Judul: Emeritus
Penulis: Ita Siregar
Penerbit: Inspirasi, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta
Tahun: 2011
Klasifikasi: Novel (Kristen)
ISBN: 978-979-687-953-3
Apa
yang pertama kali terlintas di pikiran Anda
kalau mendengar kata “Pendeta Emeritus?” Bagi saya, yang pertama kali terlintas
di benak saya adalah seorang pria tua, bisa dikatakan lansia, dengan kacamata
silinder besar dan sedikit uban di pelipisnya, mengenakan kemeja hitam dengan
jas model kuno yang serasi dengan celana panjangnya ditambah ornamen persegi
putih di kerahnya menutupi kancing teratas kemejanya, berbicara di mimbar
dengan ilustrasi-ilustrasi yang dianggap membosankan bagi sebagian besar
generasi muda.
Saat melihat desain sampul buku Kak
Ita (demikian saya memanggil beliau) yang akan terbit, saya juga berpikir, “Membosankan! Ah, jangan bilang kalau Kak
Ita mau menerbitkan biografi!?”
Beberapa minggu setelah buku itu terbit,
saya jalan-jalan ke Toko Buku BPK Gunung Mulia dan melihat buku itu di rak “buku
baru.” Saya tertarik melihat-lihat. “Ooh,
novel ya? Kirain biografi.” Lalu saya membeli satu.
Ternyata isinya diluar ekspektasi
saya; itu bisa berarti negatif, bisa juga berarti positif. Negatifnya adalah
karena saya mengharapkan kisah pendeta emeritus seperti yang ada di benak saya,
tetapi tidak menemukannya. Positifnya, ternyata kisahnya jauh lebih
menyenangkan dibanding ekspektasi saya itu.
Buku ini menceritakan tentang jatuh
bangun seorang hamba Tuhan: masa kecilnya dalam keluarga yang tidak mengenal
Tuhan, pertobatannya, perjalanannya membangun sebuah gereja dari nol, hingga
konflik rumah tangganya yang berujung pada konflik dengan dirinya sendiri. Buku
ini ingin memberi tahu bahwa kehidupan seorang hamba Tuhan itu tidak mudah,
bahwa mengelola gereja sekaligus mengelola keluarga itu juga tidak mudah.
Alurnya maju-mundur. Awalnya saya
bosan dengan Bab 1 yang mengantarkan pembaca langsung ke inti permasalahannya. Tapi
ternyata bab itu hanya sebagai pengantar saja. Penulis memulai keseluruhan
kisahnya dari nol di bab 2 hingga mencapai klimaks di halaman-halaman terakhir.
Bagi saya pribadi, tidak ada anti-klimaks dalam kisah ini. Kisah ini ditutup
menggantung, membiarkan pembaca menebak-nebak sendiri seperti apa akhirnya.
Ada banyak pelajaran yang bisa
diambil dari kisah ini. Bagaimana seharusnya seorang hamba Tuhan mengelola
jemaatnya? Apakah dengan status full-timer
berarti seorang hamba Tuhan juga harus mengorbankan segalanya, termasuk
keluarga? Bagaimana menjalin kembali komunikasi yang lama terputus dan hambar?
Juga tentang persahabatan dan keegoisan diri sendiri.
Buku ini juga mengajak kita
menyaksikan seperti apa jadinya kalau (mantan) hamba Tuhan masuk ke dunia
malam, bergaul dengan orang-orang yang disisihkan oleh agama. Tapi ternyata di
situlah si tokoh utama belajar lebih bijak menghadapi masalahnya sendiri. Masing-masing
pembaca bisa dengan bebas menilai apakah tindakan si tokoh utama sudah benar
atau salah, apakah kalau pembaca dalam kondisi seperti itu juga akan berbuat
hal yang sama?
Bagi saya sendiri, saya menemukan
bahwa jiwa saya mirip dengan si tokoh utama. Sibuk dengan pelayanan ke sana ke
mari, tetapi semuanya hanya untuk menutupi keburukan pribadi sendiri. Melalui buku
ini saya belajar untuk jujur pada diri sendiri tentang kelemahan saya, bukan
malah fokus pada superioritas saya dalam pelayanan.
“…kaulihat? Kau letih karena
berusaha menyenangkan-Ku,” kata Bapa. “Kau tak perlu lakukan itu, anak-Ku. Cintai
Aku dan percaya kepada-Ku. Itu saja. Selebihnya serahkan pada-Ku. Aku sudah
menanggung semuanya. Aku ingin kau bahagia sepenuhnya dalam hidup yang
Kuberikan. Kembali, anak-Ku, kembali. Aku mencintaimu, selalu menunggumu.”
Demikian kata-kata dalam
adegan-adegan terakhir buku ini yang membuat saya tersentuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar