Konon, zaman dulu, orang mengenal bangsa ini sebagai bangsa yang melimpah dengan kekayaan alam, sehingga banyak bangsa-bangsa lain yang berebut ingin menguasainya. Seiring berjalannya waktu, dengan perjuangan berat, bangsa ini akhirnya merdeka menjadi suatu negara mandiri. Alangkah menyenangkannya memiliki pemerintahan sendiri, dibandingkan diperintah sebagai koloni-koloni jajahan bangsa lain.
Hingga tiba pada suatu masa, bertahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaannya -- tahun-tahun itu telah berlalu sangat lama, sampai-sampai orang-orang sudah melupakan arti perjuangan sebenarnya mencapai kemerdekaan -- pada masa itu, bangsa ini dipimpin oleh pemerintah yang terkenal memiliki reputasi yang buruk di mata rakyatnya. Begitu banyak praktik korupsi di pemerintahan, sampai-sampai ada stereotip tersendiri yang mengidentikkan pemerintah sebagai koruptor. Kekayaan alam yang dulu dibangga-banggakan mulai beralih menjadi kekayaan pemerintah.
Tapi pada masa itu juga, muncullah seorang pendeta dengan pemikirannya yang revolusioner. Pemikiran-pemikirannya membuat dia tidak disenangi oleh beberapa pemuka agama dan pendeta lainnya, tapi di satu sisi, ia memiliki cukup banyak pengikut. Orang-orang meramalkan bahwa pendeta inilah yang akan membangun pemerintah yang lebih baik, membawa bangsa ini keluar dari pemerintah yang menjajah rakyatnya sendiri.
Sementara itu, pemuka agama dan pendeta lainnya berusaha mencari cara untuk menjatuhkan si pendeta ini. Mereka tahu rakyat menaruh harapan besar padanya untuk merombak pemerintah yang sudah ada dan membangun pemerintahan yang lebih baik, hanya saja, sejauh pandangan mereka, si pendeta tidak pernah melakukannya terang-terangan. Maka mereka berusaha agar si pendeta mengakui kebenciannya pada pemerintah dan dengan demikian menjadikannya musuh pemerintah (melalui cara ini, dendam atas kebencian mereka selama ini bisa terbalaskan).
Memenuhi misi mereka itu, diutuslah mata-mata menghadiri satu sesi pengajaran si pendeta. Pada giliran tanya jawab, mata-mata ini mulai mengajukan pertanyaan yang diharapnya bisa menjebak si pendeta dan menjadikannya musuh pemerintah.
"Guru," kata si mata-mata memulai pertanyaannya, "kami tahu, bahwa segala perkataan dan pengajaranmu benar dan engkau tidak mencari muka, melainkan dengan jujur mengajar jalan Allah. Engkau tahu bagaimana kondisi pemerintah kita sekarang, dengan korupsi yang mereka lakukan, dan itu termasuk uang pajak yang kita bayarkan, yang mereka korupsi.
"Sekarang, apakah kami diperbolehkan membayar pajak kepada pemerintah atau tidak?"
Mereka berharap si pendeta akan memberikan jawaban yang menentang pemerintah. Tetapi pendeta ini mengetahui maksud mereka yang licik itu.
"Tunjukkanlah kepadaku selembar rupiah," katanya.
Orang terdekat mengeluarkan dompetnya dan memberikan padanya selembar uang seribu rupiah.
Ia mengangkat uang itu tinggi-tinggi di hadapan mereka dan bertanya, "Tandatangan siapakah yang ada pada uang ini?"
"Tandatangan Gubernur Bank Indonesia," jawab mereka.
"Bank Indonesia adalah wakil pemerintah di bidang moneter, maka berikanlah kepada pemerintah apa yang wajib kamu berikan kepada pemerintah," katanya sambil mengembalikan rupiah itu kepada pemiliknya, "dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah," sambungnya lagi.
Menarik, bahwa di tengah kegagalan pemerintah saat itu, pendeta ini bisa menenangkan rakyat dan mengajak mereka untuk tetap taat kepada pemerintah.
Pada zaman Romawi kuno, seorang bernama Paulus juga pernah menulis surat kepada teman-temannya di kota Roma, ibukota Romawi zaman itu. Ia menulis:
Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang ada di atasnya....
Tidak mudah mengatakan hal itu. Semua orang tahu bagaimana sikap Kaisar-kaisar Romawi jaman itu. Mereka memperkaya diri sendiri, berpesta dan berhura-hura, sementara di luar istana, ribuan rakyat mereka sengsara dan mengalami kemiskinan. Tapi tetap saja mereka diwajibkan membayar pajak kepada Kaisar! Dan orang-orang yang melawan dapat diancam hukuman mati. Tapi tetap saja Paulus menulis:
Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang ada di atasnya....
Tapi ternyata dalam lanjutannya ia menulis:
...sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.
Paulus tidak membela pemerintahan yang bobrok, tetapi ia membela Allah yang menetapkan pemerintah itu. Seburuk apapun kondisi pemerintah yang ada, ia tetap berusaha menghormatinya, demi Allah! Dan di akhir poin suratnya tentang pemerintah, ia menulis:
Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat.
Sama seperti yang si pendeta ajarkan dalam kisah di atas, bahwa selain kewajiban kepada pemerintah, kita juga tidak boleh melupakan kewajiban kepada Allah; dan salah satu kewajiban kita kepada-Nya adalah menghormati-Nya, melalui rasa hormat kepada pemerintah yang ditetapkan-Nya.
Lalu bagaiman solusi terhadap pemerintahan yang buruk seperti ini? Ah, jangan selalu menyalahkan pemerintah tanpa mengintrospeksi diri kita sendiri. Bisa jadi pemerintah seperti ini diangkat Tuhan karena banyaknya dosa kita, sama seperti Ia menggunakan Nebukadnezar terhadap Yehuda. Paulus juga menulis:
Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia (pemerintah), karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat.
Kalau ternyata pada pandangan-Nya, pemerintah yang ada sudah keterlaluan dan bertindak di luar batas, Ia yang mengangkat, maka Ia pun yang akan menurunkannya. Kita hanya fokus pada tugas kita: menghormati pemerintah sebagaimana kita menghormati Tuhan, sambil terus membawa mereka dalam doa-doa kita.
Catatan penulis:
Kisah di atas terinspirasi dari Lukas 20:20-26 dan ayat-ayat tulisan Paulus dari Roma 13:1-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar