Hari Jumat, tanggal merah di kalender dengan keterangan, “Wafat
Yesus Kristus.”
Jumat itu tahun ini aku bertugas sebagai pianis mengiringi Ibadah
Jumat Agung di gerejaku dalam dua kali ibadah pagi. Liturgi ibadah gereja kami
menampilkan visualisasi berupa drama penyaliban Kristus. Saat drama
berlangsung, jemaat diajak menyanyikan lagu “Memandang Salib Rajaku” (“When
I Survey the Wondrous Cross”; KJ 169) dan “Pada Kaki SalibMu” (“Near the
Cross”; KJ 368).
Posisi sebagai pianis di depan ruang ibadah memungkinkanku melihat
ekspresi setiap jemaat yang hadir. Dan apa yang kulihat…? Pemeran Yesus yang
sedang berada di atas Salib yang menjulang tinggi, bahkan lebih tinggi dari mimbar
pengkhotbah, sementara dibawahnya para pemeran wanita bertelut menangis, jemaat
bernyanyi dan aku mengiringinya, “Pada kaki salibMu kasihMu kut’rima….” Aku
melihat ada jemaat yang memejamkan mata. Ada yang melepaskan kacamata. Tidak sedikit
yang sesekali mengusap air matanya yang keluar. Dan itu kusaksikan tidak hanya
sekali, tapi di dua kali kebaktian yang kulayani pada hari itu.
Sementara di sebuah gereja lain, aku diminta tolong menjadi pianis untuk
drama musikal Paska yang akan dipentaskan hari Minggu Paska. Dalam drama ini,
ada penayangan multimedia berupa cuplikan dari film “The Passion of the Christ,”
pada adegan ketika Yesus dicambuk dan disalibkan. Ketika tayangan ini
ditampilkan dalam drama, aku mengiringi nyanyian solo “KasihMu Termegah” (ciptaan
Sidney Mohede). Pada saat gladi kotor, ada hadir beberapa penatua dan panitia,
dan seorang mengakui bahwa ia menangis pada saat adegan tayangan itu
berlangsung. Itu baru gladi kotor. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi jemaat
pada saat pementasannya nanti.
Aku juga ingat ketika masih SMP dulu. Ketika itu, pada saat Jumat
Agung, ada stasiun TV yang menayangkan film tentang kisah Yesus. Saat Seninnya
aku kembali ke sekolah, seorang teman menghampiri. “Jim, nonton film yang Jumat
kemarin? Saya tidak tahan melihat adegan ketika Dia disalib. Saya menangis.” Padahal
teman itu seorang non-Kristen.
Bagiku sendiri, tidak usah menonton film atau menyaksikan drama,
membaca kesaksian Injil tentang penyaliban Yesus saja sudah membuatku menitikkan
air mata.
Aku tidak tahu apa yang membuat sebagian besar orang menangis
ketika menyaksikan adegan penyaliban
Kristus. Padahal itu hanyalah sebuah adegan, visualisasi, rekaan dari apa yang terjadi
ribuan tahun lalu. Mereka tidak menyaksikan kejadian aslinya secara langsung. Tapi
tetap saja mereka menangis.
Aku sendiri masih belum menemukan jawabannya, mengapa air mata ini
mendadak bisa keluar sendiri ketika menyaksikan adegan penyaliban Kristus. Tapi
satu yang aku tahu: Orang yang di atas salib itu telah menggantikan posisiku;
Ia mati untukku. Tidak peduli apa kata orang. Bagi orang yang tidak mengerti,
mungkin mereka akan mencemooh salib itu, tapi bagiku, salib itu tanda bahwa aku
telah diselamatkan (bdk. 1 Korintus 1:18).
30 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar