Sensitivitas terhadap Tuhan (atau
dalam istilah saya, sensitivitas terhadap Yang Mahakuasa). Saya senang
dengan istilah ini dan sebenarnya saya masih baru-baru ini mendengarnya;
diperkenalkan oleh seorang kenalan saya, seorang teolog, dan seperti
biasa, saya selalu terbuka dan menerima hal-hal baru dengan senang hati!
Dia tampak sangat fokus dengan topik ini, atau paling tidak itulah yang
dapat saya tangkap dari beberapa hari pertemuan dan percakapan kami.
Apa itu 'sensitivitas terhadap Tuhan'? Saya senang dengan penjelasan kenalan saya ini, tapi dalam tulisan ini, saya akan mengemukakan penjelasan saya sendiri.
Sensitivitas terhadap Yang Mahakuasa (ini istilah saya sendiri, dimana saya mengganti kata 'Tuhan' dengan 'Yang Mahakuasa' untuk beberapa alasan khusus) adalah suatu perasaan yang timbul dalam diri setiap orang, yang membuat orang tersebut menyadari ada suatu 'oknum' yang lebih berkuasa darinya, dan bahwa ia juga menyadari kehidupannya tidak dapat sepenuhnya lepas dari campur tangan 'oknum' itu, atau bahkan menentangnya.
Definisinya terlalu rumit? Baiklah saya berikan beberapa contoh ilustrasi.
Katakanlah ada sebuah masyarakat yang tinggal di lereng gunung berapi. Kawasan itu tentunya subur. Mereka hidup dengan bercocok tanam di lahan yang subur itu. Keadaannya sangat tenteram hingga kemudian terjadi musibah: gunung berapi itu meletus! Abu vulkanik menutupi lahan mereka dan sebentar lagi mereka akan terancam gagal panen. Belum lagi masalah lahar panas yang keluar dan membuat masyarakat tersebut harus mengungsi. Banyak urusan menjadi terbengkalai. Terlebih lagi, mereka harus meninggalkan rumah mereka dengan membawa barang seperlunya yang sanggup mereka bawa saja. Keadaan serba tidak mengenakkan. Itupun belum termasuk korban yang akan jatuh akibat menghirup udara yang tercemar debu vulkanik atau mungkin karena terlambat mengungsi.
Masyarakat ini lalu berpikir: ada 'pihak' yang lebih berkuasa, yang mengganggu ketenteraman mereka. Karena sumber gangguannya dari gunung berapi, maka mereka menganggap gunung berapilah 'pihak' itu. Akhirnya, setelah bencana berakhir, mereka berbondong-bondong membawa persembahan untuk menenangkan si 'pihak' yang berkuasa, agar tidak mengganggu ketenteraman mereka lagi. Budaya mereka mengajarkan mereka untuk tunduk pada orang yang lebih berkuasa, seperti raja, dengan membawa persembahan kepada raja tersebut. Hal yang sama mereka lakukan pada si gunung berapi. Terciptalah sebuah ritual membawa sesajen untuk dipersembahkan di gunung berapi tersebut.
Itulah sensitivitas terhadap Yang Mahakuasa, dimana dalam ilustrasi tadi, 'Yang Mahakuasa' bagi masyarakat tersebut adalah si gunung berapi.
Atau mari kita coba ambil contoh yang lebih modern. Seorang pemain saham di pasar modal tentunya memiliki pengetahuan-pengetahuan tertentu, misalkan tentang saham-saham apa saja yang harus dibeli, yang mana yang harus dijual, kapan belinya, kapan jualnya, dengan harga berapa, lot- (satuan saham; 1 lot = 500 lembar saham) nya berapa, dan seterusnya. Tapi setiap pemain saham pasti tahu ada risiko dan ia tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pengetahuan belaka. Bisa saja ia sudah mengusahakan yang terbaik, tapi ternyata ia rugi, atau malah sebaliknya, ia tidak mengharapkan untung besar, tapi yang datang malah lebih dari yang ia bayangkan. Kalau begitu, ada pihak yang lebih berkuasa, yang mengatur semuanya! Pihak itu bukan spekulan lainnya, atau pengawas pasar modal. Alih-alih, ia bisa menyebut pihak itu sebagai 'keberuntungan'. Ia bisa berusaha semaksimal mungkin, meminimalisir setiap risiko, tapi tetap saja akan selalu ada risiko; dan bagi si pemain saham, yang mengendalikan sisanya adalah 'keberuntungan'. Baginya, 'Yang Mahakuasa' adalah 'keberuntungan'.
Dua ilustrasi di atas sudah cukup menjelaskan definisi 'Sensitifitas terhadap Yang Mahakuasa,' dimana selalu ada 'oknum,' yang dihadapannya manusia merasa tidak berdaya dan akan selalu dan sepenuhnya bergantung pada 'oknum' tersebut.
Nah, dalam konteks keagamaan, 'Yang Mahakuasa' bagi orang-orang beragama adalah Tuhan. Itulah mengapa saya kurang sependapat dengan istilah 'Sensitivitas terhadap Tuhan,' karena Yang Mahakuasa itu bagi beberapa orang tidak selamanya Tuhan; orang-orang ateis pun bisa memiliki 'Yang Mahakuasa' mereka sendiri.
