"Satu, dua, tiga, ....
"96, 97, 98, 99...."
Ia masih belum yakin. Ia mengeluarkan mereka semua dan menghitung ulang sembari mereka masuk satu per satu.
"Satu, dua, tiga, ....
"96, 97, 98, 99...."
Ia tidak percaya ini. Harusnya ia memiliki seratus ekor domba, tetapi setelah menghitung dua kali, hanya ada 99. Ia yakin ia tidak mungkin salah hitung. Ke mana yang satu?
Ia memandang ke barat, matahari sudah hampir terbenam. Ia ragu, apakah harus merelakan yang satu itu, atau meninggalkan yang 99 ini dalam kandang darurat di padang lalu pergi mencari satu yang hilang.
Akhirnya ia memilih keputusan yang terakhir. Tidak pantas ia disebut gembala kalau membiarkan satu pun dombanya hilang tanpa alasan. Setelah memastikan kandang darurat sementara untuk yang 99 aman, maka ia pergi mencari yang satu. Perlahan matahari mulai turun dan langit mulai gelap.
* * *
Awalnya si domba hanya menoleh sedikit ke kanan dan menemukan ada sesuatu yang menarik di rerumputan sebelah kanan. Ia pun menyimpang ke kanan dari jalur si gembala. Sebentar saja, pikirnya, lalu setelah puas ia akan kembali ke jalur gembalanya dan teman-temannya yang lain.
Tapi ternyata tidak. Ia terlalu asyik ke kanan, menerobos semak terlalu jauh ke arah hutan. Berhenti sejenak, ia menikmati dua, tiga helai daun, lalu ia penasaran untuk terus maju, menemukan dedaunan yang lebih nikmat lagi. Ia tidak menyadari kalau sekitarnya sudah mulai senyap dan ia tertinggal sendirian.
Tidak..., ia tidak menyadarinya. Tidak pula terganggu dengan terbenamnya matahari dan semakin gelapnya langit. Penglihatannya semakin kabur dengan berkurangnya sinar matahari, tapi peduli amat, selama masih ada daun yang nikmat di hadapannya, tidak masalah baginya.
* * *
Dengan bermodalkan obor di tangan kanan dan tongkat gembala di tangan kiri, si gembala menyurusi ulang jejaknya tadi. Ia mengira-ngira di titik mana si domba mulai terpisah dari kawanannya.
Apakah dombanya jatuh ke jurang, ia bertanya-tanya. Ah, kalau ternyata jatuh, ia pasti mendengar suaranya dan tahu.
Atau mungkin dombanya terseret arus sungai dan tenggelam? Tidak mungkin! Ia kenal semua sifat dombanya satu per satu; tidak ada di antara mereka yang berani mendekat ke air kalau tidak ditemani oleh sang gembala.
Kalau bukan di tebing dan di sungai, maka pilihan terakhirnya adalah hutan. Maka ia memilih untuk menerobos hutan malam itu.
Menerobos hutan malam hari memang bukan sesuatu yang mudah. Berulang kali tangannya harus tergores tanaman berduri hanya karena ia tidak melihatnya.
Suatu kali juga kaki kanannya terperosok ke dalam lubang setinggi setengah betis sehingga ia menjatuhkan tongkat dan obornya. Obor itu padam. Ia tidak punya pilihan selain berjalan tanpa cahaya malam itu. Kaki kanannya yang terjatuh tadi memar terbentur sesuatu di dalam lubang, sementara sendi pergelangan kaki kirinya nyeri, tidak mampu menahan ketidakseimbangan yang tiba-tiba ketika kaki kanannya terperosok tadi. Ia bangkit, meraih tongkatnya, lalu melanjutkan perjalanan dengan terpincang.
* * *
Si domba diam kaku di tempatnya karena matanya tidak dapat melihat apa-apa di tengah kegelapan malam itu. Ia merebahkan diri dan berbaring. Nalurinya mengajarkannya untuk tidak melakukan aktivitas di kegelapan malam selain tidur. Ia berpikir akan melanjutkan menyantap dedaunan lezat di sekitarnya itu setelah matahari terbit.
"Mbeeek...." Ia melampiaskan semua kelelahannya seharian dengan satu denguhan itu, lalu tertidur. Tetapi ia tidak menyadari bahaya yang mengancamnya sedang mendekat.
* * *
Ternyata sang gembala mendengar denguhan itu. Tidak salah lagi, itu pasti dombanya! Ia mengikuti arah suara itu. Ia sangat senang, sampai-sampai tidak menghiraukan lagi memar di kakinya dan ranting-ranting tajam yang masih saja menggores-gores kulit tangannya.
Matanya lambat laun sudah bisa menyesuaikan dengan gelapnya malam. Dan itu dia, ia bisa melihatnya! Makhluk putih kecil sedang berbaring di tengah rimbunan semak.
