Ketika itu, hanya ada satu manusia di
muka bumi. Bayangkan, dunia yang diciptakan Tuhan sedemikian luas dan hanya ada
satu manusia di dalamnya! Itu berarti hanya ada satu otak, satu pikiran; hanya
ada satu hati, satu perasaan, di dunia. Dan satu otak itu—yang juga berarti satu
kreatifitas—digunakan Tuhan. Ia membawa binatang ciptaan-Nya kepada si manusia
dan si manusia diberi tugas untuk menamai setiap binatang itu. Suasana sangat
tenteram ketika itu; ingat, hanya ada satu otak ketika itu. Hanya ia
satu-satunya manusia, dan ia bebas membuat keputusan sesukanya. Si manusia
pertama bisa berkreasi sebebas-bebasnya menentukan nama hewan sesuai
keinginannya, tanpa perlu diintervensi oleh otak lain, tanpa takut ada hati lain yang tersinggung. Itulah yang dikisahkan
Alkitab dalam Kejadian pasal 2.
Tapi, ternyata, si manusia pertama
tidak bisa hidup sendiri. Ia merasa kesepian. Kelak, ribuan tahun kemudian,
muncullah teori bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang berarti bahwa manusia
tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Si manusia pertama juga demikian. Ia
tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Bahasa Alkitabnya: ia memerlukan
penolong yang sepadan dengan dia.
Lalu, melihat situasi ini, dibentuk
Tuhanlah seorang manusia lain: perempuan. Jadilah, ada dua manusia di muka
bumi, ada dua otak dua pikiran, ada dua hati dua perasaan. Tapi, yang jadi
masalah adalah kedua pikiran dan kedua perasaan ini tidak selamanya sama.
Tibalah suatu masa ketika manusia kedua mulai bertindak mengambil keputusan. Lalu
muncul konflik pertama dalam sejarah kehidupan manusia.
“Apakah kau memakan buah yang
Kularang untuk dimakan?” tanya Tuhan.
“Perempuan yang Kau tempatkan di
sisiku, dialah yang membuat aku memakannya.”
Muncullah perselisihan.
“Gara-gara dia! Sebelum dia ada,
semuanya baik-baik saja.”
Perhatikan perbedaannya, ketika hanya
ada satu manusia dan satu pengambil keputusan, dibandingkan dengan dua manusia
yang keduanya memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan. Dan ketika
keputusan manusia satu merugikan manusia lain, timbullah konflik.
Itu baru dua manusia di bumi.
Sekarang, ada milyaran manusia di bumi, dengan milyaran otak, milyaran pikiran;
dengan milyaran hati, milyaran perasaan. Dan jangan berpikir pikiran dan
perasaan sebanyak itu semuanya bisa sejalan. Dulu, ketika manusia masih dua
saja, pikiran dan perasaan bisa berbeda, apalagi sekarang. Dan sama halnya
ketika dua manusia pertama bisa konflik, bisa juga terjadi pada milyaran manusia sekarang.
Lalu, apa yang bisa mempertahankan agar dengan milyaran manusia yang ada
sekarang, tidak terjadi konflik?
Pertanyaan di atas mengarahkan kita
pada jawaban: toleransi. Apa toleransi itu? Chambers Concise Usage Dictionary
oleh C.M. Schwarz dan M.A. Seaton memberikan definisi Tolerance: the
ability to be fair and understanding to people whose ways, opinions etc are
different from one’s own (terjemahan bebas versi saya: kemampuan untuk mengerti bahwa orang lain memiliki
jalan pikiran, opini dll yang berbeda dengan kita).
Toleransi adalah ketika saya melihat
perilaku, kebiasaan, pikiran, ideologi atau apapun itu dari diri seseorang,
yang berbeda dengan perilaku, kebiasaan, pikiran, ideologi saya, maka saya
tidak menilai orang tersebut salah. Sebaliknya, saya menyadari bahwa saya
bukanlah dia dan dia bukanlah saya. Kami masing-masing memiliki perilaku, kebiasaan,
pikiran, ideologi kami sendiri-sendiri. Itulah toleransi.
Jumlah manusia yang lebih dari satu
adalah keputusan Tuhan. Tuhan pulalah yang menciptakan keragaman antara satu
manusia dengan yang lainnya karena pada hakikatnya, manusia diciptakan sebagai
penolong yang sepadan bagi manusia lainnya. Tetapi, Tuhan tidak bermaksud
menciptakan konflik. Karena itu, Tuhan juga menciptakan perasaan toleransi
dalam diri manusia. Tinggal kemampuan dari masing-masing manusia untuk menggali
potensi bertoleransi yang Tuhan taruh dalam dirinya.
Jika toleransi ini ada, maka tidak
ada lagi orang yang melarang orang lainnya untuk beribadah hanya karena
agamanya berbeda. Tidak ada lagi orang yang menganggap ras tertentu jelek.
Tidak ada lagi debat “saya baik, kamu buruk.” Tidak ada lagi diskriminasi.
Semua karena kita sadar, kita bukan satu-satunya manusia di muka bumi ini.