Minggu, 14 Agustus 2011

Gereja di Indonesia: Berkembang atau Pecah?

Dengan jumlah denominasi gereja yang ada di Indonesia saat ini, apakah sebenarnya gereja-gereja sedang berkembang atau malah pecah?

Pertanyaan reflektif ini pernah diajukan oleh dosen Pendidikan Agama Kristen (PAK) saya ketika saya berkuliah di semester 1. Sampai sekarang pertanyaan itu masih membekas di benak saya.

Berbicara tentang perbedaan denominasi gereja, kita sering menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan; takut memicu perselisihan. Apa benar demikian? Atau jangan-jangan kita hanya pura-pura tidak membicarakannya, memendamnya, seolah-olah topik seperti itu tidak pernah ada, padahal dalam hati kita masih saling membandingkan perbedaan tersebut satu sama lain, masih menganggap golongan kita yang benar sendiri?



Contoh nyata yang mudah terlihat dalam kehidupan keseharian kita: ketika gereja-gereja saling 'rebutan' jemaat satu sama lain.

"Ibadah di gerejaku aja, ruang ibadahnya lebih bagus, sound system-nya lebih oke, pendetanya juga keren-keren."

"Eh, jangan ibadah di situ; gerejanya nggak jelas. Bikin gereja, kok, di mall?"

Bukankah hal-hal seperti itu yang sering kita dengar? Menyedihkan. Ketika gereja-gereja memenuhi ruang ibadahnya dengan jemaat-jemaat yang 'direbut' dari gereja lain, lantas bagaimana dengan perkembangan kekristenan secara keseluruhan? Nihil!


Saya pernah mendengar kesaksian seorang pendeta dari atas mimbar, dimana ia menceritakan pengalamannya ketika melakukan perjalanan ke luar kota menggunakan kereta. Di kereta itu, ia duduk bersebelahan dengan seorang asing, yang ternyata adalah orang Kristen juga. Orang asing tadi memperhatikan bahwa si pendeta membaca buku rohani Kristen.

"Anda orang Kristen juga?" tanyanya.

"Ya."

Mereka bercakap-cakap cukup lama, lalu tibalah pada salah satu pertanyaan si orang asing.

"Anda anggota gereja mana?"

"Saya anggota gereja anu," jawab si pendeta, tanpa menjelaskan lebih lanjut bahwa ia bukan hanya sekadar anggota jemaat biasa, tapi juga pendeta!

Tanggapan yang diterimanya ternyata sangat mengejutkan.

"Wah, sayang sekali! Saya senang bercakap-cakap dengan Anda, tapi di gereja Anda tidak ada Roh Kudusnya."

Apa?! Jadi sekarang kita bisa dengan mudahnya menilai ada atau tidaknya Roh Kudus dalam suatu gereja?

Kisah di atas merupakan satu dari sekian banyak contoh yang membuat kita tidak mau membicarakan perbedaan denominasi gereja; seperti yang telah saya jelaskan di atas: tidak mau memicu perselisihan. Ketika saya ditanya saya anggota gereja aliran mana, saya akan menjawab demikian:

Saya dilahirkan, dibesarkan dan dididik dalam keluarga penganut aliran Calvinist, dibaptis percik pada usia sekian bulan di suatu gereja Protestan konservatif beraliran Calvinist, setelah dewasa mengaku Sidi di gereja yang sama, hingga sekarang, ketika saya merantau dari kota kelahiran saya, saya tetap menjadi anggota jemaat salah satu gereja Protestan konservatif yang beraliran Calvinist.

Hanya itu?

Tidak hanya itu!


Lantas?

Yaah, enam tahun SD saya lalui di Sekolah Dasar Katolik, mendapatkan pelajaran Pendidikan Agama Katolik di sana; sejak kecil, orang tua saya memasukkan saya bersekolah Minggu di suatu gereja dengan aliran Reformed Injili, hingga usia SMP saya masih mengikuti persekutuan remaja di sana; ketika SMA, saya mendapatkan pelajaran Pendidikan Agama Kristen (PAK) dari seorang guru agama yang juga adalah Kepala Sekolah Alkitab Pantekosta (dari sana saya mengenal aliran Pantekosta); lalu sejak kuliah hingga sekarang, saya aktif pelayanan di gereja Kharismatik tanpa meninggalkan pelayanan utama saya di gereja tempat saya terdaftar sebagai anggota.


Jadi, ketika ditanya: saya anggota gereja aliran mana, Anda bisa simpulkan sendiri dari pengalaman saya: ya, saya menerima semua aliran gereja mana pun.

Aada batasannya?

Tentu saja!


Guru PAK saya ketika SMA, orang sama dengan yang saya sebutkan sebelumnya, pernah berkata sambil mengangkat Alkitabnya, "Kalau saya mengajar di luar daripada ini, anggap saja saya menyebarkan ajaran sesat!"

Pengalaman pelayanan saya di berbagai aliran gereja mengajarkan saya bahwa masing-masing gereja memiliki dasar Alkitabiahnya masing-masing dalam melaksanakan ibadahnya. Jadi, tidak bisa seenaknya menilai suatu gereja hanya untuk mencari pembenaran bagi gereja kita sendiri; toh, mereka juga berdasar pada Alkitab, kok. Itulah yang saya sebut sebagai batasan: selama sebuah gereja masih berpegang pada ajaran Alkitab, saya tetap akan mengikutinya, apapun alirannya.

Apa perbedaan yang kerap menyebabkan pertentangan?

Dari pengalaman saya, perbedaan nomor satu yang dilihat orang-orang adalah dari tata ibadahnya. Orang-orang dari kalangan konservatif kurang nyaman dengan tata cara ibadah Pantekosta dan Kharismatik, dengan segala jenis keriuhan ibadah mereka: musik yang menggebu-gebu, tepuk tangan, bahasa Roh. Di sisi lain, orang Kharismatik merasa ibadah gereja Protestan mainstream pada umumnya membosankan: sunyi, lagu-lagu himne kuno dengan hanya diiringi organ, dan sebagainya.

Perbedaan berikutnya yang dilihat sebagian besar orang adalah dari sisi ajarannya; hal ini jelas berbeda: masing-masing aliran memiliki doktrinnya sendiri-sendiri. Tapi tetap seperti yang saya katakan di atas, toh, semuanya berpegang pada Alkitab, hanya saja masing-masing melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Sebuah ilustrasi sederhana

Berbicara soal perbedaan denominasi, saya senang menggunakan ilustrasi tentang makanan. Orang-orang di Eropa Barat makan steak yang disajikan di atas piring lebar menggunakan garpu dan pisau, sementara di Asia Timur, orang-orang memakan mie menggunakan mangkuk dan sumpit. Di negeri kita sendiri, kita sudah terbiasa dengan nasi yang disajikan di atas daun pisang dan dimakan menggunakan tangan.

Ketika kita, Orang Indonesia berkunjung ke Eropa dan menemukan makanan seperti di atas, kita tidak bisa berkata, "Saya tidak mau makan! Cara makan mereka aneh."

Begitu juga ketika Orang Eropa berkunjung ke Negeri Cina, mereka tidak bisa berkata, "Saya tidak mau menggunakan sumpit; alat makan aneh macam apa ini?"

Bagaimanapun cara mereka makan, toh, mereka tetap saja makan; mereka tetap mendapatkan nutrisi dari apa yang mereka makan itu.

Perbedaan gereja-gereja juga kurang lebih seperti itu: cara beribadah masing-masing boleh berbeda, tapi tetap saja tujuannya sama, yang disembah adalah Yesus yang sama, semuanya sama-sama memperoleh makanan rohani.

Menyinggung masalah perbedaan ajaran dan doktrin, menurut saya, kita hanya berbeda dalam cara pandang kita terhadap Allah. Kita sebagai manusia yang hanyalah ciptaan biasa dan terbatas mencoba memahami Allah Sang Pencipta yang luar biasa dan tak terbatas. Hasilnya, ya, masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda-beda.

Kita tidak bisa menghakimi ajaran denominasi lain menyimpang dan hanya ajaran aliran kita yang benar; itu namanya egois. Seperti yang selalu saya tekankan di atas: kita menyembah Yesus yang sama, berdasar pada Alkitab yang sama. Kita semua tidak akan pernah tahu kebenarannya sebelum kita sama-sama ketemu Tuhan di sorga nanti.

Jadi...?

Lebih baik kita yakin dan memegang teguh apa yang kita yakini saat ini, tanpa mempersoalkan perbedaan tersebut. Lagipula yang berbeda kan hanya cara pandang kita saja, Yesusnya tetap sama. Yesus pernah mendoakan kesatuan kita, jangan sampai sekarang kita malah sibuk mencari perbedaan satu sama lain.

Max Lucado, dalam bukunya No Wonder They Call Him the Savior mengomentari Yohanes 17:21 demikian:
"May they all be one," Jesus prayed.
One. Not one in groups of two thousand. But one in One. One church. One faith. One Lord. Not Baptist, not Methodist, not Adventist. Just Christian. No denominations. No hierarchies. No traditions. Just Christ.
Peran Gereja sangat dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Katanya kita mau menjadi berkat bagi sesama kita. Katanya kita mau menjadi garam dan terang dunia. Katanya kita mau menjalankan Amanat Agung. Tapi bagaimana semua itu bisa kita lakukan kalau urusan internal kita sendiri masih seperti ini?

Merasa sulit? Tidak akan ada yang sulit selama kita terbuka dan mau menerima perbedaan satu sama lain.

Pada akhirnya, pertanyaan di atas kembali terulang. Tidak hanya sampai akhir tulisan ini, tapi dalam kehidupan bergereja kita sehari-hari, kita tetap merenungkan:

Dengan jumlah denominasi gereja yang ada di Indonesia saat ini, apakah sebenarnya gereja-gereja sedang berkembang atau malah pecah?

Kita yang menentukan jawabannya.

Tidak ada komentar: