Apakah makan perjamuan kudus harus dengan roti?
Roti yang seperti apa? Apakah harus dengan roti bundar pipih yang rasanya
seperti wafer hambar itu? Tidak bisakah diganti dengan makanan lain?
Apakah minum perjamuan kudus harus dengan anggur?
Anggur seperti apa? Anggur beralkohol hasil fermentasi atau hanya sari buah
anggur? Tidak bisakah diganti dengan munuman lain?
Apakah baptis harus diselam? Tidak adakah cara
lain? Dipercik atau disemprot misalnya?
Beberapa orang mungkin dengan tegas akan menjawab,
“Harus! Tuhan Yesus perjamuan dengan makan roti dan minum anggur. Ia juga
berpesan, ‘Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku,’ karena itu, wajib!
Tuhan Yesus juga dibaptis selam. Karena itu, baptis harus selam!”
Tunggu dulu….
Saya merasa kasihan dengan gereja-gereja kecil
yang pendanaannya terbatas sehingga tidak mampu menyediakan roti yang
sewajarnya untuk perjamuan kudus. Konon katanya, gereja-gereja awal di
Indonesia Timur pada masa penjajahan Portugis menggunakan kue tradisional untuk
perjamuan kudus. Bagaimana dengan orang-orang yang, dengan alasan kesehatan,
tidak bisa minum anggur? Apakah harus dipaksa perjamuan kudus dengan anggur?
Belum lagi jika melihat orang-orang yang tinggal di pedalaman dan tempat-tempat
gersang, yang untuk mencari air saja harus bersusah payah. Masakan untuk
menjadi Kristen saja harus mencari kubangan air yang cukup dalam agar bisa
baptis selam?
Pada waktu perjamuan, Yesus memang makan roti
karena itulah makanan pokok mereka pada saat itu, sejak zaman Musa membawa
Bangsa Israel keluar dari Mesir. Yesus minum anggur karena itulah minuman yang
lazim disajikan pada saat perayaan pada waktu itu. Sama halnya dengan baptisan.
Terjemahan Indonesianya adalah membasuh atau mencuci. Satu-satunya frasa dalam
Alkitab yang menyiratkan bahwa Yesus dibaptis selam adalah kata-kata, “… keluar
dari air…” (Mat 3:16, Mrk 1:10). Padahal tidak ada kalimat intrinsik yang
menegaskan bahwa Yohanes Pembaptis membaptis selam. Bagaimanapun juga, bukankah
pada awalnya pun baptisan hanyalah sebagai simbol pembersihan diri? Simbol
inilah yang kemudian diteruskan oleh gereja.
Kekristenan memang menggunakan banyak simbol untuk
membantu umat menghayati imannya: salib, relik, sakramen, liturgi, nyanyian,
dan banyak lagi. Tetapi Kekristenan bukan agama baku yang berkata “Harus!” pada
setiap simbol tersebut. Simbol dan ritual hanyalah ciptaan manusia untuk
membantu memahami betapa besar karya Allah dalam hidupnya, sementara Tuhan
sendiri tidak pernah menciptakan simbol dan ritual. Bagi Tuhan, yang terpenting
adalah sikap hidup manusia itu sendiri.
Karena itu, mari kita kembali pada inti iman
Kristen itu sendiri, yaitu bahwa Kristus telah mati menebus dosa kita dan
bangkit sehingga kita memiliki pengharapan untuk mengalami kebangkitan itu
juga. Janganlah kita membawa gereja terjebak dalam sikap “harus” dan “wajib”
terhadap ritual dan simbol tertentu dan dengan demikian memasukkan Allah yang
Maha Agung itu ke dalam kotak sempit bernama “ritual”.
Jika demikian, apa bedanya sikap gereja dengan
sikap orang Farisi pada jaman Yesus? Mereka berkata, “Tidak boleh bekerja pada
hari Sabat!” Lalu bagaimana dengan pekerjaan yang menyelamatkan atau membantu
seseorang? Jadilah, ketika Yesus kedapatan menyembuhkan orang pada hari Sabat,
ia dicap sesat. Masih banyak peristiwa lain lagi dimana Yesus mengkritik sikap
orang-orang Farisi yang membawa agama semakin masuk ke dalam sikap “harus” dan
“wajib” sehingga melupakan esensi iman itu sendiri.
Jika gereja jaman sekarang melihat ritual dan
simbol sebagaimana orang Farisi dulu melihat hukum Taurat, jadilah gereja
saling menghakimi. Gereja menghakimi gereja lain hanya karena berbeda
liturginya, cara baptisnya, hingga lagu-lagu ibadahnya. Tetapi jika gereja
melihat ritual dan simbol sebagai sarana untuk membantu penghayatan iman, maka
iman umat dapat semakin terbangun dengan adanya ritual dan simbol tersebut.
Janganlah gereja yang membaptis selam menghakimi
sesat gereja yang baptis percik. Janganlah gereja yang menggunakan lagu-lagu
himnal menghakimi sesat gereja-gereja yang menggunakan lagu-lagu rohani populer
dengan bertepuk tangan. Gereja tidak menyembah salib, patung/gambar Yesus, roti
dan anggur atau bahkan minyak urapan—bagi gereja yang menggunakannya. Semua itu
hanyalah simbol untuk membantu umat memahami dan menghayati keselamatannya
dalam Kristus.
Sangat disayangkan jika seseorang telah menerima Kristus
tetapi keselamatannya diragukan hanya karena ia baptis percik sehingga ia harus
dibaptis ulang lagi, yaitu baptis selam di gereja lain. Sangat disayangkan jika
seseorang telah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya tetapi
dianggap sesat hanya karena berbeda gereja. Apakah Kristus membeda-bedakan
seperti itu? Betapa sia-sianya Kristus mati di kayu salib jika kemudian gereja
membatasi keselamatan dengan alasan simbol dan ritual.
Karena itu, janganlah gereja terjebak dalam
hal-hal seperti ini. Kekristenan bukanlah agama ritual. Pusat iman Kristen
bukan pada bagaimana tata ibadahnya, liturginya, lagu-lagunya, atau sakramennya,
tetapi pada keyakinan terhadap keselamatan yang telah diberikan oleh Kristus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar