Ketika
Anda merasa tidak dibutuhkan, Anda tidak cakap, Anda tidak memiliki
kapabilitas, atau kondisi fisik Anda tidak memungkinkan untuk memberikan
bantuan apapun kepada orang lain, bagaimana perasaan Anda? Anda mungkin akan
langsung patah semangat. Dalam teori yang dikemukakan Abraham Maslow, Anda
tidak dapat memenuhi kebutuhan ‘aktualisasi diri’ Anda.
Setiap
orang butuh aktualisasi diri. Itulah mengapa orang bekerja, berusaha membuat
agar namanya dikenal sebanyak mungkin orang, agar ia dapat merasa berguna bagi
banyak orang. Itulah juga yang membuat beberapa orang menjadi frustrasi ketika
menghadapi tahun-tahun pertama sebagai pensiunan: ia tidak memiliki apa-apa
lagi untuk dikerjakan. Ia merasa harus terus bekerja, bekerja, dan bekerja karena
untuk itulah ia ada.
Tapi,
kembali lagi pada kondisi di atas: bagaimana jika ternyata Anda tidak sanggup?
Charlotte
Elliott (1789—1871) pernah mengalami hal ini. Saat itu tahun 1836, kakaknya
yang adalah seorang pendeta mengadakan sebuah pasar amal untuk pembangunan
sebuah sekolah di Brighton, Inggris. Semua orang tampak sibuk mempersiapkan
segala sesuatunya, siang dan malam. Elliott sangat ingin membantu. Tapi apa
daya, ia lumpuh. Ia hanya bisa berbaring di sofa. Ketika semua orang berada di
pasar amal, ia sendirian di rumah, merasa tidak berguna. Pertanyaan yang terus
berputar dalam benaknya adalah: “Apakah
saya memang tidak berharga di mata orang-orang ini? Bagaimana dengan di mata
Tuhan?”
Charlotte Elliott (1789—1871) |
Kembali
ke beberapa tahun sebelumnya, 1822, saat-saat ketika pertama kali kesehatannya
menurun drastis yang mengakibatkan kelumpuhan sepanjang sisa hidupnya. Ia
teringat ayahnya, yang juga adalah seorang pendeta, kedatangan tamu, seorang
pendeta terkenal dari Swiss, Dr. Caesar Malan. Pendeta Malan bertanya jika Elliott
adalah seorang Kristen. Walaupun ia berada dalam keluarga rohaniawan, tapi
ternyata kondisi kesehatannya membuat spiritualitas Elliott sendiri memburuk.
Ia menjawab bahwa ia tidak ingin membicarakan soal agama saat itu. Lalu
keluarlah sebuah kalimat dari Pendeta Malan yang tidak akan pernah dilupakan
Elliott, “You must come just as you are, a sinner, to the Lamb of God that taketh away the sin of the world.”
(Kau harus datang sebagaimana adanya dirimu, orang yang berdosa, kepada Anak
domba Allah yang menghapus dosa dunia.)
“… just as you are…,” Elliott
kembali teringat kata-kata itu. “Yea,
just as I am.”
Maka
di rumah yang sunyi itu, ketika semua orang menghadiri pasar amal, Elliott
mengambil kertas dan pena. Ia menulis:
Just as I am, without one plea,
but that Thy blood was shed for me,
and that Thou bidst me come to
Thee,
O
Lamb of God, I come, I come.
Hari
itu pasar amal berjalan lancar. Kakak ipar Elliott datang dan membawa kabar
tentang keberhasilan mereka hari itu. Ia melihat tulisan Elliott, membacanya,
dan meminta dibuatkan salinannya. Itu pertama kalinya tulisan tersebut keluar
dari ruangan sunyi itu dan tersebar ke seluruh dunia sebagai lagu yang dikenal
dengan judul ‘Just As I Am.’ Dalam Bahasa Indonesia, kita bisa menemukan
terjemahannya di Kidung Jemaat no. 27, ‘Meski Tak Layak Diriku.’ Kelak,
kakaknya sendiri mengakui, “Sepanjang perjalanan pelayananku, saya diizinkan
untuk melihat sebagian buah pekerjaanku; tapi saya merasa justru lebih banyak
yang bisa dilakukan hanya oleh satu lagu yang ditulis adikku.”
Jadi,
siapa bilang keterbatasan kita menghalangi kita untuk berkarya bagi orang lain?
Charlotte Elliott sudah membuktikannya. Just
as you are, sebagaimana adanya diri Anda. Anda merasa tidak berguna bagi
orang lain? Serahkan diri Anda kepada ‘Anak domba Allah’ dan Ia akan membuat apapun yang tersisa dari diri Anda
berguna bagi pekerjaan-Nya. Tidak ada sampah di mata Tuhan, seperti Ia sendiri pernah berkata, “… barangsiapa datang
kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang.” (Yoh
6:37)