Kamis, 10 November 2011

Ulasan Buku: Emeritus


Judul: Emeritus
Penulis: Ita Siregar
Penerbit: Inspirasi, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta
Tahun: 2011
Klasifikasi: Novel (Kristen)
ISBN: 978-979-687-953-3
Apa yang pertama kali terlintas di pikiran Anda kalau mendengar kata “Pendeta Emeritus?” Bagi saya, yang pertama kali terlintas di benak saya adalah seorang pria tua, bisa dikatakan lansia, dengan kacamata silinder besar dan sedikit uban di pelipisnya, mengenakan kemeja hitam dengan jas model kuno yang serasi dengan celana panjangnya ditambah ornamen persegi putih di kerahnya menutupi kancing teratas kemejanya, berbicara di mimbar dengan ilustrasi-ilustrasi yang dianggap membosankan bagi sebagian besar generasi muda.

Saat melihat desain sampul buku Kak Ita (demikian saya memanggil beliau) yang akan terbit, saya juga berpikir, “Membosankan! Ah, jangan bilang kalau Kak Ita mau menerbitkan biografi!?”
Beberapa minggu setelah buku itu terbit, saya jalan-jalan ke Toko Buku BPK Gunung Mulia dan melihat buku itu di rak “buku baru.” Saya tertarik melihat-lihat. “Ooh, novel ya? Kirain biografi.” Lalu saya membeli satu.
Ternyata isinya diluar ekspektasi saya; itu bisa berarti negatif, bisa juga berarti positif. Negatifnya adalah karena saya mengharapkan kisah pendeta emeritus seperti yang ada di benak saya, tetapi tidak menemukannya. Positifnya, ternyata kisahnya jauh lebih menyenangkan dibanding ekspektasi saya itu.
Buku ini menceritakan tentang jatuh bangun seorang hamba Tuhan: masa kecilnya dalam keluarga yang tidak mengenal Tuhan, pertobatannya, perjalanannya membangun sebuah gereja dari nol, hingga konflik rumah tangganya yang berujung pada konflik dengan dirinya sendiri. Buku ini ingin memberi tahu bahwa kehidupan seorang hamba Tuhan itu tidak mudah, bahwa mengelola gereja sekaligus mengelola keluarga itu juga tidak mudah.
Alurnya maju-mundur. Awalnya saya bosan dengan Bab 1 yang mengantarkan pembaca langsung ke inti permasalahannya. Tapi ternyata bab itu hanya sebagai pengantar saja. Penulis memulai keseluruhan kisahnya dari nol di bab 2 hingga mencapai klimaks di halaman-halaman terakhir. Bagi saya pribadi, tidak ada anti-klimaks dalam kisah ini. Kisah ini ditutup menggantung, membiarkan pembaca menebak-nebak sendiri seperti apa akhirnya.
Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini. Bagaimana seharusnya seorang hamba Tuhan mengelola jemaatnya? Apakah dengan status full-timer berarti seorang hamba Tuhan juga harus mengorbankan segalanya, termasuk keluarga? Bagaimana menjalin kembali komunikasi yang lama terputus dan hambar? Juga tentang persahabatan dan keegoisan diri sendiri.
Buku ini juga mengajak kita menyaksikan seperti apa jadinya kalau (mantan) hamba Tuhan masuk ke dunia malam, bergaul dengan orang-orang yang disisihkan oleh agama. Tapi ternyata di situlah si tokoh utama belajar lebih bijak menghadapi masalahnya sendiri. Masing-masing pembaca bisa dengan bebas menilai apakah tindakan si tokoh utama sudah benar atau salah, apakah kalau pembaca dalam kondisi seperti itu juga akan berbuat hal yang sama?
Bagi saya sendiri, saya menemukan bahwa jiwa saya mirip dengan si tokoh utama. Sibuk dengan pelayanan ke sana ke mari, tetapi semuanya hanya untuk menutupi keburukan pribadi sendiri. Melalui buku ini saya belajar untuk jujur pada diri sendiri tentang kelemahan saya, bukan malah fokus pada superioritas saya dalam pelayanan.
“…kaulihat? Kau letih karena berusaha menyenangkan-Ku,” kata Bapa. “Kau tak perlu lakukan itu, anak-Ku. Cintai Aku dan percaya kepada-Ku. Itu saja. Selebihnya serahkan pada-Ku. Aku sudah menanggung semuanya. Aku ingin kau bahagia sepenuhnya dalam hidup yang Kuberikan. Kembali, anak-Ku, kembali. Aku mencintaimu, selalu menunggumu.”
Demikian kata-kata dalam adegan-adegan terakhir buku ini yang membuat saya tersentuh.

Tidak ada komentar: