Mustahil! Tuhan kok mati?
Lalu orang Kristen pun ditertawakan karena Tuhannya mati.
Mustahil? Apa sih yang tidak
mustahil dalam upaya manusia memahami keilahian? Dari sejak dulu manusia
berusaha memahami keilahian. Manusia menciptakan ritus, mulai dari semedi
sendiri sampai menari beramai-ramai. Manusia berkontemplasi dan berefleksi,
mereka menulis kitab ini dan itu, menciptakan agama ini dan itu. Lalu, dalam upayanya
memahami keilahian, apakah manusia sudah sampai pada suatu jawaban sempurna?
Tidak. Ciptaan yang memiliki keterbatasan tidak akan pernah mampu
memahami Penciptanya yang tak terbatas. Malah, dalam upayanya memahami
keilahian, bukankah manusia justru semakin banyak menemukan kemustahilan?
“Mustahil! Tadinya dia sudah sekarat, sekarang malah bugar, sehat
walafiat.”
“Mustahil! Tiba-tiba ada rejeki nomplok
di tengah-tengah keadaan dompet yang kosong begini.”
“Mustahil! Ada jalan keluar ketika sudah hampir putus asa menghadapi
masalah ini.”
Mustahil bagi manusia tapi Tuhan bisa mewujudkan kemustahilan itu menjadi
kenyataan. Kalau demikian hebatnya Tuhan membuat hal mustahil menjadi nyata,
bukankah kemustahilan terbesar dalam misteri alam semesta pun bisa Tuhan
nyatakan?
Tuhan menjadi manusia. Immortal God
becomes a mortal human. Tuhan yang kekal mencicipi kefanaan, bahkan
merasakan kematian, dan lebih lagi, mati dengan cara yang paling terkutuk
menurut ukuran manusia. Mustahil? Tuhan seperti apa yang mau menjadi manusia? Apakah
itu berarti Ia membuang gelar ke-Tuhan-an-Nya? Masih pantaskah Ia disebut
sebagai Tuhan?
Saya masih ingat kejadian tanggal 22 Desember 2009, media internasional dihebokan
oleh William Arthur Philip Louis yang tidur di jalan bersama para tunawisma, di
tengah dinginnya jalan kota London yang mencapai minus 4 derajat Celcius. Siapa
orang ini? Apa yang menghebohkan darinya? Dialah Pangeran William, cucu Ratu
Elizabeth II, pewaris takhta kedua setelah ayahnya, Pangeran Charles. Sampai sekarang,
Pangeran William aktif dalam gerakan kemanusiaan untuk menjangkau para
tunawisma, seperti yang dilakukan almarhum ibunya, Putri Diana.
Pangeran William punya kuasa, tapi
ia menggunakan kekuasaanya itu untuk keluar dari tembok istana dan tidur di
jalan sebagai tunawisma. Apakah tindakannya itu dianggap melecehkan nama besar keluarga
kerajaan Inggris? Tentu saja tidak. Apakah dengan ia tidur di jalan, gelar
kebangsawanannya dicabut? Juga tidak. Dia tidur di tempat tidur mahal atau
tidur di jalan, dia tetaplah pangeran.
Nah, saya mengajak kita membaca ulang paragraf di atas. Sengaja saya
mengetiknya tebal supaya kita cermati. Mari kita bandingkan Pangeran William
dengan Yesus (Tuhannya orang Kristen yang katanya malu-maluin itu karena sampai mati) dengan menggunakan paragraf di
atas, kalimat per kalimat, frase per frase.
Tuhan Yesus punya kuasa (bahkan Ia
lebih berkuasa dari Pangeran William), tapi Ia menggunakan kekuasaan-Nya itu
untuk turun dari surga dan hidup di dunia sebagai manusia. Apakah tindakan-Nya
itu dianggap melecehkan nama besar-Nya sebagai Tuhan? Tentu saja tidak. Apakah dengan
Ia hidup di dunia, gelar ke-Tuhan-an-Nya dicabut? Juga tidak. Dia bertakhta di
surga atau hidup di dunia, Dia tetaplah Tuhan.
Misi Pangeran William adalah menjawab kebutuhan tunawisma di Inggris. Hal
itu langsung ia terapkan dengan turun ke jalan. Misi Tuhan Yesus adalah
menjawab kebutuhan manusia. Dan kebutuhan terbesar dan paling mendesak dari
manusia adalah lepas dari dosa. Hal itu Ia jawab dengan turun ke dunia.
Jadi, Tuhan menjadi manusia? Kenapa tidak? Dan sama seperti semua manusia
pada akhirnya pasti akan mengalami kematian, Tuhan pun tidak mau melewatkan
merasakan kematian itu. Tidak ada “tantangannya” kalau menjadi manusia tapi setelah
itu langsung kembali begitu saja ke surga tanpa merasakan kematian.
Ketakutan terbesar manusia adalah maut—mati, dan apa yang ada setelah
kematian. Tuhan memberikan jawaban atas ketakutan itu dengan merasakan sendiri
kematian itu.
Tuhan menjadi manusia dan mati? Ah, pertanyaan itu lagi. Kalau Tuhan
hanya terkungkung di surga, apakah Ia pantas mendapat gelar “Maha”? Justru karena
Ia “Mahakuasa”, Ia bisa meninggalkan Surga dengan kehendak-Nya dan turun ke
dunia.
…Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa
Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil
rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai
manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati
di kayu salib. (Kontemplasi Paulus, seperti yang tertuang dalam suratnya kepada
jemaat di Filipi)
Kontemplasi Jumat
Agung, 25/03/2016
-J-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar