Sabtu, 23 Mei 2015

Pulang








Ini kisah dari Brasil.

Rumah kecil itu sederhana tapi layak, hanya memiliki satu ruang besar di tepi jalan berdebu. Genteng merahnya sama seperti rumah-rumah lainnya di desa miskin Brasil ini. Bagaimanapun juga, rumah itu nyaman. Maria dan putrinya, Christina, melakukan apa yang mereka bisa untuk menambah warna pada dinding abu-abu dan kehangatan pada lantai kotor: sebuah kalender tua, potret keluarga yang memudar, sebuah salib kayu. Perabotnya pun sederhana: sebuah tempat tidur di satu sisi ruangan, sebuah ember, dan tungku dengan kayu bakar.

Suami Maria meninggal ketika Christina masih bayi. Sebagai seorang ibu muda, ia bersikeras untuk tidak menikah lagi, mendapatkan pekerjaan dan menyiapkan masa depan yang lebih baik bagi putrinya. Dan sekarang, lima belas tahun kemudian, tahun-tahun sulit telah berlalu. Walaupun pendapatan Maria sebagai pembantu rumah tangga jauh dari kemewahan, itu sudah cukup untuk menyediakan makanan dan pakaian. Dan sekarang Christina pun sudah cukup dewasa untuk bekerja dan membantu perekonomian keluarga.

Ada yang berkata kalau Christina terlalu diberi kebebasan oleh ibunya. Ia menolak ide kolot untuk menikah muda dan membesarkan anak. Bukan karena ia kurang cantik bagi pria-pria di sekitarnya. Kulit eksotis dan mata coklatnya mengundang para lelaki mengantri di pintu rumahnya. Dia menebar pesona hanya dengan mengibaskan rambutnya dan memenuhi ruangan dengan tawanya. Dia juga memiliki sejenis sihir yang membuat setiap pria merasa seperti raja hanya dengan berada di sisinya. Tetapi jiwa bebasnya membuat ia menjaga jarak dengan semua pria itu.

Dia selalu mengutarakan keinginannya pergi ke kota. Ia bermimpi mengganti lingkungan berdebu desanya dengan jalan-jalan gemerlap dan kehidupan perkotaan. Pemikiran ini saja membuat ibunya cemas. Maria selalu mengingatkan Christina akan kerasnya kehidupan jalanan perkotaan.”Orang-orang tidak mengenalmu di sana. Pekerjaan susah dan hidup kejam. Selain itu, jika kamu ke sana, bisa kerja apa kamu?”

Maria tahu pasti apa yang akan Christina kerjakan, atau terpaksa ia kerjakan untuk hidup di kota. Itulah sebabnya hatinya hancur ketika ia bangun suatu pagi dan menemukan tempat tidur putrinya kosong. Maria seketika itu juga tahu ke mana putrinya pergi. Ia juga tahu apa yang harus dilakukannya untuk menemukan putrinya. Dengan segera ia memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas, mengumpulkan semua uangnya, dan berlari keluar rumah.

Dalam perjalanannya ke halte bis, ia mampir ke toko obat untuk menyiapkan satu hal terakhir. Potret. Ia duduk dalam booth foto, menutup tirai, mengeluarkan uang semampunya untuk memotret dirinya. Dengan dompet dipenuhi potret hitam putih, ia naik bis berikutnya ke Rio de Janeiro.

Maria tahu Christina tidak bisa menghasilkan uang sendiri. Tapi ia juga tahu putrinya tidak sekeras kepala itu untuk menyerah. Ketika harga diri bertemu perut lapar, manusia akan melakukan segala cara, bahkan yang paling tidak masuk akal sekalipun. Menyadari hal ini, Maria memulai pencariannya. Bar, hotel, klub malam, tempat manapun yang identik dengan kehidupan jalanan dan prostitusi. Ia masuki semuanya. Dan di tiap tempat, ia meninggalkan potretnya—direkatkan ke cermin kamar mandi, disematkan di mading pengumuman hotel, ditempel di kotak telepon umum. Dan di balik setiap potret ia menulis catatan.

Tidak lama setelah uang dan potret di dompetnya habis, Maria pulang. Ibu yang kelelahan itu menangis sepanjang perjalanan panjang bis ke desanya.

Beberapa minggu kemudian, Christina muda menuruni tangga hotel. Wajah mudanya kelelahan. Mata coklatnya tidak lagi menari dalam jiwa muda tetapi berteriak dalam perih dan takut. Tawanya parau. Mimpinya menjadi mimpi buruk. Ini ke sekian kalinya ia bertransaksi di tempat tidur demi mengisi dompetnya. Desa kecilnya sudah terasa jauh, amat sangat jauh.

Ketika ia tiba di anak tangga terbawah, matanya menangkap wajah yang tidak asing. Ia melihat sekali lagi, dan di sana, di kaca lobi, tertempel potret kecil ibunya. Mata Christina berkaca-kaca dan nafasnya tercekat ketika ia melintasi lobi hotel dan melepas potret itu dari kaca. Di baliknya tertulis sebuah ajakan. “Apapun yang telah kamu lakukan, sudah jadi apa kamu sekarang, itu tidak penting. Pulanglah.”

Ia pulang.

“Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah….” (Ibr 1:3)

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Mat 11:28)


Diterjemahkan dari “No Wonder They Call Him the Savior” by Max Lucado (Thomas Nelson, Inc., 2004), Ch 31: “Come Home”, pp. 129-131

1 komentar:

Ron mengatakan...

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Tulisan yang sangat bagus. :)
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