Lalu apa hubungan semua ini dengan iman? Bukankah tulisan ini akan membahas iman? Tahan pertanyaan itu dulu! Saya akan mengajak kita semua untuk merenungkan pertanyaan berikut ini: jika kita sebagai Orang Kristen memiliki sensitivitas terhadap Tuhan, atau lebih tepatnya, sensitivitas terhadap Allah Tritunggal, lalu bagaimana Anda kemudian dapat membuktikan bahwa benar-benar ada sosok Allah yang menguasai seluruh aspek kehidupan Anda?
Bingung dengan jawabannya? Itulah iman.
Saya teringat sebuah pertanyaan dari seorang teman yang dilontarkannya melalui status Twitternya. Saya sudah lupa bagaimana pasnya, tapi kurang lebih bunyinya sebagai berikut: "Disebut apakah suatu keadaan jika kita tidak tertarik untuk mempertanyakan sesuatu yang sudah diyakini?" Sayang pemahaman saya ketika itu belum sampai sejauh ini, tapi kalau masih diberi kesempatan untuk menjawabnya, saya akan menjawabnya dengan satu kata: iman.
Ya, itulah iman. Anda tidak perlu berteriak-teriak, "Saya percaya Tuhan yang bla bla bla..., saya punya buktinya: kitab suci saya mengatakan ini, itu, dan seterusnya...."
Kalau demikian, Anda hanya akan ditertawai oleh penganut keyakinan lainnya, karena mereka pun memiliki kepercayaan yang mereka imani sesuai prinsip dan ajaran kitab suci mereka.
Iman tidak perlu Anda nyatakan dengan suara nyaring kepada orang lain. Sebaliknya, iman cukup perlu Anda nyatakan dalam hati bahwa, ya, Anda betul-betul percaya. Tidak peduli apa kata orang, tetapi inilah yang saya percayai! Itu jugalah yang mendasari beberapa Gereja menyatakan Pengakuan Iman Rasuli, yang diawali dengan, "Aku percaya...."
Menurut saya, definisi iman yang sangat pas sudah dikemukakan oleh penulis Surat Ibrani: "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibr 11:1)
Walaupun definisi ini terdapat dalam Alkitab yang adalah Kitab Suci Kristiani, tapi menurut saya, definisi ini berlaku secara universal. Penganut keyakinan lain memiliki kepercayaan dan pengharapan yang dasarnya ada dalam ajaran mereka; mereka juga memiliki sensitivitas terhadap Tuhan mereka masing-masing, yang walaupun tidak dapat dibuktikan, tapi mereka percayai. Dasar dan bukti itulah iman mereka.
Jadi apa gunanya kita berdebat antar kepercayaan satu sama lain, kalau dasarnya saja berbeda? Sebaliknya, kita juga tidak dapat mencampuradukkan antar kepercayaan karena masing-masing jelas-jelas memiliki dasar yang berbeda-beda.
Ada sebuah lelucon di kalangan pelajar, dimana ketika guru/dosen mereka memberikan soal ujian yang berbunyi, "Jelaskan pendapat Anda mengenai...!" dengan guyonan, para pelajar akan mengatakan, "Jawaban saya ini tidak bisa disalahkan. Toh ini kan pendapat saya; kalau guru/dosennya memiliki pendapat berbeda, ya, silakan, tapi inilah pendapat saya, dan saya tidak terima kalau nilai ujian saya buruk gara-gara jawaban pertanyaan ini disalahkan!"
Seperti itu jugalah interaksi kita dengan penganut keyakinan lain. Ketika didebat, kita akan menjawab: inilah pendapat saya, ini kepercayaan saya, inilah iman saya!
Lantas apakah dengan demikian, kita diam saja dengan iman yang kita miliki? Tidak begitu juga. Kita tetap bisa menjadi saksi tanpa perlu berpidato dan berkhotbah panjang lebar mengenai iman kita. Kita dapat menjadi saksi iman melalui perbuatan dan tindakan kita.
Perhatikan contoh saksi-saksi iman yang diberikan Surat Ibrani 11, mereka semua menyaksikan iman mereka melalui tindakan dan perbuatan.
"Karena iman maka Habel telah mempersembahkan...."
"Karena iman maka Nuh dengan taat mempersiapkan bahtera...."
"Karena iman Abrahan taat...."
"Karena iman maka Yakub ... memberkati...."
"Karena iman maka..."
...meninggalkan Mesir
...mengadakan Paskah
...melintasi Laut Merah
...menyambut pengintai-pengintai
...menaklukkan kerajaan-kerajaan
...mengamalkan kebenaran
dan, wah, masih banyak lagi! Mereka menjadi saksi-saksi iman dengan perbuatan mereka! Maka kata siapa kita tidak bisa menjadi saksi kalau tidak berkhotbah dan berbicara panjang lebar mengenai kepercayaan kita? Para pendahulu kita sudah menunjukkannya.
Jadi, ketika kita memiliki sensitivitas terhadap Tuhan sebagai Orang Kristen, kita memiliki pengharapan akan janji-janji Tuhan tersebut. Imanlah dasar dari pengharapan itu, dan sekalipun kita tidak memiliki bukti tentang sosok Tuhan yang kita percayai, imanlah yang akan menjadi buktinya. Dan iman itu bukan sesuatu yang mutlak harus kita wartakan secara lisan, tetapi esensi iman akan lebih nyata dari tindakan dan perbuatan kita sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar