Jumat, 04 Januari 2013

Tok Tok Tok



Tok. Tok. Tok.

Terdengar ketokan di pintu. Aku dengan mudah bisa menerka siapa yang datang. Pilihannya hanya ada dua, sebenarnya. Ada dua orang yang sering berkunjung ke rumahku. Aku menjuluki mereka Si Tukang Pesta dan Si Pemberi Nasihat.

Si Tukang Pesta, orangnya selalu bersemangat. Dan seperti namanya, ketika ia datang ke rumahku, tidak cukup hanya kami berdua saja. Ia pasti menghubungi teman-teman satu gengnya untuk datang dan menjadikan rumahku tempat pesta mereka. Selalu saja ada barang-barang aneh yang mereka bawa, mulai dari game terbaru, film yang mereka tonton di rumahku (dari yang pemerannya berpakaian lengkap sampai yang tidak berpakaian sama sekali pun ada!), minuman beralkohol dan makanan ringan, dan masih banyak lagi. Pembicaraan di pesta pun beragam. Mulai dari tips bagaimana cara tercepat mendapatkan uang dengan mudah, tips bagaimana bisa sukses dengan cepat (semua tips-tips ini tidak ada yang “bersih,” tentunya—kalau kau tahu maksudku), ditambah pembicaraan-pembicaraan gosip tentang orang lain, sampai cerita-cerita kotor dan diselingi umpatan dan makian di sana sini.

Awalnya, aku tidak suka keberadaan mereka di rumahku. Ketika Si Tukang Pesta itu datang pertama kali, aku terkejut, “Astaga,lihat semua minuman yang dibawanya itu! Astaga, video-video yang ditontonnya!” Dan ketika musik dimainkan dan pesta dimulai, “Astaga, pembicaraan-pembicaraan mereka!” Tapi ia seorang tukang pesta sejati; ia bisa membuat orang lain dengan mudahnya larut dalam pestanya. Tidak sampai sejam kemudian, aku mulai terbiasa dan ikut larut dalam pesta yang dibuatnya.

Lalu ketika pesta usai, apa yang terjadi? Mereka semua pergi begitu saja, meninggalkan semua kekacauan ini di rumahku, yang harus kubersihkan sendirian! Sambil membersihkan kekacauan yang mereka buat, aku menyesal telah mengijinkannya masuk dan menggunakan rumahku sebagai tempat pestanya. Tapi begitu ia datang lagi dan mengetok pintuku, aku terus saja tergoda untuk mengijinkannya masuk lagi. Selalu saja hal ini berulang: aku tergoda mengijinkannya membuat pesta di rumahku, tapi menyesal di belakang ketika aku harus membersihkan kekacauan ini sendirian.

Berbeda halnya dengan orang yang satu lagi, Si Pemberi Nasihat. Ia juga banyak bicara, tapi pembawaannya selalu tenang. Seperti namanya, ia selalu memberikan nasihat-nasihat kepadaku ketika aku dalam masalah, berbeda dengan tips-tips kotor yang selalu diberikan Si Tukang Pesta dan kawan-kawannya. Aku senang kalau Si Pemberi Nasihat ini datang pada jam makan malam. Kami bisa berbincang-bincang di meja makan dan tentunya makan malam akan jadi lebih menyenangkan bersamanya. Berbeda dengan Si Tukang Pesta, Si Pemberi Nasihat ini tidak pernah meninggalkan kekacauan. Selesai makan malam, ia yang pertama kali berinisiatif membawa piring-piring kotor ke wastafel dan mencucinya. Aku jadi tidak enak karena ia tamu di sini, tapi menurutnya tidak apa-apa, ia senang membantu. Malah, ketika ia datang dan rumahku berantakan, ia yang duluan menyingsingkan lengan bajunya dan membersihkan. Jarang sekali aku melihatnya marah, hanya beberapa kesempatan ketika ia mendapatiku tidak mengurus diriku hingga sakit atau tidak mengurus rumahku hingga kotor sekali. Itupun ia marah dengan sabar karena setelah itu ia kembali lagi mengurusku. Kalau ada yang namanya marah sambil mengasihi, mungkin seperti inilah tampaknya.

Nah, bisa kalian lihat, dua orang yang selalu datang ke rumahku ini bertolak belakang sama sekali. Belakangan kuketahui kalau mereka memang musuhan. Rahasia inipun tidak bisa kusimpan. Akhirnya kedua pihak masing-masing mengetahui kalau aku mengijinkan pihak lainnya masuk ke rumahku.

“Bung, kau mengijinkan orang membosankan itu menginjakkan kaki ke rumahmu?” tanya Si Tukang Pesta dalam satu kali sesi pesta yang dibuatnya di rumahku. “Mana semangat pestamu, Bung! Orang itu hanya memberikan nasihat-nasihat konyol kepadamu! Coba bandingkan nasihat-nasihatnya dengan tips-tips yang kuberikan padamu. Kau akan lebih cepat sukses, Bung!”

Aku terdiam. Aku tidak suka di tengah suasana pesta seperti ini, nama orang itu diungkit-ungkit. “Hei, mengapa membicarakan orang itu?” kataku sambil menuang segelas minuman lagi. “Mari lanjutkan pestanya!” sorakku, padahal maksudku ingin mengalihkan pembicaraan.

Pada kesempatan lain, ketika aku sedang makan malam dengan Si Pemberi Nasihat, ia berkata, “Aku tahu kau bergaul dengan orang-orang itu. Tidak baik bagimu.” Mendengarnya, aku hanya bisa tersenyum masam kepadanya.

Ia menghela napas lalu melanjutkan nasihatnya, “Aku tahu situasimu. Mungkin kau belum bisa menahan godaan untuk tidak membukakan pintu baginya. Tapi kau harus belajar menahan diri. Paling tidak, kau harus memiliki wibawa sebagai seorang tuan rumah. Jangan biarkan mereka seenaknya mengambil alih dan mengacaukan rumahmu. Tunjukkan bahwa kaulah yang berkuasa di sini!”

Ia berhenti sejenak, seolah memikirkan sesuatu. “Baiklah, aku punya satu cara. Begini, kalau kau tidak sanggup menahannya, kalau kau merasa mulai larut dalam pesta mereka, pejamkan saja matamu dan ingat aku—aku yang memberimu nasihat ini. Kau akan merasa kuat setelahnya. Aku yakin kau bisa melakukannya.”

Aku tidak bisa selamanya berada di antara dua pihak seperti ini. Aku harus menetapkan pilihanku, hendak mengikuti siapa. Lalu suatu malam, sebuah peristiwa terjadi. Ketika itu puncak pesta yang diselenggarakan Si Tukang Pesta. Aku sedang asyik larut dalam keriuhan suasana. Tanpa diduga, Si Pemberi Nasihat mendadak datang. Dan tahukah kalian seperti apa ekspresinya? Marah! Kemarahan yang belum pernah kulihat selama ini.

Ia mendapatiku sedang asyik di ruang makan bersama Si Tukang Pesta. Dengan kasar, ia menarik lenganku menuju ke halaman belakang. Ia menggoncang bahuku. “Sadar! Tahukah kau apa yang baru saja kau lakukan?! Ke mana nasihat-nasihat yang selama ini kuberikan padamu?”

Aku tidak tahu harus berkata apa saat itu. Aku hampir menangis, seperti seorang anak kecil yang ketahuan orang tuanya berbuat salah. Ia meninggalkanku sendirian di halaman belakang lalu bergegas masuk ke rumah. Tidak lama kemudian, aku mendengar suara ribut-ribut. Teriakan pertengkaran, kudengar suara Si Tukang Pesta menumpahkan semua makiannya. Lalu ada suara botol-botol pecah, ribut-ribut pertengkaran lagi, lalu perlahan semuanya reda.

Si Pemberi Nasihat kembali. Ia menemukanku duduk sendirian di tanah, di halaman belakang. “Mereka semua sudah pergi,” katanya. “Kau lihat, mereka lebih takut padaku, bukan? Kenapa tidak kauturuti semua nasihatku selama ini?”

Aku tidak bisa membendungnya lagi. Aku menangis.

Tanpa berkata banyak lagi, ia kembali masuk ke rumah. Aku tinggal sendirian lagi di halaman belakang. Aku merenungkan apa yang sudah kulakukan selama ini. Sepertinya aku memang harus menentukan sikapku, siapa dari antara kedua orang ini yang akan kupilih?

Aku menyusul Si Pemberi Nasihat ke dalam rumah. Ia sedang mengepel kotoran-kotoran di lantai. Aku mengambil kayu pel satunya lagi dan membantunya.

“Aku minta maaf,” kataku.

“Jangan diulangi lagi,” balasnya sambil terus mengepel.

Sisa malam itu kami habiskan berdua dalam diam, membenahi kekacauan rumahku sendiri.

Beberapa hari kemudian, aku menerima dua pesan.

Pesan pertama dari Si Tukang Pesta: Hei! Tebak video apa yang kutemukan hari ini! Kita bisa menontonnya di rumahmu malam ini, kalau kau tidak keberatan (aku tahu kau pasti tidak akan pernah keberatan, bukan). Kami akan datang di waktu seperti biasa.

Pesan kedua dari Si Pemberi Nasihat: Kalau kau mengijinkan, aku akan menginap di rumahmu malam ini.

Ah, maafkan kesalahanku. Aku terlalu asyik bercerita hingga lupa memperkenalkan nama-nama mereka kepada kalian. Si Tukang Pesta namanya Dosa, sementara Si Pemberi Nasihat namanya Yesus.

Aku membalas pesan Yesus: Pintu rumahku terbuka lebar bagimu. Kau bisa datang dan tinggal kapan saja kau mau. Untuk malam ini, tolong datang lebih awal. Si Dosa itu mulai menggodaku lagi.

Tok. Tok. Tok.

Itu pasti Yesus! Aku harus membuka pintu. Senang bisa bersamanya lagi.

Aku sudah menentukan akan memihak kepada siapa. Dan aku tahu, kalau Yesus tinggal di rumahku, sekalipun Dosa mengintip di ambang pintu, ia tidak akan berani masuk karena ia takut terhadap Yesus.
* * *

Catatan penulis:
Di bagian awal dan akhir Alkitab, kita sudah diingatkan, ada dua orang yang senantiasa menanti di depan pintu kita.

Bagian awal Alkitab mengatakan, “… jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” (Kej 4:7)

Dan bagian akhir Alkitab berkata, “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” (Why 3:20)

Mungkin keduanya juga menanti di depan pintu hati Anda masing-masing. Tinggal pilihan Anda, mau membukakan pintu untuk siapa?

Tidak ada komentar: