Rabu
Abu merupakan hari pertama masa Pra-Paskah, yaitu 40 hari sebelum hari
Minggu Paskah (tidak termasuk hari 6 hari Minggu selama masa Pra-Paskah
tersebut). Bagi umat Kristiani, masa Pra-Paskah adalah masa untuk
mengintrospeksi diri dengan melakukan puasa atau berpantang. Peringatan Rabu Abu,
seperti halnya Pra-Paskah, tidak tercantum secara eksplisit dalam Alkitab,
tetapi merupakan hasil tradisi Gereja untuk membantu umat meningkatkan
spiritualitas mereka.
Penelusuran
sejarah menemukan bahwa ritual Rabu Abu (sebelumnya dikenal sebagai “Hari Abu”
atau “Dies Cinerum”) telah ada setidaknya sejak abad ke-8. Tulisan tertua
tentang penggunaan abu dalam ritual memulai Pra-Paskah yang ditemukan berasal dari
abad ke-11 yang ditulis oleh Abbot Aelfric (955 – 1020). Ia menulis dalam “Lives
of Saints”:
Kita membaca, baik dari buku Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa manusia yang berbalik dari dosa-dosanya, menaburi diri mereka dengan abu dan mengenakan pakaian kabung. Sekarang, mari kita melakukan ini pada awal Pra-Paskah (Lent) dengan menabur abu ke atas kepala kita untuk menandakan bahwa kita harus berbalik dari dosa-dosa kita selama masa puasa Pra-Paskah.
Pada akhir abad
ke-11 barulah Paus Urbanus II mengumumkan penggunaan abu pada hari tersebut. Sejak
saat itulah, hari pertama Pra-Paskah dikenal sebagai hari Rabu Abu.
Yang dimaksud
Aelfric mengenai contoh penggunaan abu dalam Alkitab dapat kita lihat dalam Ayub
42:6, 2 Samuel 13:19, Ester 4:1, 3, Yesaya 61:3, Yeremia
6:26, Yehezkiel 27:30, Daniel 9:3, dan Matius 11:21. Selain
itu, manusia juga menyadari kefanaannya di hadapan Tuhan dengan mengingat bahwa
“kita berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.” (Kejadian 3:19)
Dalam praktiknya
sekarang ini, dalam ritual Rabu Abu, abu tersebut dioleskan pada dahi membentuk
simbol salib, dimana abu yang digunakan berasal dari daun palem dari Minggu
Palmarum tahun sebelumnya yang dikeringkan dan dibakar.
Mengapa Pra-Paskah
dilaksanakan selama 40 hari? Dalam Alkitab, angka 40 disimbolkan sebagai suatu
masa yang lama dan menandai perjalanan spiritual beberapa tokoh Alkitab. Musa ketika
menerima Hukum Allah, ia berpuasa 40 hari 40 malam di atas gunung Sinai. Umat Israel
menempuh perjalanan selama 40 tahun di padang gurun sebelum masuk ke Tanah
Perjanjian. Yesus, setelah dibaptis dan sebelum memulai pelayanan-Nya, Ia
berpuasa dan dicobai di padang gurun selama 40 hari.
Lalu mengapa
hari Minggu tidak dimasukkan ke dalam 40 hari itu? Bagi umat Kristen, hari
Minggu selalu dianggap sebagai “Paskah kecil,” dimana tujuan umat Kristen
mengambil hari Minggu sebagai hari beribadah adalah untuk memperingati
kebangkitan Kristus yang jatuh pada hari Minggu. Karena itu, suasana yang ada
setiap hari Minggu adalah suasana sukacita, sehingga masa berpuasa dan
berpantang selama 40 hari Pra-Paskah tidak menghitung hari Minggu ke dalamnya.
Salah satu juga
yang menjadi perhatian akhir-akhir ini adalah bahwa ritual Rabu Abu kerap
diidentikkan sebagai ritual umat Katolik saja. Pertanyaannya, apakah umat
Protestan juga melaksanakan Rabu Abu?
Pada dasarnya,
Rabu Abu dan Pra-Paskah, sama halnya seperti Natal, Paskah dan hari-hari raya
lainnya dalam kalender liturgi, dilakukan juga oleh denominasi Protestan. Hanya
saja, ada suatu masa dalam sejarah, dimana gereja Protestan kesulitan
melaksanakan ibadah Rabu Abu sehingga banyak gereja yang menggeser permulaan
Pra-Paskah (dahulu disebut Minggu Sengsara) ke hari Minggu sebelum Rabu Abu, yang
adalah Minggu Transfigurasi, sehingga ada total 7 Minggu Pra-Paskah. Perlahan,
saat sekarang ini, sudah banyak gereja-gereja Protestan mulai membetulkan
kekeliruan ini dan kembali melaksanakan ritual Rabu Abu. Akan tetapi, akibat
produk sejarah yang berkepanjangan, stigma bahwa Rabu Abu hanya milik Katolik tidak
bisa dipisahkan dari cara pandang jemaat dan diharapkan, dengan dikembalikannya
ritual Rabu Abu dalam lingkup Protestan ini, stigma tersebut perlahan dapat memudar
sehingga orang mulai melihat Rabu Abu tidak berbeda dari Natal, Paskah, atau
hari-hari raya tahun liturgi lainnya yang diperingati bersama oleh umat Katolik
dan Protestan.
Tetapi kembali
lagi, yang menjadi perhatian utama setiap umat seharusnya bukanlah ritualnya
tersebut, tetapi bagaimana ritual tersebut bisa menunjang pertumbuhan
spiritualitas umat, terlebih dalam berpuasa dan berpantang selama masa
Pra-Paskah. Dan kembali lagi pada diri masing-masing umat, ketika berpuasa dan
berpantang, yang ada semata adalah introspeksi diri dan bukan untuk
kemunafikan, seperti Tuhan sendiri pernah berkata:
Sungguh-sungguh inikah berpuasa yang Kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur? Sungguh-sungguh itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang berkenan kepada Tuhan? Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Yesaya 58:5 – 7)
Karena itu,
hendaklah masa Rabu Abu dan masa Pra-Paskah ke depannya ini dilakukan bukan untuk
kepentingan pribadi semata, tetapi keluar dari kepentingan kita, dapat menjadi
berkat juga bagi orang di sekitar kita. Selamat melaksanakan Rabu Abu dan
memasuki minggu-minggu Pra-Paskah.
Sumber:
Hawu Haba, Yuda D., Pdt., Minggu
Sengsara, situs Harian Pagi Timor Ekspress Kupang, http://www.timorexpress.com/index.php?act=news&nid=53867,
9 Februari 2013, diakses 12 Februari 2013
History of Ash Wednesday, American Catholic Web site, http://www.americancatholic.org/newsletters/cu/ac0204.asp,
Februari 2004, diakses 13 Februari 2013
The History and Meaning of Ash
Wednesday, Lutheran Church Missouri Synod Web
site, http://www.orlutheran.com/html/ash.html,
28 Februari 2009, diakses 13 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar