Kamis, 28 Februari 2013

Beriman itu Sederhana



Beriman itu sederhana? Kenapa tidak? Kita, orang-orang kota, sering kali membuat segala sesuatunya terasa rumit. Kita menciptakan segala macam teknologi yang diharapkan dapat mempermudah semua kerumitan itu, tapi tetap saja segala sesuatunya menjadi lebih rumit sehingga terus dibutuhkan pengembangan untuk menciptakan teknologi terbaru.

Kerumitan ini pun mulai memasuki ranah spiritual kita. Ide-ide berkembang menciptakan berbagai keyakinan. Dalam kekristenan sendiri, tidak bisa kita pungkiri, ide-ide itu terus berkembang. Muncullah berbagai gereja di mana-mana dengan ajaran-ajaran yang juga bisa berbeda-beda. Akhirnya, semakin banyak bermunculan pertanyaan, “Apakah yang saya lakukan ini sesuai dengan keyakinan saya atau tidak?” Menjawab pertanyaan itu maka berkembang pulalah tafsiran-tafsiran Alkitab yang disesuaikan dengan konteks zaman sekarang. Karena begitu banyaknya tafsiran-tafsiran yang bisa berbeda-beda, orang menjadi bingung, dan apabila jemaat kurang dibangun pengetahuan teologisnya, bisa jadi jemaat akan melenceng semakin jauh dari pengenalan yang benar tentang Alkitab yang sesungguhnya. Beriman zaman sekarang rumit, bukan?

Tapi, kembali pada judul di atas, beriman itu sederhana, kok. Saya akan mengajak kita mencontoh saudara-saudara kita di pedesaan.

Ayah saya berasal dari sebuah desa terpencil di pegunungan salah satu propinsi termuda Indonesia, Sulawesi Barat. Saya katakan terpencil karena sangat sulit menjangkau desa tersebut. Perjalanan dengan bus dari kota pesisir terdekat, memakan waktu sekitar 6 jam, berangkat siang tiba malam. Dan karena bis yang melayani rute ini hanya beberapa unit, tidak tiap hari perjalanan bisa dilakukan. Jadwal bis tidak ditentukan berdasarkan ‘jam berapa,’ tetapi ‘hari apa.’ Perjalanannya juga tidak mudah karena hampir sebagian besar jalan belum diaspal, dengan jalanan tanah berbatu-batu, melewati lereng pegunungan dengan jurang yang kadang di sisi kiri, kadang di sisi kanan. Belum lagi kalau perjalanan dilakukan pada musim hujan, dimana bisa ada risiko longsor di tengah jalan.

Terakhir kali saya mengunjungi desa ini, listrik masih terbatas dari pembangkit listrik sederhana di sungai terdekat. Siang hari listrik dimatikan dan baru pada malam hari dinyalakan. Televisi juga, setahu saya, masih jarang. Tiap malam, anak-anak bergerombol di sebuah rumah yang memiliki televisi cukup besar dan penerangan cukup baik. Bagi masyarakat ini, bersenang-senang bukan berarti menonton TV, tetapi berkumpul, ngobrol bersama dan makan bersama. Kadang malah siaran TV tidak dihiraukan, karena ketika hawa dingin datang, orang akan masuk ke dapur, dimana perapian tidak pernah padam dan tidak pernah kehabisan kayu bakar. Pesta adat, khususnya pernikahan dan pemakaman, menjadi pusat keramaian, dimana warga menggunakan kesempatan itu untuk berkumpul dan, tentu saja, ngobrol dan makan bersama.

Masyarakat di sana sebagian besar Kristen. Di sana, ada satu gereja dan selalu menjadi pusat aktivitas warga setiap hari Minggu. Anak-anak yang ke sekolah Minggu jarang ada yang mandi (karena hawa dingin pagi hari memang menyulitkan untuk mandi pagi), bahkan ada yang datang tanpa alas kaki. Masyarakat yang datang ke gereja ada yang mempersembahkan hasil panen dan daging ternak mereka, yang kemudian dilelang dan uangnya disumbangkan ke kas gereja.

Beberapa masyarakat di sana mungkin masih ada yang belum tahu kalau di dunia luar sana, ada banyak gereja-gereja yang ajarannya berbeda dari gereja yang ada di desa mereka. Mereka bernyanyi dari buku-buku nyanyian yang, oleh sebagian masyarakat perkotaan, dianggap kuno; mereka tidak mengenal lagu-lagu rohani modern dari band-band rohani ternama. Beberapa mungkin tidak menghiraukan kalau ada doktrin-doktrin lain di luar sana. Beberapa juga mungkin bahkan tidak tahu kalau di luar sana ada perdebatan, gereja antara gereja, doktrin siapa yang lebih benar. Tapi satu yang mereka tahu: mereka mempercayai Yesus Kristus dan iman mereka mengatakan bahwa mereka akan diselamatkan karena itu.

Mereka mungkin tidak tahu kalau ada orang-orang Kristen di luar sana yang memiliki fobia tersendiri akan hari kiamat. Mereka tidak tahu kalau ada gereja-gereja yang sibuk berkhotbah supaya jemaatnya kembali bertobat karena ‘kedatangan Tuhan Yesus kedua kali sudah semakin dekat.’ Bagi mereka, khotbah semacam itu tidak perlu karena kedatangan Tuhan Yesus kedua kali sudah melekat dengan sendirinya pada iman mereka yang sederhana itu, yang membuat mereka menjalani hari-hari seperti biasa saja. Jika mau kiamat, kiamatlah, mereka siap.

Mereka masyarakat agraris yang menggantungkan diri sepenuhnya pada alam pemberian Tuhan. Iman mereka tumbuh seiring pertumbuhan tanaman mereka. Mereka hanya bisa berdoa semoga tidak ada hama atau bencana. Jika ternyata mereka gagal panen, mereka terima saja dengan ikhlas. Mereka tidak tahu kalau di luar sana ada yang stres, bahkan bunuh diri hanya karena harga saham yang fluktuatif.

Mereka orang-orang jujur yang mengutamakan kebersamaan. Setiap orang bisa berkunjung tanpa perlu membuat janji temu, bisa ikut makan malam bersama tanpa perlu undangan resmi lebih dahulu. Hal yang membuat saya, sebagai orang kota, stres jika berkunjung ke sana adalah sandal saya selalu hilang. Orang sana memang tidak pernah peduli mau pakai sandal siapa, juga tidak peduli kalau sandalnya tiba-tiba hilang karena mereka berpikir, “Pasti sedang dipakai si anu, dan pasti akan kembali.” Seperti yang sudah saya katakan: mereka orang-orang jujur.

Singkatnya, jika ingin membandingkan spiritualitas mereka dengan orang-orang kota, spiritualitas mereka lebih sederhana. Beberapa daerah pedesaan lain mungkin memiliki cerita yang kurang lebih hampir sama. Dan, berhadapan dengan kerumitan spiritualitas seperti yang sudah saya paparkan di awal, sepertinya kita, orang kota, harus berkaca pada teman-teman kita di desa. Mereka tidak memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari yang patut mereka pikirkan. Mereka hanya berpikir menurut ukuran iman yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka (bdk. Roma 12:3). Beriman itu sederhana, bukan?

Tidak ada komentar: