Gadis kecil itu memandangi kolam
di hadapannya. Ia sangat tertarik. Ia ingin mencelupkan tangannya ke
dalam, tapi ia sangat takut. Ia sangat ingin walau sebentar saja.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri terdapat sungai kecil yang airnya mengalir dan bermuara ke kolam tersebut, membuat air kolam di sekitarnya beriak. Itulah yang membuat si gadis kecil takut: ia takut, tatkala ia mencelupkan tangannya, ia akan terseret riak air itu dan tercebur ke kolam. Ia tidak bisa berenang walaupun ia sendiri tidak yakin kolam itu dalam. Kemudian ia menghampiri ayahnya yang duduk membaca di kursi taman.
Ayahnya membawanya ke sisi kolam lain, dimana airnya lebih tenang dan tidak terganggu oleh muara sungai. Gadis kecil itu berdiri, masih ragu. Kemudian ayahnya berjongkok di sebelahnya, memegangi tangannya yang mungil.
"Tidak apa," kata ayahnya, "ada papa yang pegang tanganmu."
Gadis kecil itu pun berjongkok di sebelah ayahnya. Perlahan-lahan ia mengulurkan sebelah tangannya ke air sementara tangan satunya masih berada di genggaman ayahnya. Tangannya menyentuh permukaan air. Ia merasakan bagaimana jemarinya basah, menggenggam tetesan-tetesan air dengan tangan kecilnya, mengangkatnya, lalu memasukkan tangannya kembali ke air; suatu kesenangan tersendiri bagi gadis empat tahun itu. Perlahan ia mulai rileks dan menikmati kegembiraannya bermain air karena ia tahu ayahnya akan selalu ada di sisinya dan akan selalu menggenggam tangannya.
Setenang apapun air, ia tetap akan beriak walau mendapat sedikit goncangan; dan orang tetap tidak suka dengan goncangan, sekecil apapun itu.
Goncangan yang kecil. Diomeli atasan. Gaji dipotong. Prestasi menurun. Nilai ujian yang rendah. Kesehatan memburuk. Kesulitan keuangan. Ditinggal kekasih. Anak yang bandel. Pertengkaran rumah tangga. Dikhianati teman. Difitnah. Didengki. Dikucilkan. Kesepian. Merasa bersalah. Merasa tidak layak. Masih banyak lagi goncangan lainnya yang membuat air itu beriak. Kadang malah cukup deras, membuat tetesannya menggenangi pelupuk mata.
Seperti gadis kecil tadi, bagi beberapa orang, riak kecil saja sudah cukup menakutkan. Tapi selalu ada Bapa.
Ia membimbing aku ke air yang tenang. He leadeth me beside still waters.
26 Maret 1862, Joseph Henry Gilmore, seorang teolog, membahas Mazmur 23 di dalam kelasnya. Tetapi pada sesi itu, ia hanya bisa sampai ke kalimat 'He leadeth me....' Frasa itu memiliki makna yang sangat dalam baginya.
Joseph H. Gilmore |
Saat itu Amerika sedang dilanda perang saudara dan hal itu membuat riak-riak air bagi sebagian besar warga Amerika, tetapi tidak bagi Gilmore. Ia merasakan tuntunan Tuhan.
"...God's leadership is the one significant fact in human experience," kata Gilmore, "that it makes no difference how we are led, or whither we are led, so long as we are sure God is leading us."
Dan setelah kelasnya bubar, di ruangan yang sunyi itu, ia mengambil pensil dan mulai menulis:
He leadeth me, O blessèd thought!
O words with heav’nly comfort fraught!
Whate’er I do, where’er I be
Still ’tis God’s hand that leadeth me.
O words with heav’nly comfort fraught!
Whate’er I do, where’er I be
Still ’tis God’s hand that leadeth me.
Refrain:
He leadeth me, He leadeth me,
By His own hand He leadeth me;
His faithful follower I would be,
For by His hand He leadeth me.
By His own hand He leadeth me;
His faithful follower I would be,
For by His hand He leadeth me.
Dalam bait duanya, Gilmore mengungkapkan tuntunan yang ia alami, tidak peduli melalui ombak lautan atau bahkan pada air tenang sekalipun. Ia menulis:
Sometimes mid scenes of deepest gloom,
Sometimes where Eden’s bowers bloom,
Sometimes where Eden’s bowers bloom,
By waters still, over troubled sea,
Still ’tis His hand that leadeth me.
Still ’tis His hand that leadeth me.
Dan pada bait ketiga, ia berjanji akan selalu meletakkan tangannya dalam genggaman tangan Tuhan tanpa bersungut-sungut.
Lord, I would place my hand in Thine,
Nor ever murmur nor repine;
Content, whatever lot I see,
Since ’tis my God that leadeth me.
Since ’tis my God that leadeth me.
Bait keempat mengungkapkan tuntunan itu berlaku sepanjang hidupnya, bahkan hingga akhir hayatnya.
And when my task on earth is done,
When by Thy grace the vict’ry’s won,
E’en death’s cold wave I will not flee,
Since God through Jordan leadeth me.
Saat ini, kita bisa ikut menyanyikan lagu itu dengan terjemahan Bahasa Indonesia yang terdapat dalam Kidung Jemaat 410.
Tuhan selalu ada menuntun Anda menghadapi riak air itu, selama Anda pun mempercayakan diri pada tuntunan-Nya. Lalu, dengan menghadapi air di depan Anda, Anda pun akan mendengarkan Tuhan di sisi Anda berkata, "Tidak apa, ada Papa yang pegang tanganmu."
Tuhan selalu ada menuntun Anda menghadapi riak air itu, selama Anda pun mempercayakan diri pada tuntunan-Nya. Lalu, dengan menghadapi air di depan Anda, Anda pun akan mendengarkan Tuhan di sisi Anda berkata, "Tidak apa, ada Papa yang pegang tanganmu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar