Sabtu, 07 Juni 2014

Kekristetan bukan Agama Ritual



Apakah makan perjamuan kudus harus dengan roti? Roti yang seperti apa? Apakah harus dengan roti bundar pipih yang rasanya seperti wafer hambar itu? Tidak bisakah diganti dengan makanan lain?

Apakah minum perjamuan kudus harus dengan anggur? Anggur seperti apa? Anggur beralkohol hasil fermentasi atau hanya sari buah anggur? Tidak bisakah diganti dengan munuman lain?

Apakah baptis harus diselam? Tidak adakah cara lain? Dipercik atau disemprot misalnya?

Beberapa orang mungkin dengan tegas akan menjawab, “Harus! Tuhan Yesus perjamuan dengan makan roti dan minum anggur. Ia juga berpesan, ‘Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku,’ karena itu, wajib! Tuhan Yesus juga dibaptis selam. Karena itu, baptis harus selam!”

Tunggu dulu….

Saya merasa kasihan dengan gereja-gereja kecil yang pendanaannya terbatas sehingga tidak mampu menyediakan roti yang sewajarnya untuk perjamuan kudus. Konon katanya, gereja-gereja awal di Indonesia Timur pada masa penjajahan Portugis menggunakan kue tradisional untuk perjamuan kudus. Bagaimana dengan orang-orang yang, dengan alasan kesehatan, tidak bisa minum anggur? Apakah harus dipaksa perjamuan kudus dengan anggur? Belum lagi jika melihat orang-orang yang tinggal di pedalaman dan tempat-tempat gersang, yang untuk mencari air saja harus bersusah payah. Masakan untuk menjadi Kristen saja harus mencari kubangan air yang cukup dalam agar bisa baptis selam?

Pada waktu perjamuan, Yesus memang makan roti karena itulah makanan pokok mereka pada saat itu, sejak zaman Musa membawa Bangsa Israel keluar dari Mesir. Yesus minum anggur karena itulah minuman yang lazim disajikan pada saat perayaan pada waktu itu. Sama halnya dengan baptisan. Terjemahan Indonesianya adalah membasuh atau mencuci. Satu-satunya frasa dalam Alkitab yang menyiratkan bahwa Yesus dibaptis selam adalah kata-kata, “… keluar dari air…” (Mat 3:16, Mrk 1:10). Padahal tidak ada kalimat intrinsik yang menegaskan bahwa Yohanes Pembaptis membaptis selam. Bagaimanapun juga, bukankah pada awalnya pun baptisan hanyalah sebagai simbol pembersihan diri? Simbol inilah yang kemudian diteruskan oleh gereja.

Kekristenan memang menggunakan banyak simbol untuk membantu umat menghayati imannya: salib, relik, sakramen, liturgi, nyanyian, dan banyak lagi. Tetapi Kekristenan bukan agama baku yang berkata “Harus!” pada setiap simbol tersebut. Simbol dan ritual hanyalah ciptaan manusia untuk membantu memahami betapa besar karya Allah dalam hidupnya, sementara Tuhan sendiri tidak pernah menciptakan simbol dan ritual. Bagi Tuhan, yang terpenting adalah sikap hidup manusia itu sendiri.

Karena itu, mari kita kembali pada inti iman Kristen itu sendiri, yaitu bahwa Kristus telah mati menebus dosa kita dan bangkit sehingga kita memiliki pengharapan untuk mengalami kebangkitan itu juga. Janganlah kita membawa gereja terjebak dalam sikap “harus” dan “wajib” terhadap ritual dan simbol tertentu dan dengan demikian memasukkan Allah yang Maha Agung itu ke dalam kotak sempit bernama “ritual”.

Jika demikian, apa bedanya sikap gereja dengan sikap orang Farisi pada jaman Yesus? Mereka berkata, “Tidak boleh bekerja pada hari Sabat!” Lalu bagaimana dengan pekerjaan yang menyelamatkan atau membantu seseorang? Jadilah, ketika Yesus kedapatan menyembuhkan orang pada hari Sabat, ia dicap sesat. Masih banyak peristiwa lain lagi dimana Yesus mengkritik sikap orang-orang Farisi yang membawa agama semakin masuk ke dalam sikap “harus” dan “wajib” sehingga melupakan esensi iman itu sendiri.

Jika gereja jaman sekarang melihat ritual dan simbol sebagaimana orang Farisi dulu melihat hukum Taurat, jadilah gereja saling menghakimi. Gereja menghakimi gereja lain hanya karena berbeda liturginya, cara baptisnya, hingga lagu-lagu ibadahnya. Tetapi jika gereja melihat ritual dan simbol sebagai sarana untuk membantu penghayatan iman, maka iman umat dapat semakin terbangun dengan adanya ritual dan simbol tersebut.

Janganlah gereja yang membaptis selam menghakimi sesat gereja yang baptis percik. Janganlah gereja yang menggunakan lagu-lagu himnal menghakimi sesat gereja-gereja yang menggunakan lagu-lagu rohani populer dengan bertepuk tangan. Gereja tidak menyembah salib, patung/gambar Yesus, roti dan anggur atau bahkan minyak urapan—bagi gereja yang menggunakannya. Semua itu hanyalah simbol untuk membantu umat memahami dan menghayati keselamatannya dalam Kristus.

Sangat disayangkan jika seseorang telah menerima Kristus tetapi keselamatannya diragukan hanya karena ia baptis percik sehingga ia harus dibaptis ulang lagi, yaitu baptis selam di gereja lain. Sangat disayangkan jika seseorang telah menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya tetapi dianggap sesat hanya karena berbeda gereja. Apakah Kristus membeda-bedakan seperti itu? Betapa sia-sianya Kristus mati di kayu salib jika kemudian gereja membatasi keselamatan dengan alasan simbol dan ritual.

Karena itu, janganlah gereja terjebak dalam hal-hal seperti ini. Kekristenan bukanlah agama ritual. Pusat iman Kristen bukan pada bagaimana tata ibadahnya, liturginya, lagu-lagunya, atau sakramennya, tetapi pada keyakinan terhadap keselamatan yang telah diberikan oleh Kristus.

Tidak ada komentar: