Beriman itu sederhana? Kenapa tidak? Kita, orang-orang kota, sering
kali membuat segala sesuatunya terasa rumit. Kita menciptakan segala macam
teknologi yang diharapkan dapat mempermudah semua kerumitan itu, tapi tetap
saja segala sesuatunya menjadi lebih rumit sehingga terus dibutuhkan
pengembangan untuk menciptakan teknologi terbaru.
Kerumitan ini pun mulai memasuki ranah spiritual kita. Ide-ide
berkembang menciptakan berbagai keyakinan. Dalam kekristenan sendiri, tidak bisa
kita pungkiri, ide-ide itu terus berkembang. Muncullah berbagai gereja di
mana-mana dengan ajaran-ajaran yang juga bisa berbeda-beda. Akhirnya, semakin
banyak bermunculan pertanyaan, “Apakah yang saya lakukan ini sesuai dengan keyakinan
saya atau tidak?” Menjawab pertanyaan itu maka berkembang pulalah
tafsiran-tafsiran Alkitab yang disesuaikan dengan konteks zaman sekarang. Karena
begitu banyaknya tafsiran-tafsiran yang bisa berbeda-beda, orang menjadi
bingung, dan apabila jemaat kurang dibangun pengetahuan teologisnya, bisa jadi
jemaat akan melenceng semakin jauh dari pengenalan yang benar tentang Alkitab yang
sesungguhnya. Beriman zaman sekarang rumit, bukan?
Tapi, kembali pada judul di atas, beriman itu sederhana, kok. Saya akan
mengajak kita mencontoh saudara-saudara kita di pedesaan.
Ayah saya berasal dari sebuah desa terpencil di pegunungan salah
satu propinsi termuda Indonesia, Sulawesi Barat. Saya katakan terpencil karena
sangat sulit menjangkau desa tersebut. Perjalanan dengan bus dari kota pesisir
terdekat, memakan waktu sekitar 6 jam, berangkat siang tiba malam. Dan karena
bis yang melayani rute ini hanya beberapa unit, tidak tiap hari perjalanan bisa
dilakukan. Jadwal bis tidak ditentukan berdasarkan ‘jam berapa,’ tetapi ‘hari
apa.’ Perjalanannya juga tidak mudah karena hampir sebagian besar jalan belum diaspal,
dengan jalanan tanah berbatu-batu, melewati lereng pegunungan dengan jurang yang
kadang di sisi kiri, kadang di sisi kanan. Belum lagi kalau perjalanan
dilakukan pada musim hujan, dimana bisa ada risiko longsor di tengah jalan.
Terakhir kali saya mengunjungi desa ini, listrik masih terbatas
dari pembangkit listrik sederhana di sungai terdekat. Siang hari listrik
dimatikan dan baru pada malam hari dinyalakan. Televisi juga, setahu saya,
masih jarang. Tiap malam, anak-anak bergerombol di sebuah rumah yang memiliki
televisi cukup besar dan penerangan cukup baik. Bagi masyarakat ini,
bersenang-senang bukan berarti menonton TV, tetapi berkumpul, ngobrol bersama
dan makan bersama. Kadang malah siaran TV tidak dihiraukan, karena ketika hawa
dingin datang, orang akan masuk ke dapur, dimana perapian tidak pernah padam
dan tidak pernah kehabisan kayu bakar. Pesta adat, khususnya pernikahan dan
pemakaman, menjadi pusat keramaian, dimana warga menggunakan kesempatan itu untuk
berkumpul dan, tentu saja, ngobrol dan makan bersama.
Masyarakat di sana sebagian besar Kristen. Di sana, ada satu gereja
dan selalu menjadi pusat aktivitas warga setiap hari Minggu. Anak-anak yang ke
sekolah Minggu jarang ada yang mandi (karena hawa dingin pagi hari memang
menyulitkan untuk mandi pagi), bahkan ada yang datang tanpa alas kaki. Masyarakat
yang datang ke gereja ada yang mempersembahkan hasil panen dan daging ternak
mereka, yang kemudian dilelang dan uangnya disumbangkan ke kas gereja.
Beberapa masyarakat di sana mungkin masih ada yang belum tahu kalau
di dunia luar sana, ada banyak gereja-gereja yang ajarannya berbeda dari gereja
yang ada di desa mereka. Mereka bernyanyi dari buku-buku nyanyian yang, oleh
sebagian masyarakat perkotaan, dianggap kuno; mereka tidak mengenal lagu-lagu
rohani modern dari band-band rohani ternama. Beberapa mungkin tidak menghiraukan
kalau ada doktrin-doktrin lain di luar sana. Beberapa juga mungkin bahkan tidak
tahu kalau di luar sana ada perdebatan, gereja antara gereja, doktrin siapa yang
lebih benar. Tapi satu yang mereka tahu: mereka mempercayai Yesus Kristus dan
iman mereka mengatakan bahwa mereka akan diselamatkan karena itu.
Mereka mungkin tidak tahu kalau ada orang-orang Kristen di luar
sana yang memiliki fobia tersendiri akan hari kiamat. Mereka tidak tahu kalau
ada gereja-gereja yang sibuk berkhotbah supaya jemaatnya kembali bertobat
karena ‘kedatangan Tuhan Yesus kedua kali sudah semakin dekat.’ Bagi mereka,
khotbah semacam itu tidak perlu karena kedatangan Tuhan Yesus kedua kali sudah melekat
dengan sendirinya pada iman mereka yang sederhana itu, yang membuat mereka
menjalani hari-hari seperti biasa saja. Jika mau kiamat, kiamatlah, mereka
siap.
Mereka masyarakat agraris yang menggantungkan diri sepenuhnya pada
alam pemberian Tuhan. Iman mereka tumbuh seiring pertumbuhan tanaman mereka. Mereka
hanya bisa berdoa semoga tidak ada hama atau bencana. Jika ternyata mereka
gagal panen, mereka terima saja dengan ikhlas. Mereka tidak tahu kalau di luar
sana ada yang stres, bahkan bunuh diri hanya karena harga saham yang fluktuatif.
Mereka orang-orang jujur yang mengutamakan kebersamaan. Setiap orang
bisa berkunjung tanpa perlu membuat janji temu, bisa ikut makan malam bersama
tanpa perlu undangan resmi lebih dahulu. Hal yang membuat saya, sebagai orang kota,
stres jika berkunjung ke sana adalah sandal saya selalu hilang. Orang sana
memang tidak pernah peduli mau pakai sandal siapa, juga tidak peduli kalau sandalnya
tiba-tiba hilang karena mereka berpikir, “Pasti sedang dipakai si anu, dan
pasti akan kembali.” Seperti yang sudah saya katakan: mereka orang-orang jujur.
Singkatnya, jika ingin membandingkan spiritualitas mereka dengan orang-orang
kota, spiritualitas mereka lebih sederhana. Beberapa daerah pedesaan lain
mungkin memiliki cerita yang kurang lebih hampir sama. Dan, berhadapan dengan kerumitan
spiritualitas seperti yang sudah saya paparkan di awal, sepertinya kita, orang kota,
harus berkaca pada teman-teman kita di desa. Mereka tidak memikirkan hal-hal yang
lebih tinggi dari yang patut mereka pikirkan. Mereka hanya berpikir menurut
ukuran iman yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka (bdk. Roma 12:3). Beriman
itu sederhana, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar