Hampir sebagian besar gereja menurut saya memiliki pergumulan yang sama terkait ketersediaan pelayan. Ada gereja yang kekurangan pendeta karena kader mudanya tidak ada yang berminat melanjutkan sekolah di sekolah teologi. Ada gereja yang kekurangan tenaga penatua, setiap orang yang diminta menjadi penatua sering kali menolak, “Jangan saya, masih banyak yang lain.” Ada gereja yang kekurangan tenaga pelawat dimana orang-orang selalu memiliki alasan, “Saya sibuk di kantor.” Ada gereja yang kekurangan tenaga pemusik, bukan…, bukan kekurangan sebenarnya, tetapi pemusik yang ada lebih memilih pelayanan di gereja lain yang orientasi musiknya lebih menyenangkan dan lebih ‘modern’ ketimbang lagu-lagu klasik Kidung Jemaat.
Dengan kurangnya tenaga pelayan seperti ini, akibatnya kadang terlihat bahwa pelayanan di sebuah gereja hanya didominasi oleh orang-orang yang itu-itu saja, bahkan ada yang terkesan one-man show, bukan karena orang tersebut ingin menonjolkan diri, tetapi karena memang tidak ada orang lain lagi yang bisa!
Dan jangan heran kalau terjadi penurunan jumlah jemaat. Dengan kurangnya jumlah tenaga pelayan, pelayanan tidak akan maksimal sehingga jemaat akan mencari gereja lain yang mereka anggap bisa memuaskan kebutuhan kerohanian mereka. Di sisi lain bisa juga tidak terjadi regenerasi, kaum muda tidak mau terjun ke pelayanan gereja atau bahkan lebih memilih pindah gereja sehingga dikuatirkan gereja tersebut akan ‘mati’ perlahan-lahan.
Nah, beberapa di antara Anda, para pembaca, pasti ada yang termasuk orang-orang yang saya sebutkan di atas: orang-orang yang menolak pelayanan. Saya paham alasan-alasan Anda. Ada yang memang tidak mau, merasa tidak layak atau ada juga yang memang benar-benar sibuk dengan aktivitasnya di luar gereja. Ada juga yang beralasan kalau pelayanan tidak harus di dalam gereja. Pelayanan bisa dilakukan di masyarakat, di tempat kerja; betul, tetapi tugas orang Kristen tidak hanya terbatas pada diakonia dan marturia, tetapi juga koinonia (persekutuan), dan sebagai suatu persekutuan, harus ada orang-orang yang menjadi pengurus agar persekutuan tersebut tetap berlanjut alih-alih terbengkalai dan akhirnya bubar. Dan siapa lagi yang mau menjadi pelayan jemaat tersebut kalau bukan Anda?
Musa, ketika pertama kali dipanggil oleh Tuhan menjadi pelayan-Nya, ia juga memberikan begitu banyak penolakan. Mari kita lihat dua di antaranya (Kel. 3:11-14):
1. Siapakah Aku? (ay. 11-12)
Ada orang-orang tertentu yang merasa diri tidak layak melayani di gereja.
“Siapa aku? Aku kurang dekat dengan Tuhan, jarang saat teduh, jarang berdoa, banyak melakukan dosa, aku tidak layak melayani.”
“Keterampilanku terbatas, Tuhan. Aku jangan jadi pengkhotbah, aku tidak pandai berbicara di depan banyak orang. Aku jangan jadi penatua, aku tidak pandai bersosialisasi. Aku jangan jadi pemusik, keterampilan musikku tidak seberapa, suruh saja si anu yang sudah les piano bertahun-tahun. Aku jangan jadi ketua komisi, aku tidak pandai memimpin….” dan begitu banyak alasan lainnya.
Apa jawab Tuhan? “Bukankah Aku akan menyertai engkau?” (ay. 12)
Masih kurangkah jawaban itu, bahwa Tuhan akan selalu menyertai kita dalam setiap kekurangan kita untuk melayani-Nya? Mari kita lihat yang kedua.
2. Siapakah Tuhan? (ay. 13-14)
“Bagaimana jemaat mengenal Tuhan melalui pelayananku?” Kita merasa tidak mampu mewakili Tuhan dalam pelayanan kita.
Dalam kebimbangan kita, Tuhan berkata, “AKU ADALAH AKU (ay. 14).” Ini menunjukkan eksistensi Tuhan, Ia ada dan akan selalu ada. Kalau Tuhan menyertai pelayanan kita, maka seharusnya Tuhan juga menjadi pusat pelayanan kita dan Ia akan menyatakan diri-Nya melalui pelayanan kita.
Akan tetapi ada juga banyak pelayan aktif yang jatuh pada kesalahan ini. Kadang jemaat lebih mengenal pengkhotbah dibanding firman Tuhan yang dikhotbahkan. Jemaat lebih mengenal musisi ibadah, katanya kalau band anu yang main di gereja suasananya lebih nyaman karena musiknya enak, tetapi mereka tidak mengenal Tuhan melalui lirik-lirik yang mereka nyanyikan.
Akibatnya? KKR di mana-mana dengan pengkhotbah yang terkenal. Brosurnya menampilkan foto si pengkhotbah untuk menarik minat jemaat, seolah-olah pendeta gereja mereka sendiri tidak pandai menjelaskan firman Tuhan seperti si pengkhotbah KKR itu.
Konser musik rohani di mana-mana dengan menampilkan musisi ternama. Yang hadir itu sebenarnya ingin memuji Tuhan atau menikmati musik? Dengan rohaninya mereka menjawab: memuji Tuhan. Kalau begitu, mengapa dipungut biaya tiket yang sangat mahal? Ah, anggap saja itu persembahan, untuk membantu grup musik mereka bersaksi lebih giat lagi. Mereka juga mengeluarkan album? Kalau ada gereja yang mau mengundang mereka pelayanan harus dengan tarif tertentu? Harus kita akui bahwa musik sebagai suatu bagian sentral dari ibadah telah menjadi ajang komersialisasi tetapi ditutupi dengan topeng-topeng rohani. Tuhannya menjadi tidak nampak lagi.
Oleh karena itu, jangan menjadi pelayan jemaat yang justru menghalangi penyataan diri Tuhan kepada jemaat.
Semoga tulisan ini bisa memotivasi setiap pembaca untuk menjadi pelayaan jemaat dengan keyakinan bahwa Tuhan akan selalu menyertai dan Ia sendirilah yang akan menyatakan diri-Nya dalam setiap pelayanan kita. Selamat melayani!