Tapi tunggu dulu. Ia juga melihat sesosok makhluk lain di kejauhan: seekor serigala yang juga mengincar domba itu.
Serigala dan gembala saling menatap. Di tengah mereka berbaring si domba untuk diperebutkan.
Si gembala maju selangkah, disusul geraman dari si serigala.
Maju selangkah lagi.
Geraman lagi.
Si gembala menggenggam erat tongkatnya, bersiap menyerang kapan pun. Serigala juga menguatkan pijakan kaki belakangnya, bersiap menerkam kapan pun.
Langkah ketiga, si gembala mengangkat tongkatnya.
Satu geraman lagi dari si serigala, tetapi melihat tongkat yang terangkat, ia mengendorkan pijakan kaki belakangnya dan mundur selangkah.
Bagus, terus pertahankan seperti ini. Terus takuti dia.
Langkah keempat, si gembala mengayunkan tongkatnya. Masih sangat jauh, sebenarnya, dari sasaran, tapi si serigala ikut mundur karena kaget.
Ternyata tindakan itu membuat serigala meloncat dan melakukan serangan. Ia tidak peduli lagi pada si domba, ia bisa menyantapnya setelah mengalahkan manusia ini. Malah ia berpikir, siapa tahu bisa menyantap daging mereka berdua!
Si gembala tidak siap dengan serangan mendadak itu. Ia sempat menyingkir ke samping, tapi tetap saja cakar si serigala mengenai perutnya, menyobek bajunya dan meninggalkan bekas cakaran. Si gembala meringis sejenak. Si serigala bersiap untuk serangan berikutnya.
Si gembala paham kalau si serigala menginginkan pertempuran. Maka tanpa pikir panjang lagi ia pun menyerang. Ia mengayunkan ujung tongkat yang bentuknya menggulung bulat padat ke arah serigala. Si serigala berhasil menghindar.
Beberapa ayunan tongkat, lalu si serigala menerkam lagi. Ayunan tongkat lagi. Terkaman lagi. Cakaran lagi.
Si serigala sebenarnya bisa menang. Beberapa kali serangannya masuk, walaupun cuma cakaran. Sementara tidak ada satupun serangan si gembala yang kena.
Hingga tiba ayunan tongkat final. Kepala tongkat yang bulat dan padat itu menghantam rahang si serigala dan membuatnya terlempar ke samping, rebah.
Beberapa detik kemudian ia bangkit, menggelengkan kepalanya yang masih sakit akibat pukulan tadi, menatap marah pada si gembala sambil mengeluarkan geraman terakhirnya. Perlahan ia melangkah mundur, semakin jauh, jauh, hingga ia berbalik lalu berlari meninggalkan tempat itu.
Si gembala menoleh ke arah si domba yang masih terlelap. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Si gembala menghembuskan napasnya dengan berat. Betapa perjuangannya yang sulit hanya untuk menemukan satu domba yang tersesat ini. Tanpa menunggu lagi, ia menggendong dombanya lalu berjalan kembali ke arah padang, tempat 99 domba lain sudah menunggu.
Sinar fajar sudah muncul ketika ia hampir mendekati padang. Kini si gembala bisa memperhatikan dirinya dengan jelas. Memar di kaki kanan, sendi yang nyeri di kaki kiri, goresan-goresan dahan di tangannya dan bekas-bekas cakaran serigala di perut dan pinggangnya -- beberapa di antaranya mengeluarkan darah.
Si domba terbangun. Ia sudah berada di tangan gembalanya. Ia tahu ia tidak lagi sendiri, tapi ia tidak akan pernah paham perjuangan gembalanya dalam menemukannya, perjuangan gembalanya melepaskannya dari maut. Ia hanya bisa mengembik, "Mbeeek...."
Selesai
* * *
Catatan penulis:
Kisah ini terinspirasi dari Matius 18:12-14. Terkadang kita sama polosnya seperti domba ini: selalu hanya mementingkan kesenangan pribadi saja, selama masih bisa 'makan,' tidak masalah. Tapi kita tidak pernah paham bagaimana perjuangan Sang Gembala dalam menyelamatkan kita agar kita bisa tetap hidup, agar kita bisa bersama-Nya, agar kita bisa berkumpul lagi dengan ke-99 yang lain, agar kita bisa 'makan' lagi.
"Mbeeek...."
Kisah ini terinspirasi dari Matius 18:12-14. Terkadang kita sama polosnya seperti domba ini: selalu hanya mementingkan kesenangan pribadi saja, selama masih bisa 'makan,' tidak masalah. Tapi kita tidak pernah paham bagaimana perjuangan Sang Gembala dalam menyelamatkan kita agar kita bisa tetap hidup, agar kita bisa bersama-Nya, agar kita bisa berkumpul lagi dengan ke-99 yang lain, agar kita bisa 'makan' lagi.
"Mbeeek...."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar