Sabtu, 30 Maret 2013

Salib



Hari Jumat, tanggal merah di kalender dengan keterangan, “Wafat Yesus Kristus.”

Jumat itu tahun ini aku bertugas sebagai pianis mengiringi Ibadah Jumat Agung di gerejaku dalam dua kali ibadah pagi. Liturgi ibadah gereja kami menampilkan visualisasi berupa drama penyaliban Kristus. Saat drama berlangsung, jemaat diajak menyanyikan lagu “Memandang Salib Rajaku” (“When I Survey the Wondrous Cross”; KJ 169) dan “Pada Kaki SalibMu” (“Near the Cross”; KJ 368).

Posisi sebagai pianis di depan ruang ibadah memungkinkanku melihat ekspresi setiap jemaat yang hadir. Dan apa yang kulihat…? Pemeran Yesus yang sedang berada di atas Salib yang menjulang tinggi, bahkan lebih tinggi dari mimbar pengkhotbah, sementara dibawahnya para pemeran wanita bertelut menangis, jemaat bernyanyi dan aku mengiringinya, “Pada kaki salibMu kasihMu kut’rima….” Aku melihat ada jemaat yang memejamkan mata. Ada yang melepaskan kacamata. Tidak sedikit yang sesekali mengusap air matanya yang keluar. Dan itu kusaksikan tidak hanya sekali, tapi di dua kali kebaktian yang kulayani pada hari itu.

Sementara di sebuah gereja lain, aku diminta tolong menjadi pianis untuk drama musikal Paska yang akan dipentaskan hari Minggu Paska. Dalam drama ini, ada penayangan multimedia berupa cuplikan dari film “The Passion of the Christ,” pada adegan ketika Yesus dicambuk dan disalibkan. Ketika tayangan ini ditampilkan dalam drama, aku mengiringi nyanyian solo “KasihMu Termegah” (ciptaan Sidney Mohede). Pada saat gladi kotor, ada hadir beberapa penatua dan panitia, dan seorang mengakui bahwa ia menangis pada saat adegan tayangan itu berlangsung. Itu baru gladi kotor. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi jemaat pada saat pementasannya nanti.

Aku juga ingat ketika masih SMP dulu. Ketika itu, pada saat Jumat Agung, ada stasiun TV yang menayangkan film tentang kisah Yesus. Saat Seninnya aku kembali ke sekolah, seorang teman menghampiri. “Jim, nonton film yang Jumat kemarin? Saya tidak tahan melihat adegan ketika Dia disalib. Saya menangis.” Padahal teman itu seorang non-Kristen.

Bagiku sendiri, tidak usah menonton film atau menyaksikan drama, membaca kesaksian Injil tentang penyaliban Yesus saja sudah membuatku menitikkan air mata.

Aku tidak tahu apa yang membuat sebagian besar orang menangis ketika menyaksikan  adegan penyaliban Kristus. Padahal itu hanyalah sebuah adegan, visualisasi, rekaan dari apa yang terjadi ribuan tahun lalu. Mereka tidak menyaksikan kejadian aslinya secara langsung. Tapi tetap saja mereka menangis.

Aku sendiri masih belum menemukan jawabannya, mengapa air mata ini mendadak bisa keluar sendiri ketika menyaksikan adegan penyaliban Kristus. Tapi satu yang aku tahu: Orang yang di atas salib itu telah menggantikan posisiku; Ia mati untukku. Tidak peduli apa kata orang. Bagi orang yang tidak mengerti, mungkin mereka akan mencemooh salib itu, tapi bagiku, salib itu tanda bahwa aku telah diselamatkan (bdk. 1 Korintus 1:18).

Catatan Sabtu Sunyi,
30 Maret 2013

Tidak ada komentar: