"Adalah seorang penabur keluar untuk menabur," demikian seorang pendeta memulai khotbahnya pada ibadah Minggu sore itu.
Kalimat itu bergaung di ruang ibadah yang senyap dengan bangku-bangku terisi penuh oleh jemaat yang antusias mendengarkan khotbah pendeta mereka. Kemudian pintu ruang ibadah terbuka dan sejenak perhatian beberapa jemaat yang duduk di barisan belakang tertuju ke pintu itu. Masuklah Pak Deni bersama isterinya. Merasa menjadi pusat perhatian jemaat di barisan belakang, mereka lalu tergesa-gesa menuju barisan tengah lalu duduk di situ.
"Setidaknya khotbahnya baru mulai," kata Pak Deni dalam hati.
"Tuhan Yesus menjelaskan bahwa benih itu jatuh di empat jenis tanah...." pendeta tadi melanjutkan khotbahnya.
"Oh, perumpamaan tentang penabur benih, ya? Ya, ya, aku ingat perumpamaan itu. Kalau tidak salah di Matius..., Matius..., pasal berapa ya?" Pak Deni lalu membolak-balik halaman Alkitabnya.
Tapi tunggu dulu, sepertinya ia melupakan sesuatu. Ah, ya, kacamata! Di mana kacamatanya? Ia meraba-raba saku kemejanya dan kedua saku celananya.
"Cari apa pa?" bisik isterinya dari sebelah.
"Kacamata," balasnya berbisik.
Isterinya lalu mengeluarkan sebuah kotak kacamata dari tas tangannya. "Tadi, kan, papa nitip ke tasku."
Tanpa berkomentar banyak, ia mengambil kacamata itu dari tangan isterinya lalu kembali membolak-balik halaman Alkitabnya.
"Ha, ini dia! Matius pasal 13."
"Jenis yang pertama ialah di pinggir jalan. Ketika benih itu ditaburkan, langsung dimakan oleh burung-burung. Tuhan Yesus mengartikan bahwa ada beberapa orang yang begitu mendengar firman, ia tidak mengerti lalu firman itu pun direbut si Iblis."
"Ya, ya...." Pak Deni mengangguk-ngangguk. Ia paham betul soal perumpamaan ini; ia sudah mendengarnya sejak kecil. "Ya kalo pak pendeta ngomong itu di dengar. Kalo nggak, bisa-bisa kaya yang pertama ini; firmannya direbut Iblis."
"Jenis yang kedua adalah tanah berbatu-batu," kata pendeta melanjutkan khotbahnya. "Benih yang jatuh di tanah ini tidak akan berakar. Orang yang seperti ini, ditindas sedikit saja langsung akan murtad dan menyangkal Tuhan...."
"Apa itu?!" Pak Deni merasakan gerakan di badannya. Ternyata ponselnya yang bergetar. "Siapa lagi, sih, SMS saat-saat begini?
"Lho, nggak salah, nih. Masa si bos minta laporannya diserahin besok?"
Ia membalas SMS dari atasannya itu:
Maaf pak, kalau bisa saya minta waktu sampai selasa, soalnya sekarang hari minggu dan saya sedang ibadah..
Tidak lama kemudian, balasannya datang lagi:
Saya tidak mau tahu! Klien minta laporannya besok, kalau kamu tidak mau biar saya suruh saja orang lain yang membuatnya
"Gimana, nih. Laporan ini ujung tombak karir gue. Kalau sukses di laporan ini, aja, tinggal menghitung minggu lagi pasti langsung naik jabatan.
"Tapi masa harus.... Ah, ini kan lagi ibadah! Tapi..., tapi..."
Akhirnya ia memberikan balasannya:
Akan saya usahakan pak.
"Jenis tanah yang ke tiga adalah tanah yang penuh semak duri...."
Pak Deni menarik nafas dalam-dalam. Paling tidak ia harus berkonsentrasi pada khotbah ini; urusan laporan itu bisa ia pikirkan nanti.
"...begitu kekuatiran menghimpitnya, firman itu pun akan segera layu."
Pak Deni memperbaiki posisi duduknya, berusaha untuk santai dan melupakan persoalan tadi. Tapi lagi-lagi ia merasa aneh. Biasanya kalau duduk, ia bisa merasakan dompetnya di kantong belakang celananya. Ia meraba-raba bagian belakang celananya. Mana dompetnya?
Setelah sempat khawatir beberapa saat, ia ingat kalau tadi ia meninggalkannya di mobil. Tapi bagaimana pas persembahan nanti? Masa nggak ngasih?
Kekhawatiran itu pun berlanjut. "Aduh, semua surat-surat kendaraan kan di dompet itu. Mana karcis parkir gue tinggal di mobil. Kalau mobilnya dibawa kabur, habislah sudah!
"Tapi tempat parkirnya jauh; harus nyeberang ke gedung sebelah, turun ke basement, terus...."
"Kenapa lagi, pa, kaya orang gelisah gitu?" tanya isterinya.
"Err..., ma, papa ke mobil dulu, ya. Tadi ada yang ketinggalan." Kemudian ia meninggalkan ruang ibadah itu, sementara isterinya hanya bisa geleng-geleng kepala di tempatnya.
20 menit kemudian ia kembali.
"Udah, pa?" tanya isterinya.
"Iya, iya."
Begitu ia duduk, si pendeta sudah berada di akhir khotbahnya.
".... Begitulah, saudara-saudara. Benih yang jatuh di tanah subur tadi bisa berbuah, bahkan sampai 100 kali lipat!
"Sekarang, hati Anda masuk dalam jenis tanah yang mana; Anda bisa introspeksi sendiri, ..."
"Hmmm, yang mana...?"
"...tapi yang jelas, hanya Tuhan yang tahu kebenarannya. Amin."
Kalimat itu bergaung di ruang ibadah yang senyap dengan bangku-bangku terisi penuh oleh jemaat yang antusias mendengarkan khotbah pendeta mereka. Kemudian pintu ruang ibadah terbuka dan sejenak perhatian beberapa jemaat yang duduk di barisan belakang tertuju ke pintu itu. Masuklah Pak Deni bersama isterinya. Merasa menjadi pusat perhatian jemaat di barisan belakang, mereka lalu tergesa-gesa menuju barisan tengah lalu duduk di situ.
"Setidaknya khotbahnya baru mulai," kata Pak Deni dalam hati.
"Tuhan Yesus menjelaskan bahwa benih itu jatuh di empat jenis tanah...." pendeta tadi melanjutkan khotbahnya.
"Oh, perumpamaan tentang penabur benih, ya? Ya, ya, aku ingat perumpamaan itu. Kalau tidak salah di Matius..., Matius..., pasal berapa ya?" Pak Deni lalu membolak-balik halaman Alkitabnya.
Tapi tunggu dulu, sepertinya ia melupakan sesuatu. Ah, ya, kacamata! Di mana kacamatanya? Ia meraba-raba saku kemejanya dan kedua saku celananya.
"Cari apa pa?" bisik isterinya dari sebelah.
"Kacamata," balasnya berbisik.
Isterinya lalu mengeluarkan sebuah kotak kacamata dari tas tangannya. "Tadi, kan, papa nitip ke tasku."
Tanpa berkomentar banyak, ia mengambil kacamata itu dari tangan isterinya lalu kembali membolak-balik halaman Alkitabnya.
"Ha, ini dia! Matius pasal 13."
"Jenis yang pertama ialah di pinggir jalan. Ketika benih itu ditaburkan, langsung dimakan oleh burung-burung. Tuhan Yesus mengartikan bahwa ada beberapa orang yang begitu mendengar firman, ia tidak mengerti lalu firman itu pun direbut si Iblis."
"Ya, ya...." Pak Deni mengangguk-ngangguk. Ia paham betul soal perumpamaan ini; ia sudah mendengarnya sejak kecil. "Ya kalo pak pendeta ngomong itu di dengar. Kalo nggak, bisa-bisa kaya yang pertama ini; firmannya direbut Iblis."
"Jenis yang kedua adalah tanah berbatu-batu," kata pendeta melanjutkan khotbahnya. "Benih yang jatuh di tanah ini tidak akan berakar. Orang yang seperti ini, ditindas sedikit saja langsung akan murtad dan menyangkal Tuhan...."
"Apa itu?!" Pak Deni merasakan gerakan di badannya. Ternyata ponselnya yang bergetar. "Siapa lagi, sih, SMS saat-saat begini?
"Lho, nggak salah, nih. Masa si bos minta laporannya diserahin besok?"
Ia membalas SMS dari atasannya itu:
Maaf pak, kalau bisa saya minta waktu sampai selasa, soalnya sekarang hari minggu dan saya sedang ibadah..
Tidak lama kemudian, balasannya datang lagi:
Saya tidak mau tahu! Klien minta laporannya besok, kalau kamu tidak mau biar saya suruh saja orang lain yang membuatnya
"Gimana, nih. Laporan ini ujung tombak karir gue. Kalau sukses di laporan ini, aja, tinggal menghitung minggu lagi pasti langsung naik jabatan.
"Tapi masa harus.... Ah, ini kan lagi ibadah! Tapi..., tapi..."
Akhirnya ia memberikan balasannya:
Akan saya usahakan pak.
"Jenis tanah yang ke tiga adalah tanah yang penuh semak duri...."
Pak Deni menarik nafas dalam-dalam. Paling tidak ia harus berkonsentrasi pada khotbah ini; urusan laporan itu bisa ia pikirkan nanti.
"...begitu kekuatiran menghimpitnya, firman itu pun akan segera layu."
Pak Deni memperbaiki posisi duduknya, berusaha untuk santai dan melupakan persoalan tadi. Tapi lagi-lagi ia merasa aneh. Biasanya kalau duduk, ia bisa merasakan dompetnya di kantong belakang celananya. Ia meraba-raba bagian belakang celananya. Mana dompetnya?
Setelah sempat khawatir beberapa saat, ia ingat kalau tadi ia meninggalkannya di mobil. Tapi bagaimana pas persembahan nanti? Masa nggak ngasih?
Kekhawatiran itu pun berlanjut. "Aduh, semua surat-surat kendaraan kan di dompet itu. Mana karcis parkir gue tinggal di mobil. Kalau mobilnya dibawa kabur, habislah sudah!
"Tapi tempat parkirnya jauh; harus nyeberang ke gedung sebelah, turun ke basement, terus...."
"Kenapa lagi, pa, kaya orang gelisah gitu?" tanya isterinya.
"Err..., ma, papa ke mobil dulu, ya. Tadi ada yang ketinggalan." Kemudian ia meninggalkan ruang ibadah itu, sementara isterinya hanya bisa geleng-geleng kepala di tempatnya.
20 menit kemudian ia kembali.
"Udah, pa?" tanya isterinya.
"Iya, iya."
Begitu ia duduk, si pendeta sudah berada di akhir khotbahnya.
".... Begitulah, saudara-saudara. Benih yang jatuh di tanah subur tadi bisa berbuah, bahkan sampai 100 kali lipat!
"Sekarang, hati Anda masuk dalam jenis tanah yang mana; Anda bisa introspeksi sendiri, ..."
"Hmmm, yang mana...?"
"...tapi yang jelas, hanya Tuhan yang tahu kebenarannya. Amin."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar