga ratus orang yang siap berperang. Tiga ratus
melawan ribuan!
Tuhan sekali lagi memberikan ujian iman yang berat: bagaimana
Gideon meyakinkan dirinya dan tidak kuatir ketika pasukannya yang hanya tiga
ratus orang melawan musuh yang berkali lipat banyaknya. Untung Tuhan baik. Ia
tahu ujian ini mungkin akan terasa sangat berat bagi Gideon, maka ia memberikan
sedikit ‘bocoran soal.’
“Kalau kau masih merasa takut,” kata Tuhan, “turunlah
malam-malam ke perkemahan Midian dan dengarkan percakapan mereka.”
Betul. Gideon takut dan ia mengikuti petunjuk Tuhan. Setelah
diam-diam mendengarkan percakapan orang Midian, Gideon memperoleh keberanian.
Bagaimana tidak? Orang Midian, musuhnya sendiri, meramalkan kemenangan Gideon!
Maka Gideon naik, menyusun strategi, dan ketiga ratus orang
itupun bersorak, “Demi Tuhan dan demi Gideon!”
Mereka – Gideon dan Tuhan – kini berjalan bersama. Tuhan
tidak lagi berperang sendirian dan Gideon tidak lagi merasa ditinggalkan Tuhan.
Ia telah lulus ujian iman dan berhasil meningalkan kekuatirannya di belakang.
* * *
Perhatikan, berapa kali Gideon jatuh dalam kekuatiran? Tidak
usah dihitung! Yang jelas, ketika ia kuatir, ia selalu mengandalkan Tuhan.
Kekuatiran memang bukan sesuatu yang mudah ditinggalkan. Tapi
setiap kali kita kuatir, kita belajar dan setiap kali kekuatiran itu datang,
berdoalah: Waktu aku takut, aku ini
percaya kepada-Mu (Mzm 56:4). Kelak, kalau udah biasa, kita akan meningalkan kekuatiran itu tanpa kita sadari.
Sekali lagi, ngomong-ngomong
soal kekuatiran, Tuhan Yesus sendiri pernah berkata,” Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu
akan ditambahkan kepadamu.” (Mat 6:33)
Di mana pun jalur kalian sekarang – bangku sekolah, kuliah,
pekerjaan, menjalani pengobatan, pelayanan, dan sebagainya – Tuhan nggak mau kita kuatir soal hasil
akhirnya. Tuhan mau kalian mencari Kerajaan Allah, menemukan-Nya, dan berjalan
bersama-Nya.
Bersama-Nya kalian akan berjalan menuju kelulusan, prestasi,
kesuksesan, kesembuhan, dan lain-lain. Kalian masih menjalani ujian berat ini:
meninggalkan kekuatiran di belakang. Dan sambil menjalani ujian ini, kalian pun
bisa bersorak,” Demi Tuhan dan demi ______!” (kalian bisa sebutkan nama kalian
masing-masing!)
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar