Tok. Tok. Tok.
Terdengar ketokan di pintu. Aku dengan mudah bisa menerka siapa yang datang.
Pilihannya hanya ada dua, sebenarnya. Ada dua orang yang sering berkunjung ke
rumahku. Aku menjuluki mereka Si Tukang Pesta dan Si Pemberi Nasihat.
Si Tukang Pesta, orangnya selalu bersemangat. Dan seperti namanya, ketika
ia datang ke rumahku, tidak cukup hanya kami berdua saja. Ia pasti menghubungi
teman-teman satu gengnya untuk datang dan menjadikan rumahku tempat pesta
mereka. Selalu saja ada barang-barang aneh yang mereka bawa, mulai dari game
terbaru, film yang mereka tonton di rumahku (dari yang pemerannya berpakaian
lengkap sampai yang tidak berpakaian sama sekali pun ada!), minuman beralkohol
dan makanan ringan, dan masih banyak lagi. Pembicaraan di pesta pun beragam. Mulai
dari tips bagaimana cara tercepat mendapatkan uang dengan mudah, tips bagaimana
bisa sukses dengan cepat (semua tips-tips ini tidak ada yang “bersih,” tentunya—kalau
kau tahu maksudku), ditambah pembicaraan-pembicaraan gosip tentang orang lain,
sampai cerita-cerita kotor dan diselingi umpatan dan makian di sana sini.
Awalnya, aku tidak suka keberadaan mereka di rumahku. Ketika Si Tukang
Pesta itu datang pertama kali, aku terkejut, “Astaga,lihat semua minuman
yang dibawanya itu! Astaga, video-video yang ditontonnya!” Dan ketika musik
dimainkan dan pesta dimulai, “Astaga, pembicaraan-pembicaraan mereka!” Tapi
ia seorang tukang pesta sejati; ia bisa membuat orang lain dengan mudahnya
larut dalam pestanya. Tidak sampai sejam kemudian, aku mulai terbiasa dan ikut
larut dalam pesta yang dibuatnya.
Lalu ketika pesta usai, apa yang terjadi? Mereka semua pergi begitu saja,
meninggalkan semua kekacauan ini di rumahku, yang harus kubersihkan sendirian! Sambil
membersihkan kekacauan yang mereka buat, aku menyesal telah mengijinkannya
masuk dan menggunakan rumahku sebagai tempat pestanya. Tapi begitu ia datang lagi
dan mengetok pintuku, aku terus saja tergoda untuk mengijinkannya masuk lagi. Selalu
saja hal ini berulang: aku tergoda mengijinkannya membuat pesta di rumahku,
tapi menyesal di belakang ketika aku harus membersihkan kekacauan ini
sendirian.
Berbeda halnya dengan orang yang satu lagi, Si Pemberi Nasihat. Ia juga
banyak bicara, tapi pembawaannya selalu tenang. Seperti namanya, ia selalu
memberikan nasihat-nasihat kepadaku ketika aku dalam masalah, berbeda dengan tips-tips
kotor yang selalu diberikan Si Tukang Pesta dan kawan-kawannya. Aku senang
kalau Si Pemberi Nasihat ini datang pada jam makan malam. Kami bisa berbincang-bincang
di meja makan dan tentunya makan malam akan jadi lebih menyenangkan bersamanya.
Berbeda dengan Si Tukang Pesta, Si Pemberi Nasihat ini tidak pernah
meninggalkan kekacauan. Selesai makan malam, ia yang pertama kali berinisiatif
membawa piring-piring kotor ke wastafel dan mencucinya. Aku jadi tidak enak
karena ia tamu di sini, tapi menurutnya tidak apa-apa, ia senang membantu. Malah,
ketika ia datang dan rumahku berantakan, ia yang duluan menyingsingkan lengan
bajunya dan membersihkan. Jarang sekali aku melihatnya marah, hanya beberapa
kesempatan ketika ia mendapatiku tidak mengurus diriku hingga sakit atau tidak mengurus
rumahku hingga kotor sekali. Itupun ia marah dengan sabar karena setelah itu ia
kembali lagi mengurusku. Kalau ada yang namanya marah sambil mengasihi, mungkin
seperti inilah tampaknya.
Nah, bisa kalian lihat, dua orang yang selalu datang ke rumahku ini
bertolak belakang sama sekali. Belakangan kuketahui kalau mereka memang
musuhan. Rahasia inipun tidak bisa kusimpan. Akhirnya kedua pihak masing-masing
mengetahui kalau aku mengijinkan pihak lainnya masuk ke rumahku.
“Bung, kau mengijinkan orang membosankan itu menginjakkan kaki ke
rumahmu?” tanya Si Tukang Pesta dalam satu kali sesi pesta yang dibuatnya di
rumahku. “Mana semangat pestamu, Bung! Orang itu hanya memberikan
nasihat-nasihat konyol kepadamu! Coba bandingkan nasihat-nasihatnya dengan tips-tips
yang kuberikan padamu. Kau akan lebih cepat sukses, Bung!”
Aku terdiam. Aku tidak suka di tengah suasana pesta seperti ini, nama orang
itu diungkit-ungkit. “Hei, mengapa membicarakan orang itu?” kataku sambil menuang
segelas minuman lagi. “Mari lanjutkan pestanya!” sorakku, padahal maksudku
ingin mengalihkan pembicaraan.
Pada kesempatan lain, ketika aku sedang makan malam dengan Si Pemberi Nasihat,
ia berkata, “Aku tahu kau bergaul dengan orang-orang itu. Tidak baik bagimu.” Mendengarnya,
aku hanya bisa tersenyum masam kepadanya.
Ia menghela napas lalu melanjutkan nasihatnya, “Aku tahu situasimu. Mungkin
kau belum bisa menahan godaan untuk tidak membukakan pintu baginya. Tapi kau
harus belajar menahan diri. Paling tidak, kau harus memiliki wibawa sebagai
seorang tuan rumah. Jangan biarkan mereka seenaknya mengambil alih dan
mengacaukan rumahmu. Tunjukkan bahwa kaulah yang berkuasa di sini!”
Ia berhenti sejenak, seolah memikirkan sesuatu. “Baiklah, aku punya satu
cara. Begini, kalau kau tidak sanggup menahannya, kalau kau merasa mulai larut dalam
pesta mereka, pejamkan saja matamu dan ingat aku—aku yang memberimu nasihat
ini. Kau akan merasa kuat setelahnya. Aku yakin kau bisa melakukannya.”
Aku tidak bisa selamanya berada di antara dua pihak seperti ini. Aku harus
menetapkan pilihanku, hendak mengikuti siapa. Lalu suatu malam, sebuah
peristiwa terjadi. Ketika itu puncak pesta yang diselenggarakan Si Tukang
Pesta. Aku sedang asyik larut dalam keriuhan suasana. Tanpa diduga, Si Pemberi
Nasihat mendadak datang. Dan tahukah kalian seperti apa ekspresinya? Marah! Kemarahan
yang belum pernah kulihat selama ini.
Ia mendapatiku sedang asyik di ruang makan bersama Si Tukang Pesta. Dengan
kasar, ia menarik lenganku menuju ke halaman belakang. Ia menggoncang bahuku. “Sadar!
Tahukah kau apa yang baru saja kau lakukan?! Ke mana nasihat-nasihat yang selama
ini kuberikan padamu?”
Aku tidak tahu harus berkata apa saat itu. Aku hampir menangis, seperti
seorang anak kecil yang ketahuan orang tuanya berbuat salah. Ia meninggalkanku
sendirian di halaman belakang lalu bergegas masuk ke rumah. Tidak lama
kemudian, aku mendengar suara ribut-ribut. Teriakan pertengkaran, kudengar
suara Si Tukang Pesta menumpahkan semua makiannya. Lalu ada suara botol-botol
pecah, ribut-ribut pertengkaran lagi, lalu perlahan semuanya reda.
Si Pemberi Nasihat kembali. Ia menemukanku duduk sendirian di tanah, di
halaman belakang. “Mereka semua sudah pergi,” katanya. “Kau lihat, mereka lebih
takut padaku, bukan? Kenapa tidak kauturuti semua nasihatku selama ini?”
Aku tidak bisa membendungnya lagi. Aku menangis.
Tanpa berkata banyak lagi, ia kembali masuk ke rumah. Aku tinggal
sendirian lagi di halaman belakang. Aku merenungkan apa yang sudah kulakukan
selama ini. Sepertinya aku memang harus menentukan sikapku, siapa dari antara
kedua orang ini yang akan kupilih?
Aku menyusul Si Pemberi Nasihat ke dalam rumah. Ia sedang mengepel
kotoran-kotoran di lantai. Aku mengambil kayu pel satunya lagi dan membantunya.
“Aku minta maaf,” kataku.
“Jangan diulangi lagi,” balasnya sambil terus mengepel.
Sisa malam itu kami habiskan berdua dalam diam, membenahi kekacauan
rumahku sendiri.
Beberapa hari kemudian, aku menerima dua pesan.
Pesan pertama dari Si Tukang Pesta: Hei! Tebak video apa yang kutemukan
hari ini! Kita bisa menontonnya di rumahmu malam ini, kalau kau tidak keberatan
(aku tahu kau pasti tidak akan pernah keberatan, bukan). Kami akan datang di
waktu seperti biasa.
Pesan kedua dari Si Pemberi Nasihat: Kalau kau mengijinkan, aku akan
menginap di rumahmu malam ini.
Ah, maafkan kesalahanku. Aku terlalu asyik bercerita hingga lupa
memperkenalkan nama-nama mereka kepada kalian. Si Tukang Pesta namanya Dosa,
sementara Si Pemberi Nasihat namanya Yesus.
Aku membalas pesan Yesus: Pintu rumahku terbuka lebar bagimu. Kau bisa datang
dan tinggal kapan saja kau mau. Untuk malam ini, tolong datang lebih awal. Si Dosa
itu mulai menggodaku lagi.
Tok. Tok. Tok.
Itu pasti Yesus! Aku harus membuka pintu. Senang bisa bersamanya lagi.
Aku sudah menentukan akan memihak kepada siapa. Dan aku tahu, kalau Yesus
tinggal di rumahku, sekalipun Dosa mengintip di ambang pintu, ia tidak akan
berani masuk karena ia takut terhadap Yesus.
* * *
Catatan penulis:
Di bagian awal
dan akhir Alkitab, kita sudah diingatkan, ada dua orang yang senantiasa menanti
di depan pintu kita.
Bagian awal
Alkitab mengatakan, “… jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di
depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.”
(Kej 4:7)
Dan bagian akhir
Alkitab berkata, “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang
yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan
Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” (Why
3:20)
Mungkin keduanya
juga menanti di depan pintu hati Anda masing-masing. Tinggal pilihan Anda, mau
membukakan pintu untuk siapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar