Selasa, 08 November 2011

Cita-cita

Ketika itu saya masih kelas 2 SD dan berusia 7 tahun. Ibu guru di kelas memberikan pertanyaan, "Apa cita-cita kalian? Kalian pikirkan jawabannya di rumah, besok ibu tanya lagi."

Itulah pertama kalinya seumur hidup saya mendengar kata "cita-cita." Setibanya di rumah, saya langsung menanyakannya pada ibu.


"Ma, apa itu cita-cita?"

"Kamu mau jadi apa kalau besar nanti, itulah cita-cita."

Saya mau jadi apa kalau sudah besar nanti?

Seharian itu saya terus memikirkan pertanyaan itu dan jawaban yang muncul di kepala saya adalah: pilot. Alasannya sederhana. Sampai saat itu belum ada anggota keluarga dekat saya yang pernah naik pesawat dan dengan demikian, sepertinya kecil kemungkinan saya untuk bisa naik pesawat juga. Tapi saya penasaran, seperti apa naik pesawat itu?

Bagi kami yang tinggal di kota kecil tanpa bandara, ada helikopter yang mendarat di lapangan pusat kota saja sudah merupakan tontonan ratusan warga. Kalau ada pendatang ke kota kami dan mengatakan dia dari Jakarta, antusiasme saya langsung naik. "Orang ini pasti sudah pernah naik pesawat," kataku dalam hati. "Tidak mungkin ia bisa sampai ke sini kalau tidak naik pesawat."

Rasa penasaran ini membuat saya, yang dengan pemikiran seorang anak kecil, sangat mendambakan bisa naik pesawat. "Dan kalau mau naik pesawat, kenapa tidak jadi pilotnya saja?" pikirku. Sampai saat itu, saya terus bercita-cita jadi pilot.

Cita-cita itu tidak bertahan lama. Sebagai seorang anak kecil, saya tertarik dengan banyak hal dan saya pun memiliki banyak cita-cita sekaligus! Ketika saya membaca buku sejarah, saya bercita-cita menjadi seorang arkeolog. Saya juga pernah bercita-cita menjadi musisi, bahkan menjadi seorang pendeta!

Hingga kemudian menginjak bangku SMA, saya didesak orang tua memikirkan masa depan saya lebih serius lagi, dan selama 3 tahun di SMA, saya fokus untuk menjadi seorang dokter. Tapi kemudian passion saya terhadap matematika dan ketidakmampuan saya menghapal istilah-istilah biologi yang sulit membuat saya tidak masuk ke sekolah kedokteran, akhirnya. Alih-alih, saya masuk ke jurusan manajemen, bertolak belakang dengan status saya sebagai siswa kelas IPA di SMA.

Kemudian di jurusan manajemen inilah saya bertemu dengan Manajemen Keuangan dan Manajemen Investasi yang pas dengan kemampuan matematis saya. Sampai sekarang saya masih memiliki cita-cita untuk bekerja di bidang manajemen keuangan dan investasi. (Tulisan ini saya tulis ketika masih berada di tahun terakhir perkuliahan).

Tidak hanya seorang anak yang memiliki cita-cita. Orang dewasa yang sudah mapan pun memiliki cita-cita mereka: ingin kerja di tempat yang lebih baik lagi, ingin menyekolahkan anak di sekolah terbaik, ingin menghadapi hari tua dengan bahagia, dan sebagainya.

Apa sulitnya menggapai cita-cita itu? Masalahnya adalah: kita belum tahu apa yang akan terjadi ke depannya, bukan? Lalu Anda takut, yang terjadi kemudian tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita Anda?

Cita-cita adalah pengharapan: apa yang Anda harapkan akan terjadi di masa yang akan datang. Cita-cita berbeda dari mimpi muluk, yang hanya Anda harapkan terjadi dengan sendirinya tanpa usaha. Ketika Anda memiliki cita-cita Anda akan berusaha menggapainya; itulah yang membuat Anda fokus pada cita-cita itu.

Perhatikan apa yang dikatakan penulis Kitab Ibrani:
Tetapi kami ingin, supaya kamu masing-masing menunjukkan kesungguhan yang sama untuk menjadikan pengharapanmu suatu milik yang pasti, sampai pada akhirnya. (Ibr 6:11)

Kata "kesungguhan" di sini ingin menunjukkan bahwa seolah-olah pengharapan itu sudah "pasti" dan dengan demikian tidak membuat kita putus asa menggapainya. Sampai kapan berharapnya? Dikatakan, "...sampai pada akhirnya."

Lalu bagaimana ketika ternyata cita-cita itu tidak tergapai? Paling tidak Anda sudah berusaha. Ini membuat Anda lebih bijak bahwa cita-cita tidak dapat digapai hanya dengan berpangku tangan. Bukankah setidaknya Anda menjadi lebih dekat dengan cita-cita itu ketika berusaha ketimbang ketika hanya memimpikannya saja?

Memiliki cita-cita lebih baik ketimbang hanya mengalir tanpa tujuan dan jauh lebih baik lagi mengusahakan cita-cita itu ketimbang hanya memimpikannya saja. Dan yang lebih penting lagi, jalanilah cita-cita itu bersama Tuhan, membuat pengharapan itu jauh lebih pasti lagi.

Tidak ada komentar: