Jumat, 25 Maret 2016

Tuhan kok Mati?



Mustahil! Tuhan kok mati?

Lalu orang Kristen pun ditertawakan karena Tuhannya mati.

Mustahil? Apa sih yang tidak mustahil dalam upaya manusia memahami keilahian? Dari sejak dulu manusia berusaha memahami keilahian. Manusia menciptakan ritus, mulai dari semedi sendiri sampai menari beramai-ramai. Manusia berkontemplasi dan berefleksi, mereka menulis kitab ini dan itu, menciptakan agama ini dan itu. Lalu, dalam upayanya memahami keilahian, apakah manusia sudah sampai pada suatu jawaban sempurna?


Tidak. Ciptaan yang memiliki keterbatasan tidak akan pernah mampu memahami Penciptanya yang tak terbatas. Malah, dalam upayanya memahami keilahian, bukankah manusia justru semakin banyak menemukan kemustahilan?

“Mustahil! Tadinya dia sudah sekarat, sekarang malah bugar, sehat walafiat.”

“Mustahil! Tiba-tiba ada rejeki nomplok di tengah-tengah keadaan dompet yang kosong begini.”

“Mustahil! Ada jalan keluar ketika sudah hampir putus asa menghadapi masalah ini.”

Mustahil bagi manusia tapi Tuhan bisa mewujudkan kemustahilan itu menjadi kenyataan. Kalau demikian hebatnya Tuhan membuat hal mustahil menjadi nyata, bukankah kemustahilan terbesar dalam misteri alam semesta pun bisa Tuhan nyatakan?

Tuhan menjadi manusia. Immortal God becomes a mortal human. Tuhan yang kekal mencicipi kefanaan, bahkan merasakan kematian, dan lebih lagi, mati dengan cara yang paling terkutuk menurut ukuran manusia. Mustahil? Tuhan seperti apa yang mau menjadi manusia? Apakah itu berarti Ia membuang gelar ke-Tuhan-an-Nya? Masih pantaskah Ia disebut sebagai Tuhan?

Saya masih ingat kejadian tanggal 22 Desember 2009, media internasional dihebokan oleh William Arthur Philip Louis yang tidur di jalan bersama para tunawisma, di tengah dinginnya jalan kota London yang mencapai minus 4 derajat Celcius. Siapa orang ini? Apa yang menghebohkan darinya? Dialah Pangeran William, cucu Ratu Elizabeth II, pewaris takhta kedua setelah ayahnya, Pangeran Charles. Sampai sekarang, Pangeran William aktif dalam gerakan kemanusiaan untuk menjangkau para tunawisma, seperti yang dilakukan almarhum ibunya, Putri Diana.

Pangeran William punya kuasa, tapi ia menggunakan kekuasaanya itu untuk keluar dari tembok istana dan tidur di jalan sebagai tunawisma. Apakah tindakannya itu dianggap melecehkan nama besar keluarga kerajaan Inggris? Tentu saja tidak. Apakah dengan ia tidur di jalan, gelar kebangsawanannya dicabut? Juga tidak. Dia tidur di tempat tidur mahal atau tidur di jalan, dia tetaplah pangeran.

Nah, saya mengajak kita membaca ulang paragraf di atas. Sengaja saya mengetiknya tebal supaya kita cermati. Mari kita bandingkan Pangeran William dengan Yesus (Tuhannya orang Kristen yang katanya malu-maluin itu karena sampai mati) dengan menggunakan paragraf di atas, kalimat per kalimat, frase per frase.

Tuhan Yesus punya kuasa (bahkan Ia lebih berkuasa dari Pangeran William), tapi Ia menggunakan kekuasaan-Nya itu untuk turun dari surga dan hidup di dunia sebagai manusia. Apakah tindakan-Nya itu dianggap melecehkan nama besar-Nya sebagai Tuhan? Tentu saja tidak. Apakah dengan Ia hidup di dunia, gelar ke-Tuhan-an-Nya dicabut? Juga tidak. Dia bertakhta di surga atau hidup di dunia, Dia tetaplah Tuhan.

Misi Pangeran William adalah menjawab kebutuhan tunawisma di Inggris. Hal itu langsung ia terapkan dengan turun ke jalan. Misi Tuhan Yesus adalah menjawab kebutuhan manusia. Dan kebutuhan terbesar dan paling mendesak dari manusia adalah lepas dari dosa. Hal itu Ia jawab dengan turun ke dunia.

Jadi, Tuhan menjadi manusia? Kenapa tidak? Dan sama seperti semua manusia pada akhirnya pasti akan mengalami kematian, Tuhan pun tidak mau melewatkan merasakan kematian itu. Tidak ada “tantangannya” kalau menjadi manusia tapi setelah itu langsung kembali begitu saja ke surga tanpa merasakan kematian.

Ketakutan terbesar manusia adalah maut—mati, dan apa yang ada setelah kematian. Tuhan memberikan jawaban atas ketakutan itu dengan merasakan sendiri kematian itu.

Tuhan menjadi manusia dan mati? Ah, pertanyaan itu lagi. Kalau Tuhan hanya terkungkung di surga, apakah Ia pantas mendapat gelar “Maha”? Justru karena Ia “Mahakuasa”, Ia bisa meninggalkan Surga dengan kehendak-Nya dan turun ke dunia.

…Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. (Kontemplasi Paulus, seperti yang tertuang dalam suratnya kepada jemaat di Filipi)


Kontemplasi Jumat Agung, 25/03/2016
-J-

Tidak ada komentar: